Jakarta – Hari ini, Kamis, 17 Maret 2016, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memanggil RCTI untuk diminta klarifikasi terkait pernyataan Zaskia Gotik yang melecehkan lambang negara Republik Indonesia dalam program acara “Dahsyat” yang ditayangkan RCTI Selasa, 15 Maret 2016.

RCTI yang diwakili bagian produksi program “Dahsyat” Sambodo dan Jahja I Rianto (Opa) serta Corporate Secretary menyampaikan permohonan maaf dan memberikan  penjelasan mengenai Zaskia Gotik kepada Anggota KPI Pusat Agatha Lily dan Sujarwanto Rahmat Arifin di acara “Dahsyat”. Menurut RCTI, pernyataan Zaskia di luar skenario. “Kami sangat terkejut dengan jawaban Zaskia dan langsung menegur keras Zaskia untuk segera menyampaikan permintaan maaf,” kata Opa.

Keesokan harinya Zaskia meminta maaf secara langsung kepada masyarakat Indonesia disela-sela program acara “Dahsyat” Rabu, 16 Maret 2016. Dalam pernyataannya, Zaskia Gotik sangat menyesal dan memohon maaf kepada masyarakat dan juga negara. Dirinya mengaku tidak sengaja dan di luar kesadaran saat melontarkan jawaban tersebut.

Sementara itu, KPI melalui Koordinator bidang Isi Siaran KPI Pusat Agatha Lily menegaskan apa yang dinyatakan Zaskia Gotik dalam acara “Dahsyat” tanggal 15 Maret lalu sangat menghina dan melecehkan kehormatan lambang negara. Yang bersangkutan juga tidak menghargai sejarah perjuangan Bangsa Indonesia dengan berkata tidak layak. Menurutnya, komentar tersebut sangat tidak pantas. "Artis - artis yang sering salah bicara dan melakukan pelanggaran sangat riskan kalau terus siarkan secara live,” tegas Lily kepada perwakilan RCTI yang hadir.

Meskipun Zaskia Gotik sudah meminta maaf, KPI tetap mengambil langkah tegas dengan menjatuhkan sanksi kepada acara “Dahsyat” RCTI. Sanksi teguran akan disampaikan KPI Pusat ke RCTI pada Kamis sore ini.  "‎Ini adalah merupakan teguran terakhir, jika pelanggaran kembali terjadi makan program tersebut akan kami hentikan kembali," tegas Lily.

Dalam kesempatan tersebut, pihak RCTI juga menyatakan  akan menyiarkan permintaan maaf Zaskia Gotik pada program acara lain sbg bentuk tanggung jawab RCTI.

Sebelum acara ditutup Sujarwanto Rahmat mengatakan bahwa produser acara ini harus selalu melakukan briefing dan memberikan catatan kepada para pengisi acara mengenai hal yangg tidak boleh dilakukan seperti penghinaan terhadap lambang negara, pelecehan SARA dan perilaku lainnya yang tak pantas. RCTI dan Dahsyat berjanji akan segera menindaklanjuti apa yg disampaikan KPI dan menyatakan akan mematuhi aturan P3 dan SPS KPI.***


Jakarta –  Program televisi dengan latar belakang cerita seni budaya dan tradisi harus mengikuti aturan serta batasan yang berlaku agar tidak keluar dari konteks hingga terkesan melecehkan. Pentingnya aturan dan batasan ini untuk menjaga nilai budaya dan tradisi tersebut supaya tetap sesuai dan lestari. Demikian disampaikan Anggota Komisi I DPR RI Tuti N. Roosdiono dalam diskusi terbatas dengan KPI Pusat di kantor KPI Pusat, Selasa, 15 Maret 2016.

Menurut Tuti, ada beberapa hal yang patut diperhatikan setiap pengelola televisi sebelum menayangkan program dengan latar belakang seni budaya dan tradisi seperti pesan moral yang disampaikan dalam isi cerita ke publik, tidak melecehkan, berisi pengetahuan yang manfaat, correct (benar atau tidak dibuat-buat), ada runtutan cerita (script) dan tema,  serta mengandung hal-hal yang mendidik.

“Orang yang bertanggungjawab terhadap program tersebut harus paham benar dan bisa memilah mana yang benar sesuai dengan nilai budayanya. Orang ini pun pemikirannya harus baik dan kematanganya dalam mengenal budaya sudah tinggi jadi tidak asal-asalan,” kata Tuti yang aktifitas luarnya berhubungan dengan kebudayaan serta melestarikan wayang orang.

Tuti mencontohkan seni ludruk dari Jawa Timur. Di dalamnya terdapat tahap-tahapan  cerita mulai dari pembukaan, pengenalan tokoh, kemudian sesi serius, lalu sesi guyonan, perang kembang, sampai penutupan yang memuat pesan moral kepada penonton.

Siaran televisi memiliki pengaruh yang luar biasa bagi penontonnya. Karena itu, tambah Tuti, setiap cerita dan lakon yang tampil harus sesuai dengan pakemnya. Jika lakonnya berprilaku tidak pantas dan tidak sesuai dengan cerita dan selalu begitu terus menerus, ini akan tidak baik bagi penonton. Mereka akan beranggapan hal itu jadi lumrah dan boleh ditiru.

“Misalnya pemeran sinden. Dimana-mana pakem sinden itu seorang perempuan tidak boleh seorang pria. Yang saya saksikan di TV ada sinden diperankan pria, itu sangat melecehkan,” jelasnya kepada Komisioner KPI Pusat Agatha Lily, S. Rahmat Arifin, Amirudin, dan Fajar Arifianto Isnugroho yang ikut dalam diskusi terbatas tersebut.

Mengenai kombinasi tari modern dalam cerita berlatar seni dan budaya, Tuti menjawab itu tidak ada bermasalah. Dia menghargai adanya modernisasi gerakan karena memang seni itu berkembang dan jangan sampai stagnan. “Yang penting adalah jangan sampai keluar dari aturan dan batasan yang sudah ada. Pada intinya tontonan budaya itu mendidik yang melihatnya dan mereka jadi belajar dari situ,” tambahnya.

Dalam kesempatan itu, Tuti menyatakan mendukung surat edaran  yang dikeluarkan KPI Pusat mengenai larangan  pembawa acara pria berpenampilan perempuan yang dikeluarkan akhir Februari 2016. Tuti juga prihatin dengan isi tayangan televisi yang dinilainya sudah melenceng dari etika dan tujuan penyiaran. ***

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mengundang para ahli di bidang psikologi dan anak untuk bicara mengenai persoalan LGBT (lesbian, guy, biseksual dan transgender) dari sudut pandang sosial dan dampaknya , Jumat, 4 Maret 2016. Para ahli tersebut antara lain Prof. Sarlito Wirawan Sarwono (Guru Besar Psikologi dari Universitas Indonesia), Elly Risma (Psikolog dari Yayasan Kita dan Buah Hati), Erlinda (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dan Ihshan Gumilar (Psikolog Syaraf).

Ketua KPI Pusat Judhariksawan di awal pertemuan mengatakan maksud pihaknya mengundang para ahli itu adalah untuk mendapatkan masukan sebanyak-banyak terkait persoalan LGBT dari sudut pandang psikolog dan anak. “Silahkan para ahli menyampaikan pandangannya terkait persoalan ini,” kata Judha yang didampingi Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad, Komisioner Agatha Lily, Amirudin, Danang Sangga Buana, dan Sujarwanto Rahmat Arifin.

Kesempatan pertama, Prof Sarlito menyampaikan, manusia itu ditakdirkan untuk menjadi heteroseksual. Menurut ahli psikologi sosial ini ada aspek lain yang membuat orang tersebut jadi LGBT yakni pengaruh dari luar dirinya. Orang dengan kasus demikian, lanjut Sarlito, ada kemungkinan masih bisa disembuhkan.

Selain itu, kata Sarlito, persoalan ini (LGBT) menyangkut masalah etika dan ini harus benar-benar jadi perhatian.

Menurut sudut pandang Elly Risman persoalan LGBT menjadi momentum bagi orangtua untuk mengontrol anak-anak. Kebiasaan anak-anak yang lebih akrab dengan gawai (gadget) tidak boleh dibiarkan. Apalagi kebanyakan orangtua tidak lebih hebat dari anak-anaknya dalam hal penguasaan gawai.

Ada beberapa penyebab pola asuh yang salah terhadap anak-anak yang dipandang Elly dapat menjadi penyebab mereka menjadi LGBT. “Ingat, peran orangtua sangat vital dalam awal terbentuknya LGBT. Jangan sampai justru pola asuh kita menjadi pemicu anak terlibat LGBT tanpa kita sadari,” tegas Elly.

Pernyataan senada dengan Elly juga disampaikan Erlinda dari KPAI. Menurutnya, karakter anak paling banyak dipengaruhi oleh lingkungan sebanyak 80 %. Sedangkan sisanya datang dari dalam dirinya. Pengaruh dari lingkungan bisa datang dari siaran media pandang dengar atau TV. Jika siaran televisi mengadung muatan yang negatif ini sangat berbahaya terhadap mereka. “Karena itu kami sangat berharap KPI dapat memfasilitasi membuat tontonan yang mendidik dan menjadi siaran alternatif bagi anak-anak,” pintanya.

Erlinda mengatakan LGBT merupakan penyimpangan terhadap moral dan agama. Menurut Erlinda, KPAI dan Kominfo mendukung pelarangan propaganda LGBT melalui media online dan media lainnya. “Perjuangan ini harus terus dilakukan. Kita sekarang dalam situasi genting,” ujarnya.

Sementara itu, Ahli Psikologi Syaraf (Neuropsychology) Ihshan Gumilar dalam presentasinya menjabarkan perkembangan LGBT di dunia. Banyak publik tidak mengetahui bahwa gerakan LGBT untuk bisa diterima di masyarakat luas, sudah dimulai semenjak tahun 60-an.

Ihshan mengatakan bahwa Diagnostic and Statistical Manual ‎selalu direvisi tiap beberapa tahun berdasarkan hasil penelitian yang valid. Pencabutan homoseksual dari DSM pada 1973, yang berdampak pada pandangan bahwa homoseksual bukan lagi sebagai penyakit jiwa, dilakukan bukan berdasarkan hasil penelitian. Tetapi, berdasarkan adanya desakan politik dan demonstrasi besar-besaran.

Selain bercerita tentang awal tumbuhnya LGBT, Ihshan juga menggambarkan bagaimana perubahan otak manusia. Menurutnya, otak tak ubahnya seperti plastik yang bisa berubah bentuk dan sangat fleksibel. Lalu yang menyebabkan perubahan tersebut? Jawabannya adalah perilaku dan pengalaman yang kita buat. Dalam catatannya Ihshan merujuk Donald Hebb, psikolog asal Kanada, mengemukakan sebuah ungkapan yang terkenal, Neurons fire together, wire together (Syaraf yang aktif bersamaan, akan membentuk jaringan secara bersamaan pula).

Pemikiran, perasaan, orientasi seksual, persepsi, termasuk sensasi fisik yang dibayangkan, mengaktifkan ribuan syaraf secara bersamaan. Ketika sebuah pemikiran ataupun perasaan tersebut diulang terus menerus, maka ribuan syaraf tersebut akan membentuk dan menguatkan jaringan sistem syaraf yang unik untuk pemikiran atau perasaan tersebut.

Menurut Ihshan, adanya konsep neuroplasticity ini menyampaikan bahwa perbedaan struktur otak tidak serta merta menyebabkan seseorang mempunyai orientasi seksual LGBT. Tetapi, kebiasaan, pengalaman, dan gaya hidup yang dibangunlah yang bisa mengubah struktur dan fungsi otak hingga menghasilkan orientasi dan perasaan intim terhadap sesama jenis, tandasnya.

Pertemuan yang berlangsung cukup dinamis ini juga diselingi berbagai pertanyaan dari Komisioner KPI Pusat. Pertanyaan yang diajukan mereka berkaitan dengan pengaruh yang disebabkan promosi LGBT di isi siaran. ***

Jakarta - Komisi I DPR RI mendesak Lembaga Penyiaran Publik (LPP TVRI), anggota Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) dan Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATVJI) untuk secara sungguh-sungguh meningkatkan kualitas program dan isi siaran, sesuai dengan amanat UU nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran dan pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran (P3SPS). 

Komisi I DPR RI juga mendesak TVRI, Anggota ATVSI dan ATVJI meningkatkan fungsi kontrol kualitas dalam proses produksi dan penanyangan program dan isi siaran serta memenuhi amanat PP 50 Tahun 2005 Pasal 17 dan Peraturan KPI/P3SPS Pasal 68 terkait penanyangan konten lokal pada semua stasiun televisi anggota jaringan.

Demikian disebutkan dalam hasil kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi I DPR RI dengan KPI, ATVSI, LPP TVRI dan ATVJI, Senin, 7 Maret 2016. ,

Dalam RDP tersebut hadir Ketua KPI Pusat Judhariksawan, Wakil Ketua KPI Pusat Idy MUzayyad serta Komisioner KPI Pusat Agatha Lily, Bekti Nugroho, Amirudin, Fajar Arifianto, S. Rahmat Arifin, Azimah Subagijo dan Danang Sangga Buana. 

Selain itu, kesimpulan hasil RDP Komisi I juga mendesak ATVSI dan ATVJI untuk mematuhi peraturan tentang tayangan partai politik sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran Pasal 36 Ayat 4, P3SPS dan ketentuan KPU. Komisi I juga meminta kepada KPI untuk melakukan pengawasan terkait hal tersebut.

‎Tidak hanya itu, Komisi I DPR mendukung KPI Pusat untuk meningkatkan fungsi pengawasan program siaran, termasuk konten lokal‎ pada stasiun televisi jaringan. Meningkatkan koordinasi dengan LSF agar terbangun sinkronisasi aturan P3SPS dengan aturan sensosr untuk program siaran di televisi. 

“Komisi I juga meminta KPI melakukan koordinasi dengan kementerian dan lembaga negara terkait untuk ‎mengevaluasi kinerja lembaga pemeringkatan dalam rangka menjaga pemeringkatan program siaran agar sesuai dengan prinsip dan tujuan penyiaran,” kata Pimpinan RDP Meutya Hafid.

Terkait peningkatan kualitas program dan isi siaran, Komisi I DPR mendesak KPI untuk melakukan evaluasi tahunan terhadap program dan isi siaran pada semua lembga penyiaran, termasuk rekomendasi perbaikan kualitas program dan isi siaran serta menyampaikan evaluasi tahunan seperti dimaksud pada point a dalam hasil kesimpulan rapat kepada pemerintah Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Komisi I DPR.

“ Komisi I juga mendesak KPI untuk melakukan pertemuan secara berkala dengan ATVSI, ATVJI, dan ATVLI serta asosiasi televisi lainnya,” papar Meutya menutup hasil kesimpulan rapat yang digelar mulai sekitar pukul 10.30 WIB hingga sekitar pukul 21.00 WIB itu. *** 

 

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia dan Komisi A DPRD Provinsi Jawa Timur mendorong lembaga penyiaran memperbanyak konten mendidik dalam program siarannya. Lembaga penyiaran, khususnya televisi, didorong untuk menjalankan dengan sepenuhnya fungsi media sebagai sumber informasi, media edukasi, sarana hiburan dan alat kontrol sosial yang menguatkan ideologi bangsa.

Hal tersebut diungkapkan dalam pertemuan antara KPI dengan Komisi A DPRD Provinsi Jawa Timur di Kantor KPI Pusat, Jakarta, Jumat, 4 Maret 2016. Rombongan yang berjumlah 15 orang itu dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi A DPRD Jatim Bambang Juwono. Dari KPI Pusat diwakili oleh Komisioner KPI Pusat bidang pengawasan isi siaran Idy Muzayyad, Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan Fajar Arifianto Isnugroho, Komisioner KPI Pusat bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran Danang Sangga Buwana dan Sekretaris KPI Pusat Maruli Matondang.

Menanggapi kebutuhan konten mendidik yang lebih banyak di televisi, Idy Muzayyad mengatakan bahwa apa yang disiarkan media dewasa ini merupakan potret kontestasi antara tayangan yang baik dan buruk. “Kita bisa menutup sama sekali konten yang buruk. Maka harus diperbanyak (konten) yang baik,” kata pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua KPI Pusat itu.

Idy mengakui bahwa, sanksi yang dikeluarkan KPI selama ini belum berbanding lurus dengan peningkatan kualitas. Idy menganggap sanksi KPI belum menimbulkan efek jera. Untuk itu, lanjutnya, dalam revisi Undang-undang penyiaran yang saat ini sedang dibahas di DPR, KPI mengusulkan adanya peraturan yang mengatur sanksi denda terhadap pelanggaran siaran yang dilakukan lembaga penyiaran.

Berbicara mengenai konten dan industri pertelevisian erat kaitannya dengan rating dan sharing. Kedua hal itu yang menentukan pendapatan televisi berdasarkan jumlah iklan yang masuk dari suatu program acara tertentu. Saat ini penentuan rating televisi dimonopoli oleh satu lembaga pemeringkat. Idy mengungkapkan, saat ini belum ada peraturan ataupun undang-undang yang mengatur keberadaan lembaga pemeringkat itu. Besar harapannya hal itu dapat dimasukkan dalam revisi undang-undang penyiaran.

Di samping itu, pokok undang-undang penyiaran adalah menjamin adanya keberagaman konten dan keberagaman kepemilikan. Dalam proses perpanjangan izin penyiaran yang sedang berlangsung saat ini, Danang Sangga Buwana mengatakan, KPI Pusat telah melakukan Verifikasi Faktual data yang diterima. “KPI sedang mengkaji kepemilikan saham lembaga penyiaran,” katanya. 

Poin penting lainnya dalam evaluasi perpanjangan izin penyiaran adalah penerapan sistem stasiun berjaringan. Dalam undang-undang penyiaran televisi diwajibkan menayangkan konten lokal 10 persen dari total jam siaran. “ini penting untuk menjaga lokalitas daerah. Agar tayang tidak selalu jakarta centris. Sayangnya penerapannya saat ini masih 5-7 persen,” kata Danang.

Dalam kesempatan yang sama, Komisi A DPRD Jatim juga menyampaikan rencana rekrutmen anggota KPID Jatim masa jabatan 2016 – 2019. “Bagaimana seharusnya kita menyikapi perubahan undang-undang 32 (tahun 2002 tentang penyiaran) yang saat ini sedang dibahas di DPR, khususnya mengenai peraturan perekrutan, kebetulan tahun ini kami akan memulai membentuk tim seleksi perekrutan anggota KPID jatim masa Jabatan 2016-2019,”kata Bambang Juwono.

Mengenai hal itu, Fajar mengatakan, akan diusulkan peraturan peralihan untuk kepengurusan yang sudah berjalan. Selama undang-undang yang baru belum disahkan, maka masih berlaku undang-undang yang lama. “Namun kami mengusulkan adanya peraturan peralihan yang akan mengatur kepengurusan yang sudah berjalan. Harapannya jika undang-undang disahkan di tengah kepengurusan baru, mereka masih bisa melanjutkan kepengurusan hingga masa jabatan berakhir, tidak putus di tengah jalan,” kata Fajar.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.