Depok - Keberadaan Dewan Rating yang diinisiasi oleh negara mendesak untuk direalisasikan guna mengatur keberadaan lembaga pemeringkatan televisi agar lebih transparan dan akuntabel. Di beberapa negara, kehadiran Dewan Rating ini juga dikuatkan lewat regulasi yang mewajibkan lembaga pemeringkatan atau lembaga rating membuka diri terhadap audit rating. Hal tersebut mengemuka dalam Diskusi “Dewan Rating: Solusi Akuntabilitas Industri Penyiaran?” yang diselenggarakan di auditorium gedung Ilmu Komunikasi FISIP UI, (11/11).

Dalam kesempatan tersebut, Koordinator bidang pengawasan isi siaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Hardly Stefano menyetujui usulan dibentuknya Dewan Rating yang dilakukan oleh negara. Dirinya mengusulkan agar peran-peran yang diberikan pada Dewan Rating tersebut dilekatkan pada KPI. Untuk itu, selagi undang-undang penyiaran masih dalam pembahasan di Komisi I DPR, sebaiknya usulan keberadaan Dewan Rating ini segera disampaikan sebagai salah satu solusi atas permasalahan kualitas penyiaran saat ini.

Eriyanto, dari Aliansi Jurnalis Independen yang menjadi tim penulis buku Mendorong Akuntabilitas Rating Media Penyiaran menyampaikan bahwa ide tentang Dewan Rating in isudah muncul sejak 10 tahun lalu. “Sebenarnya Dewan Rating ini tanggung jawab industri, tapi tidak juga terwujud”, ujarnya. Sepertinya televisi-televisi yang ada sudah senang dengan kondisi yang sekarang, karenanya kita tidak bisa tunggu inisiatif datang dari industri, harus didorong keberadaannya lewat Undang-Undang Penyiaran, tambah Eryanto.

Dirinya memberikan contoh pelaksanaan Dewan Rating yang menurutnya baik di India. Salah satunya, Dewan Rating di negara tersebut menetapkan syarat pengukuran selera masyarakat, diantaranya harus mengikutsertakan sampel-sampel dari pedesaan, sehingga hasil rating juga mencerminkan keberagaman masyarakat.  Sedangkan untuk Indonesia, hingga saat ini bentuk regulasi dan standarisasi rating masih diserahkan sepenuhnya kepada lembaga rating satu-satunya, yakni Nielsen.

Berbagai kritik disampaikan pula pada diskusi tersebut kepada penyelenggara rating saat ini, Nielsen. Andini Wijendaru, Associate Director Media Nielsen Company Indonesia, memberikan penjelasan bagaimana selama ini rating diselenggarakan. Termasuk tentang syarat-syarat responden, dan pemetaan sebaran kota-kota rating yang sudah dijangkau Nielsen. Andini menjelaskan pula tentang beberapa jenis survey yang telah dilakukan oleh lembaganya terkait televisi, dan hasil yang didapatkan tidak jauh berbeda. Andini juga menekankan bahwa survey yang dilakukan Nielsen adalah menghitung secara kuantitas, bukan kualitas.

Dukungan atas hadirnya Dewan Rating disampaikan pula oleh Wishnutama, CEO Net Mediatama. Wishnu menjelaskan pengalaman di industri penyiaran dan perjuangan yang dilakukan untuk konsisten menghadirkan program siaran berkualitas. Ia menyadari program-program di stasiun televisinya kerap kali kalah bersaing di pasar, karena mendapatkan angka rating minimal. Karenanya pada kesempatan itu, Wishnu juga meminta didoakan agar pihaknya dapat teguh memegang idealisme untuk kualitas program siaran televisi.  “Jika isi televisi kualitasnya jelek, maka masyarakat yang memiliki uang akan lebih memilih program televisi yang merupakan produk-produk luar negeri”, tegas Wishnu.

Terkait kualitas program televisi ini, Hardly menilai bahwa fungsi ekonomi di penyiaran memang hadir lebih dominan. Padahal masih ada fungsi hiburan yang sehat, informasi, pendidikan, kebudayaan serta kontrol dan perekat sosial yang harus hadir secara seimbang. Meski demikian terhadap rating ini, Hardly mengakui bahwa rating telah menjadi feedback untuk stasiun televisi atas apa yang sudah disiarkan ke tengah masyarakat. Karenanya, KPI mendorong adanya literasi media agar masyarakat dapat lebih kritis terhadap program di televisi. Tidak hanya itu, KPI juga membuat Survey Indeks Kualitas Program Siaran Televisi di 12 (dua belas) kota besar di Indonesia. Sehingga pengelola televisi juga mendapatkan data pembanding tentang persepsi masyarakat terhadap tayangan yang mereka produksi.

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengapresiasi peningkatan indeks kualitas program siaran televisi periode ke-3 yang dilaksanakan oleh KPI Pusat bekerjasama dengan Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia dan 12 (dua belas) Perguruan Tinggi di 12 (dua belas) kota besar di Indonesia. Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis berharap, hasil survey ini dapat dijadikan acuan oleh para pemangku kepentingan, khususnya pengiklan, dalam menempatkan iklan-iklan di program televisi untuk produk-produknya.

Penempatan iklan tersebut sebenarnya menunjukkan seberapa besar keberpihakan para produsen, terhadap peningkatan kualitas dunia penyiaran secara khusus, dan perkembangan moral dan etika masyarakat secara umum. Bagaimanapun juga, ujar Yuliandre, eksistensi sebuah program siaran memiliki ketergantungan yang cukup besar pada pengiklan. Untuk itulah, KPI mengharapkan program-program berkualitas baik seperti dalam hasil survey ini, dapat didukung keberlangsungannya di tengah masyarakat.  “KPI punya beberapa indikator program berkualitas”, ujar Yuliandre. Selain Survey Indeks Kualitas Program Siaran, KPI juga punya Anugerah KPI yang memilih program-program siaran terbaik.

Secara umum, nilai indeks kualitas program siaran periode ke-3 ini mencapai angka 3,56, sedangkan pada survey kedua sebesar 3.40. Meskipun demikian, angka ini masih belum mencapai standar KPI yakni sebesar 4,00. Yuliandre juga menyoroti kenaikan nilai indeks untuk program infotainment dan sinetron. Selama ini dua program tersebut mendapatkan nilai yang tidak memuaskan, namun pada periode ini keduanya mencapai nilai indeks 3.

Selain itu, selama tiga kali pelaksanaan survey,  terdapat konsistensi pada program wisata budaya yang mencapai nilai 4.  Bahkan pada survey ke-3, program tersebut mendapatkan nilai 4,31. Penilaian tertinggi responden terhadap program wisata budaya didapat dari indikator informatif, edukatif dan penghargaan terhadap keberagaman budaya.  Karenanya Yuliandre berharap, lembaga penyiaran memberikan proporsi lebih baik atas kehadiran program wisata budaya di layar kaca. “Baik dari segi kuantitas tayangan, ataupun penempatan program pada waktu yang produktif”, ujarnya.

Lebih jauh lagi, Yuliandre pun berharap, program-program lain seperti infotainment dan sinetron dapat mengadopsi keberagaman budaya dan adat istiadat yang ada di Indonesia. “Kebhinekaan negeri ini seharusnya dapat tergambarkan, tidak saja lewat program wisata budaya, tapi juga lewat program lainnya seperti sinetron dan infotainment yang masih memiliki magnitude besar. Sehingga wajah televisi kita tidak selalu berorientasi pada Jakarta (Jakarta Oriented)”, tukasnya.

Pada survey ini dilakukan juga pemeringkatan menonton pada bulan Agustus 2016 terhadap tayangan yang dipilih berdasarkan 4 jenis program siaran (berita, infotainment, religi dan anak). Hasil survei memperlihatkan 5 program berita yang paling banyak ditonton: Kabar Petang (TV One), Redaksi Sore (Trans 7), Seputar Indonesia Siang (RCTI), Fokus Sore (Indosiar), dan CNN Indonesia Good Morning (Trans TV).  Sedangkan tiga program infotainment paling banyak ditonton: Silet (RCTI), Insert Pagi (Trans TV), dan Hot Kiss (Indosiar). Untuk program religi yang paling banyak ditonton: Kata Ustad Solmed (SCTV), Rindu Suara Adzan (Global TV), dan Poros Sorga (Trans 7). Adapun pada program anak-anak yang paling banyak ditonton responden: Si Bolang (Trans 7), Adit Sopo Jarwo (MNC TV), dan Hafiz Indonesia (RCTI). Selain memberikan pemeringkatan, program yang sama juga diberikan penilaian oleh panel ahli. Ada yang hasilnya sejalan dengan  nilai pemeringkatan, namun ada juga penilaian panel ahli yang bertolak belakang.

Survey Indeks Kualitas Program Siaran Televisi ini dilakukan KPI bekerjasama dengan Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) serta 12 (dua belas) perguruan tinggi di 12 (dua belas) provinsi. Adapun perguruan tinggi tersebut adalah, Universitas Sumatera Utara (Medan), Universitas Andalas (Padang), Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (Jakarta), Universitas Padjajaran (Bandung), Universitas Airlangga (Surabaya), Universitas Diponegoro (Semarang), Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (Yogyakarta), Universitas Udayana (Denpasar), Universitas Tanjung Pura (Pontianak), Universitas Lambung Mangkurat (Banjarmasin), Universitas Hasanuddin (Makassar), dan Universitas Kristen Indonesia Maluku (Ambon).

Jakarta - Anugerah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Kamis malam, 10 November 2016 disiarkan secara langsung oleh TV Trans 7. Acara tahunan ini sebagai bentuk apresiasi KPI terhadap program siaran yang berkualitas kepada radio dan televisi. Anugerah KPI 2016 mengusung tema “Karya Bersama Untuk Bangsa”.

Anugerah KPI 2016 kali adalah perhelatan kali kesebelas sejak KPI berdiri tahun 2004. Ada 16 Kategori yang diperlombakan dalam perhelatan yang disiarkan secara bergantian oleh lembaga penyiaran televisi. Menurut Ketua Panitia Pelaksana sekaligus Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono mengatakan, Anugerah KPI diharapkan bisaq memunculkan inovasi dan kreativitas dapat berjalan beriringan ke arah yang positif. Inovasi adalah kata kunci bertahan hidup dalam kompetensi industri media yang semakin ketat.

"Kompetisi ini bagian dari evaluasi program tayangan. Lembaga penyiaran dalam hal ini televisi dan radio, mengajukan sendiri program-program siaran sesuai dengan kriteria KPI," kata Mayong.

Berikut daftar pemenang penghargaan Anugerah KPI 2016:

1. Program Anak-Anak Terbaik:  Fun Time – Episode 3  Tanggal 10 Agustus 2016 (RTV)

2. Program Animasi Terbaik:  Plentis Kentus – Episode 15 Juni 2016 (Trans TV)

3. Program Drama/FTV Terbaik:  Sinema Wajah Indonesia – Episode Dalang (SCTV)

4. Program Infotainment Terbaik:  Entertainment News Sore – Episode 9 Juli 2016 (NET TV)

5. Program Talkshow Terbaik:  1 Indonesia – Episode Robin Lim (NET TV)

6. Program Berita Terbaik:  Kompas Siang (Kompas TV)

7. Program Feature Televisi Terbaik:  Mereka yang Tangguh; Merenda Asa Merajut Mimpi (Global TV)

8. Program Feature Radio Terbaik:  Kisah Mbah Sadiman, Si Miskin Menyantuni Ibu Pertiwi (RRI Pro 3 Jakarta)

9. Iklan Layanan Masyarakat Produksi Televisi Terbaik:  Gadget Tak Bisa Menggantikan Sentuhan Cinta (MNC TV)

10. Iklan Layanan Masyarakat Produksi Radio Terbaik:  Upload Foto Anak di Sosmed (Global Radio FM)

11. Program Televisi Peduli Perbatasan Terbaik:  Lentera Indonesia – Episode Guru Garis Depan NTT (NET TV)

12. Program Radio Peduli Perbatasan Terbaik:  Bela Negara – Episode Membangun Semangat Sehati Sejiwa Memperkokoh NKRI melalui siaran perbatasan RRI Pontianak-RRI Sintang dan RRI Entikong (RRI Entikong Kalbar)

13. Presenter Berita Terbaik:  Imam Priyono (TVRI)

14. Presenter Non-Berita Terbaik:  Maudy Kusnaedi (Trans TV)

15. Radio Komunitas Terbaik Radio Dakwah Islam 107,9 FM – Masjid Agung Jawa Tengah (DAIS 107,9)

16. Penghargaan Pengabdian Seumur Hidup : Ishadi Soetopo Kartosapoetro. ***

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tandatangani Memorandum of Understanding ‎(MoU) tentang Gugus Tugas Pengawasan Siaran Pemilukada serentak di lembaga penyiaran 2017 di Hotel Ibis, Jakata Pusat, Jumat, 11 November 2016. Siaran yang diawasi antara lain siaran pemberitaan, iklan peserta dan  segala bentuk penyiaran yang berhubungan dengan Pemilukada.

Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis menyampaikan, kesepakatan yang dibuat dalam gugus tugas ini untuk mengetahui dan memberikan kewenangan yang sesuai di setiap lembaga dalam menyikapi adanya pelanggaran dalam Pemilukada. Menurut Andre, untuk menghindarinya adanya konflik yang ditimbulkan akibat pelanggaran siaran seperti iklan calon pasangan.

"Kesepakatan atau gugus tugas ini untuk menjelaskan apa tugas masing-masing lembaga. KPI harus melakukan apa. Begitu pula dengan KPU dan Bawaslu," kata Yuliandre dalam jumpa pers usai penandatanganan MoU bersama KPU dan Bawaslu.

Hal senada juga disampaikan Ketua Bawaslu Muhammad. Menurutnya, pembentukan gugusan tugas antara pihaknya dengan KPU dan KPI dilakukan agar pemantauan jalannya Pilkada Serentak 2017 pada 15 Februari 2017 berlangsung efektif.

"Gugus tugas ini untuk mengawasi dan mengefektifkan penyelenggara pemilu dalam bekerja. Kalau dulu saling menggiring ini wilayah kerjanya KPU, KPI, dan Bawaslu, sekarang dilakukan dengan bersama," jelasnya.
Muhammad menerangkan, ‎UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada telah mengatur bagaimana pelaksanaan penyelenggara pemilu di Indonesia. Karena itu, seluruh prosedur hukum dalam pesta demokrasi Pilkada Serentak 2017 akan dilakukan ‎sebaik-baiknya.

"Kalau ada dugaan pelanggaran nantinya ‎maka akan direkomendasikan kepada KPI, atau pelanggaran lainnya kepada Bawaslu atau KPU. Sehingga pengawasan dan penindakan dapat dilakukan dengan cepat dan tegas," tandasnya.

Sementara itu, Ketua KPU RI Juri Ardiantoro memandang kerjasama ini merupakan langkah strategis meningkatkan demokrasi penyelenggaraan pemilu. Menyukseskan penyelenggaran pemilu, kata dia, tak hanya cukup dilakukan KPU dan Bawaslu, tapi juga oleh lembaga lain seperti KPI.

"Jangan sampai media jadi sumber kegaduhan dan sumber perpecahan. Sebaliknya kita dorong mendewasakan pemilih agar menggunakan haknya untuk memilih," kata dia.

Pada saat penandatangan MoU ini, turut hadir Wakil Ketua KPI Pusat Sujarwanto Rahmat Arifin, Komisioner yang juga PIC Pengawasan Pemilukada 2017, Nuning Rodiyah, Komisioner KPI Pusat bidang Kelembagaan, Ubaidillah dan Komisioner bidang Isi Siaran, Dewi Setyarini. ***

Jakarta – Medio Agustus hingga Oktober 2016, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat banyak menerima aduan dari masyarakat terkait siaran langsung atau live persidangan kasus hukum di beberapa lembaga penyiaran televisi. Rata-rata isi aduan yang disampaikan mengenai panjangnya durasi siaran langsung yang dinilai terlalu berlebihan atau lama. Padahal frekuensi yang dipakai milik publik.

Terkait persoalan tersebut, KPI Pusat telah mengeluarkan beberapa imbauan ke lembaga penyiaran. Sayangnya, imbauan yang disampaikan belum sepenuhnya diikuti beberapa lembaga penyiaran dengan berbagai pertimbangan dan alasan.

Berkaca dari hal itu, KPI Pusat mencoba membangun komunikasi dengan lembaga penyiaran guna menyamakan pandangan, mendengarkan penjelasan serta menerima masukan sebanyak-banyaknya melalui pintu diskusi yang digelar hari ini, Selasa, 8 November 2016 di kantor KPI Pusat. Diskusi ini turut menghadirkan sejumlah narasumber terkait antara lain dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Kementerian Hukum dan HAM serta Komisi Yudisial (KY).

Komisioner KPI Pusat Nuning Rodiyah di awal diskusi mengatakan, KPI Pusat berupaya mencari titik temu tentang pantas atau tidak kasus hukum disiarkan secara live dan dalam tempo yang lama. Selain itu, diskusi ini dimaksudkan Nuning untuk lebih banyak menggali aturan dan etika yang berhubungan dengan peliputan mengenai masalah hukum.

“Ini juga untuk merespon beberapa isu terkait layar kaca kita seperti tayangan persidangan Jessica yang sudah diputuskan. Ada juga beberapa tayangan introgasi yang perlu kita diskusi hari ini. Kita juga perlu membicarakan soal gelar perkara terbuka yang akan datang. Apa ini boleh atau tidak. Ini perlu kita bahas dalam diskusi ini,” jelas Nuning selaku Komisioner bidang Isi Siaran.

Saat pertama menyampaikan presentasi, Komisioner KPI Pusat Hardly Stefano berbicara soal fungsi penyiaran yakni sebagai media informasi, pendidikan, pemberi hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Fungsi-fungsi itu disimpulkan bahwa media penyiaran seharusnya menjadi medium pembentukan karakter bangsa. Karena itu, semua aturan-aturan perundangan dan teknis yang ada harus merujuk kepada fungsi tersebut.

Menurut Hardly, jika hal-hal itu belum diatur sebaiknya harus melihat hal-hal yang lebih substansi. “Apakah sebuah tayangan ketika itu belum diatur secara teknis dalam aturan itu bagian dari informasi yang harus diterima publik atau tidak? Apakah itu proses pendidikan yang baik atau tidak untuk masyarakat? Apakah itu hiburan yang sehat atau tidak dan kemudian apa itu bagian dari kontrol dan perekat sosial atau jangan-jangan menjadi bibit konflik di masyarakat?” tanya Hardly.

Pertanyaan-pertanyaan substansi di atas, kata Hardly, seharusnya di kedepankan oleh teman-teman media. Jangan sampai hanya karena tidak ada di aturan, media mengunakan caranya sendiri dengan alasan kasusnya menarik atau ratingnya tinggi. Menurut Hardly, KPI terus mengupayakan menutup celah-celah dalam aturan yang ada agar tidak ada alasan atau dalih karenanya.

Hardly menegaskan upaya KPI itu bukan untuk membatasi tetapi sebagai regulator pendorong fungsi penyiaran sesuai dengan amanat dalam UU Penyiaran.

Selain berbicara fungsi media dalam penyiaran, Hardly membahas soal boleh atau tidak ada batasan dalam proses introgasi yang boleh disiarkan. Dia pun mengingatkan bagaimana dampak proses investigasi  yang disiarkan jangan sampai jadi tutorial dari proses kejahatan yang ada.

Pembicara kedua dari Mabes Polri, Kombes Pol Abdul Rizal menjelaskan persoalan keterbukaan informasi sesuai dengan UU terkait. Menurutnya, Polri sebagai lembaga publik wajib memberikan pelayanan informasi yang berkaitan dengan kepentintan publik, baik itu diminta perorangan atau badan hukum. Namun dalam kasus yang sedang dalam proses penyelidikan oleh penegak hukum, sesuai dengan UU Keterbukaan Informasi, informasi itu masuk dalam kelompok informasi yang dikecualikan tidak dapat diberikan kepada masyarakat sebagai pemohon dengan alasan dapat menghambat proses penegakan hukum.

Terkait dengan rencana Polri menggelar sidang terbuka terkait gelar perkara kasus Gubernur DKI Jakarta Non Aktif, Basuki Thahja Purnama, hal itu demi kepentingan dan kemaslahatan  bangsa.

Kesakralan dan independensi lembaga peradilan

Sementara itu, pembicara ketiga, Komisioner Komisi Yudisial Farid Wajdi, menilai penayangan kasus hukum dari harus melihat dari pendekatan etika. Selain itu, proses persidangan yang disiarkan secara langsung dengan rentan yang lama bisa dijawab dengan UU No.48 tahun 2009 dan juga KUHAP.

Menurut Farid, pengambilan gambar atau siaran langsung dalam ruang sidang harus juga dengan seizin hakim ketua sidang kecuali untuk kasus tertentu. Dalam kasus Jessica, penayangan atau siaran livenya yang lama dan terkait pemberitaannya banyak menimbulkan keluhan dari lembaga peradilan. Dikhawatirkan itu akan mempengaruhi independensi hakim karena dampak konflik opini. “Untungnya, untuk kasus Jessica hal itu tidak terjadi karena pelaku sidang sudah bertugas hampir 30 tahun. Jadi tidak terpengaruh,” jelasnya.

Terkait independensi versus opini, ini bisa mempengaruhi pada martabat keadilan dalam hal ini martabat hakim. Idealnya, kata Farid, lembaga peradilan harus sakral karena menjadi gerbang peradilan yang terakhir.

Kemudian soal terbukanya keterangan saksi atau ahli, Farid merasa dilema karena sepatutnya hal itu tidak diketahui. Menurutnya, keterangan ahli dan saksi tidak boleh diketahui oleh saksi lainnya. Ini dapat menyebabkan antar saksi menyamakan pendapatnya atau sebaliknya. “Ini bisa membuka ruang hukum para pakar hukum. Bisa saja terjadi ruang sidang di luar sidangnya,” paparnya di depan peserta diskusi yang kebanyakan dari lembaga penyiaran.

Adapun Direktur Hak Asasi Manusia dari Kementerian Hukum dan HAM, Bambang Iriana menjelaskan perihal pengaturan oleh pemerintah terkait informasi ke masyarakat dalam upaya melindungi serta mendapatkan informasi yang benar. Ini kemudian menimbulkan pertanyaan Bambang yang senada dengan Hardly, apakah setiap tayangan persidangan itu memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat.

Bambang menyadari bahwa media memiliki pengaruh serta dampak dari apa yang disiarkannya. Apalagi media ini media penyiaran yang dampaknya sangat luas ketimbang media lain. Menurutnya, fungsi penyiaran harus berimbang. Keseimbangan ini perlu juga didukung oleh SDM yang professional. Keseimbang itu pun, kata Bambang, harus juga diimbangi denga etika dan moral. “Isi siaran jangan menjadi video tutorial untuk kasus-kasus tertentu yang mempunyai potensi untuk ditiru,” tukasnya.

Bambang juga menyatakan dukungannya agar KPI diperkuat secara kewenangan. Penguatan kewenangan KPI akan berimplikasi terhadap aturanya yakni P3 dan SPS. Dia menegaskan bahwa isi siaran harus diatur supaya masyarakat dapat mendapatkan informasi yang baik dan mendidik. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.