Narasumber acara YPMA mendengarkan pertanyaan peserta diskusi di Hotel Ibis, beberapa waktu lalu.

 

Jakarta – Hasil kajian Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) merilis mayoritas acara anak di televisi masuk dalam kategori “Tidak Aman”, yakni 59% dari 1.401 acara anak yang mereka analisis. Hasil YPMA itu menegaskan bahwa tayangan anak yang memang aman buat mereka masih kalah banyak. Maka, tak salah jika banyak pihak menginginkan tayangan anak yang aman untuk anak di televisi diperbanyak.

Tidak hanya aman, publik menuntut tayangan anak yang berkualitas dan memberikan manfaat lebih seperti pendidikan, memberikan motivasi, mengembangkan sikap percaya diri anak, dan menanamkan nilai-nilai positif dalam kehidupan.

“Kami meminta tayangan anak berkualitas di televisi diperbanyak,” kata para narasumber yang mengisi acara diskusi bertema “Mencari Acara Televisi Berkualitas untuk Anak” yang diselenggarakan YPMA di Hotel Ibis Menteng, Kamis (9/11/2017), pekan lalu. Narasumber antara lain Peneliti YPMA Nina Mutmainnah, Staf Khusus Menteri PPA Fernandez Hutagalung dan Komisioner KPI Pusat Dewi Setyarini.

Nina Mutmainnah mengatakan program yang “aman” adalah program yang tidak hanya menghibur, namun juga memberikan banyak manfaat bagi pemirsanya. Program ini tidak hanya menarik dari segi cerita namun juga mengandung nilai-nilai positif yang mudah dipahami dan ditiru anak-anak dalam kehidupan nyata.

Seperti acara “Upin-Ipin” atau Handy Manny, dengan latar lingkungan yang heterogen secara etnis  tapi para tokoh di dalam cerita tersebut dapat saling menghormati perbedaan, dapat bekerja sama, dan membantu siapa saja.

“Muatan yang ada di dalam cerita acara itu menyisipkan pesan-pesan positif berupa kurikulum tersembunyi yakni mengandung muatan yang membantu anak untuk mempelajari sesuatu yang sehat bagi tumbuh kembang anak,” kata Nina.

Pandangan serupa juga disampaikan Fernandez Hutagalung mewakili Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Menurutnya, tayangan televisi saat ini belum sepenuhnya ramah terhadap anak. Bahkan, ada kecenderungan acara yang disajikan mengecilkan arti keberadaan mereka.

“Jika tayangan televisi menghargai keberadaan anak, berarti mereka juga menghargai pemirsa lainnya,” kata Fernandez.

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini, menyatakan KPI akan berusaha mendorong lembaga penyiaran mewujudkan apa yang diinginkan publik. Selain itu, KPI akan selalu menjadikan anak dan remaja sebagai prioritas pertama untuk dilindungi terutama dari penyiaran yang tidak baik.

Menurut Dewi, tayangan anak yang menghibur harus sehat yang mengandung nilai edukasi dan pesan moral yang positif. Apa yang ditampilkan seperti narasi dan visual harus khas anak. “Anak yang dilibatkan sebagai subyek harus dalam konteks kreativitas bukan dieksploitasi,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Nina Mutmainnah meminta pemerintah berperan dalam mengembangkan tayangan anak yang berkualitas. “Harus ada kebijakan khusus untuk tayangan anak. Kami berharap pemerintah dan regulator bisa mewujudkan hal ini,” pintanya. ***

Ketua KPI Pusat dan Ketua Komisi I DPRD Bali.

 

Jakarta – Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di sejumlah daerah yang berlangsung tahun depan (2018) melibatkan banyak sumber daya misalnya untuk mengawasi siaran politik di media penyiaran. Tugas pengawasan itu menjadi kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah atau KPID. Karena itu, KPID harus mendapat dukungan yang maksimal dari pemerintah daerah, baik dari sisi anggaran maupun moril, sehingga tugas pengawasan tersebut berjalan lancar.

Ketua Komisi Penyiaran Indonesi Pusat (KPI Pusat), Yuliandre Darwis mengatakan, dukungan yang diberikan pada KPID menumbuhkan efek positif atau semangat bagi mereka dalam pengawasan pemilihan kepada daerah yang lingkup begitu luas hingga kota dan kabupaten. Dukungan material dinilai sangat krusial karena saat ini banyak KPID yang mengalami kesulitan anggaran.

“KPID memerlukan alat utama sistem pertahanan atau alutista dalam pengawasan isi siaran di daerah. Karena itu, dukungan dari DPRD sangat diharapkan agar mereka dapat menjalankan fungsi pengawasan dengan baik,” kata Yuliandre saat menerima kunjungan Pimpinan dan Anggota Komisi I DPRD Provinsi Bali di kantor KPI Pusat, Jumat (10/11/2017).

Menurut Andre, panggilan akrabnya, data hasil pengawasan KPID diperlukan ketika terjadi pelanggaran terhadap aturan Pilkada atau penyiaran. Data tersebut nantinya dapat dikirim ke KPU atau Bawaslu untuk penguatan tindakan. “KPI Pusat juga memerlukan data tersebut jika ada penindakan terhadap pelanggaran. Karena itu, monitoring siaran di daerah harus tetap aktif,” tegasnya.

Komisioner KPI Pusat, Ubaidillah.


Komisioner KPI Pusat, Ubaidillah menambahkan, KPI Pusat dan KPID akan melakukan tindakan jika ada pelanggaran dalam isi siaran dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan KPU dan Bawaslu. “KPI Pusat dalam melakukan pengawasan menggunakan aturan P3 dan SPS KPI tahun 2012,” katanya.

Menurut Komisioner bidang Kelembagaan ini, penindakan yang dilakukan KPI ditujukan pada lembaga penyiarannya. Adapun penindakan untuk kontestan atau peserta Pilkada dilakukan KPU dan Bawaslu. “Kita memiliki prosedur sanksi dari teguran pertama hingga penghentian sementara. Setiap sanksi yang dikeluarkan akan ditembuskan ke pihak penyelenggara,” katanya pada Ketua Komisi I DPRD Provinsi Bali, I Ketut Tama Tenaya.

Sebelumnya, Ketua Komisi I DPRD Provinsi Bali menyampaikan maksud kedatangan mereka ke KPI Pusat terkait pengawasan media penyiaran di Bali pada saat pemilihan gubernur pada 2018 mendatang. Selain membicarakan soal Pilgub, Ketut juga menanyakan perkembangan revisi UU Penyiaran di DPR RI. “Kami memiliki hubungan baik dengan KPID dan mereka cukup baik dalam berkoordinasi dengan kami,” katanya. ***

 

Jakarta - Peneliti Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) Nina Mutmainnah mengatakan terdapat 13 program anak-anak di televisi yang masuk ke dalam kategori "bahaya" karena mengandung muatan negatif seperti kekerasan, mistis, muatan dewasa dan bahasa kasar yang cukup tinggi.

"Muatan negatif pada program acara anak-anak yang masuk kategori bahaya bukan lagi merupakan bentuk pengembangan cerita tetapi sudah menjadi inti cerita," kata Nina dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis.

Selain program acara anak yang berkategori "bahaya", YPMA juga menetapkan 14 program acara berkategori "hati-hati" dan 37 program acara masuk kategori "aman". Pengkategorian tersebut berpijak pada kajian YPMA terhadap program acara anak-anak di televisi selama 10 tahun, yaitu dari 2006 hingga 2015.

Kajian tersebut menemukan kebanyakan acara anak-anak di televisi, yaitu 59 persen dari 1.401 program acara, termasuk kategori "tidak aman". YPMA kemudian mengkaji kembali 64 program yang masuk ditayangkan di televisi hingga 2017.

"Program yang masuk kategori hati-hati umumnya relatif seimbang antara muatan positif dan negatifnya. Seringkali tayangan berkategori hati-hati memberikan hiburan serta pendidikan dan nilai positif tetapi juga memuat kekerasan, mistis, muatan dewasa dan bahasa kasar yang tidak terlalu mencolok," tuturnya.

Umumnya, program acara berkategori "hati-hati" menampilkan muatan antisosial seperti perundungan, sifat materialistis, pemalas, cengeng dan egois. Adegan perundungan dan perkelahian seringkali ditampilkan dalam balutan komedi.

Sedangkan program acara yang masuk kategori "aman" biasanya memiliki cerita yang jenaka dan mengandung muatan pembelajaran dalam rangkaian cerita yang dekat dengan keseharian anak.

"Biasanya karakter utama digambarkan memiliki karakter pemberani, ringan tangan, berjiwa pemimpin, cerdas dan gemar berpetualang. Sekalipun kadang digambarkan agak nakal dan keras kepala, tetapi di bagian akhir mereka digambarkan membayar kenakalannya secara bertanggung jawab, kata Nina.

Menurut Nina, program acara yang "aman" jarang menampilkan karakter antagonis yang benar-benar jahat. Bahkan, penonton akan sulit mengenali karakter yang masuk dalam kategori jahat karena biasanya mereka hanya karakter yang melakukan kekeliruan kemudian memperbaiki sebagai konsekuensi atas perbuatannya.

Biasanya, program acara "aman" mengandung muatan kurikulum tersembunyi, yaitu isi program yang membantu anak untuk mempelajari sesuatu yang sehat bagi tumbuh kembang anak.

YPMA mengadakan diskusi publik bertema "Mencari Acara Televisi Berkualitas untuk Anak". Selain Nina, pembicara lainnya adalah Staf Khusus Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Fernandez Hutagalung dan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Dewi Setyarini. Red dari antara news

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) menilai perlu adanya sudut pandang baru kalangan produksi dalam menghasilkan tayangan yang ramah untuk anak. Upaya ini dinilai dapat meningkatkan produksi tayangan anak yang aman, sehat dan ramah di media penyiaran khususnya televisi.

Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini mengatakan, reorientasi produksi tayangan ramah anak perlu diselaraskan dengan penyamaan pemahaman dan tujuan penyiaran dalam konteks ramah anak. Cara pandang baru dan pemahaman yang sama akan menumbuhkan kreasi yang baik sehingga tayangan anak yang dihasilkkan sesuai harapan.

“Perlu juga penguatan aspek kreatif dan inspiratif selain menyeimbangkan kepentingan komersil dan tanggungjawab sosial.  Selain itu, pelaksanaan dan penegakan regulasi harus jalan seiring dengan literasi media terhadap publik,” kata Dewi Setyarini, saat menjadi narasumber acara Yayasan Pengembangan Media ANak (YPMA) dengan tema "Mencari Acara Berkualitas untuk Anak" di Hotel Ibis Menteng, Kamis (9/11/2017).

Dewi menyampaikan jika anak berhak mendapatkan tayangan yang sesuai dan memang pantas untuk mereka. Tayangan itu harus mengandung nilai edukasi dan pesan moral yang positif. Narasi dan visualisasi yang khas anak. Anak yang dilibatkan sebagai subyek dalam acara tersebut bukan untuk dieksploitasi tapi lebih cenderung pada keterlibatan kreativitasnya.

Menurut Dewi, anak-anak harus mendapat perlindungan dari tontonan yang mengandung kekerasan, pornografi dan kekerasan seksual. “Mereka juga harus mendapatkan perlindungan dalam kasus penegakan hokum,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Dewi menyampaikan ada 88 sanksi  atas pelanggaran perlindungan anak dan remaja. Pelanggaran yang paling banyak soal kekerasaan.

Seminar yang diadakan YPMA menghadirkan narasumber lain yakni Peneliti YPMA, Nina Mutmainnah, dan Staf Khusus Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Fernandes Hutagalung. ***

Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio.

 

Jakarta – Dinas Kominfo Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, berencana menghidupkan kembali  siaran Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) TV Merauke setelah vakum beberapa tahun belakangan. Hal itu disampaikan KPID Papua dan Dinas Kominfo Kabupaten Merauke saat kunjungan kerja ke Kantor KPI Pusat, Kamis (9/11/2017).

Ketua KPID Papua, Jakob Soububer mengatakan, Pemerintah Kabupaten Merauke melalui Bupatinya berkeinginan untuk menghidupkan siaran TV Merauke yang vakum. Menurutnya, TV Merauke sangat dibutuhkan masyarakat setempat yang haus akan informasi mengenai daerahnya. “Kami berharap KPI Pusat mendukung langkah ini,” katanya kepada Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio, yang menerima langsung kunjungan tersebut.

Jacob menceritakan masalah anggaran menjadi penyebab siaran TV Merauke berhenti bersiaran. Padahal, TV Merauke sudah memiliki kelengkapan infrastruktur sebagai Stasiun TV. “Mereka sudah memiliki studio, pemancar dan hal teknis lainnya,” tambahnya.

 

Ketua KPID Papua, Jakob Soububer.

Sementara itu, Agung Suprio, menyambut baik pengaktifan kembali siaran TV Merauke. Menurutnya , keberadaan TV publik lokal  membantu masyarakat Merauke untuk memperoleh informasi mengenai program pembangunan Pemda setempat.

Agung berharap TV Merauke segera menyampaikan kelengkapan administrasi yang sudah lengkap ke KPI Pusat dan Kominfo. “KPI akan bantu untuk berbicara kepada pemerintah agar dapat memberikan kembali izin siaran TV Merauke yang ditarik karena berhenti di tengah jalan,” katanya. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.