Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mengundang para ahli di bidang psikologi dan anak untuk bicara mengenai persoalan LGBT (lesbian, guy, biseksual dan transgender) dari sudut pandang sosial dan dampaknya , Jumat, 4 Maret 2016. Para ahli tersebut antara lain Prof. Sarlito Wirawan Sarwono (Guru Besar Psikologi dari Universitas Indonesia), Elly Risma (Psikolog dari Yayasan Kita dan Buah Hati), Erlinda (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dan Ihshan Gumilar (Psikolog Syaraf).
Ketua KPI Pusat Judhariksawan di awal pertemuan mengatakan maksud pihaknya mengundang para ahli itu adalah untuk mendapatkan masukan sebanyak-banyak terkait persoalan LGBT dari sudut pandang psikolog dan anak. “Silahkan para ahli menyampaikan pandangannya terkait persoalan ini,” kata Judha yang didampingi Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad, Komisioner Agatha Lily, Amirudin, Danang Sangga Buana, dan Sujarwanto Rahmat Arifin.
Kesempatan pertama, Prof Sarlito menyampaikan, manusia itu ditakdirkan untuk menjadi heteroseksual. Menurut ahli psikologi sosial ini ada aspek lain yang membuat orang tersebut jadi LGBT yakni pengaruh dari luar dirinya. Orang dengan kasus demikian, lanjut Sarlito, ada kemungkinan masih bisa disembuhkan.
Selain itu, kata Sarlito, persoalan ini (LGBT) menyangkut masalah etika dan ini harus benar-benar jadi perhatian.
Menurut sudut pandang Elly Risman persoalan LGBT menjadi momentum bagi orangtua untuk mengontrol anak-anak. Kebiasaan anak-anak yang lebih akrab dengan gawai (gadget) tidak boleh dibiarkan. Apalagi kebanyakan orangtua tidak lebih hebat dari anak-anaknya dalam hal penguasaan gawai.
Ada beberapa penyebab pola asuh yang salah terhadap anak-anak yang dipandang Elly dapat menjadi penyebab mereka menjadi LGBT. “Ingat, peran orangtua sangat vital dalam awal terbentuknya LGBT. Jangan sampai justru pola asuh kita menjadi pemicu anak terlibat LGBT tanpa kita sadari,” tegas Elly.
Pernyataan senada dengan Elly juga disampaikan Erlinda dari KPAI. Menurutnya, karakter anak paling banyak dipengaruhi oleh lingkungan sebanyak 80 %. Sedangkan sisanya datang dari dalam dirinya. Pengaruh dari lingkungan bisa datang dari siaran media pandang dengar atau TV. Jika siaran televisi mengadung muatan yang negatif ini sangat berbahaya terhadap mereka. “Karena itu kami sangat berharap KPI dapat memfasilitasi membuat tontonan yang mendidik dan menjadi siaran alternatif bagi anak-anak,” pintanya.
Erlinda mengatakan LGBT merupakan penyimpangan terhadap moral dan agama. Menurut Erlinda, KPAI dan Kominfo mendukung pelarangan propaganda LGBT melalui media online dan media lainnya. “Perjuangan ini harus terus dilakukan. Kita sekarang dalam situasi genting,” ujarnya.
Sementara itu, Ahli Psikologi Syaraf (Neuropsychology) Ihshan Gumilar dalam presentasinya menjabarkan perkembangan LGBT di dunia. Banyak publik tidak mengetahui bahwa gerakan LGBT untuk bisa diterima di masyarakat luas, sudah dimulai semenjak tahun 60-an.
Ihshan mengatakan bahwa Diagnostic and Statistical Manual selalu direvisi tiap beberapa tahun berdasarkan hasil penelitian yang valid. Pencabutan homoseksual dari DSM pada 1973, yang berdampak pada pandangan bahwa homoseksual bukan lagi sebagai penyakit jiwa, dilakukan bukan berdasarkan hasil penelitian. Tetapi, berdasarkan adanya desakan politik dan demonstrasi besar-besaran.
Selain bercerita tentang awal tumbuhnya LGBT, Ihshan juga menggambarkan bagaimana perubahan otak manusia. Menurutnya, otak tak ubahnya seperti plastik yang bisa berubah bentuk dan sangat fleksibel. Lalu yang menyebabkan perubahan tersebut? Jawabannya adalah perilaku dan pengalaman yang kita buat. Dalam catatannya Ihshan merujuk Donald Hebb, psikolog asal Kanada, mengemukakan sebuah ungkapan yang terkenal, Neurons fire together, wire together (Syaraf yang aktif bersamaan, akan membentuk jaringan secara bersamaan pula).
Pemikiran, perasaan, orientasi seksual, persepsi, termasuk sensasi fisik yang dibayangkan, mengaktifkan ribuan syaraf secara bersamaan. Ketika sebuah pemikiran ataupun perasaan tersebut diulang terus menerus, maka ribuan syaraf tersebut akan membentuk dan menguatkan jaringan sistem syaraf yang unik untuk pemikiran atau perasaan tersebut.
Menurut Ihshan, adanya konsep neuroplasticity ini menyampaikan bahwa perbedaan struktur otak tidak serta merta menyebabkan seseorang mempunyai orientasi seksual LGBT. Tetapi, kebiasaan, pengalaman, dan gaya hidup yang dibangunlah yang bisa mengubah struktur dan fungsi otak hingga menghasilkan orientasi dan perasaan intim terhadap sesama jenis, tandasnya.
Pertemuan yang berlangsung cukup dinamis ini juga diselingi berbagai pertanyaan dari Komisioner KPI Pusat. Pertanyaan yang diajukan mereka berkaitan dengan pengaruh yang disebabkan promosi LGBT di isi siaran. ***