Jakarta – Hari ini, Senin, 13 juni 2016, KPI Pusat menjatuhkan sanksi pada program acara “Jelang Sahur” dengan tema Ramadhan Syahrut Taubat yang ditayangkan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI, Sabtu, 11 Juni 2016. KPI juga meminta TVRI untuk melakukan permintaan maaf secara terbuka kepada publik melalui Program Jelang Sahur nanti malam 14 juni 2016. 

Di dalam tayangan “Jelang Sahur” edisi hari Sabtu lalu tersebut, terdapat tayangan yang menampilkan pakaian atau busana yang secara tidak sengaja memperlihatkan simbol agama tertentu. Munculnya simbol itu menuai banyak keberatan dari masyarakat.

Menurut KPI, tampilan tersebut melanggar Standar Program Siaran (SPS) KPI tahun 2012 Pasal 6 ayat 1 dan 2 mengenai penghormatan terhadap nilai-nilai kesukuan, agama, ras, dan antar golongan. Dalam Pasal 6 ayat 1 menuliskan bahwa program siaran wajib menghormati perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan. Ayat 2 disebutkan program siaran dilarang merendahkan dan melecehkan suku, agama, ras dan atau antar golongan serta individu atau kelempok karena perbedaan suku, agama, ras, antarglongan, usia, budaya dan atau kehidupan sosial ekonomi.

Tayangan tersebut juga melanggar SPS KPI Pasal 9 ayat 1 dan 2 yakni mengenai penghormatan terhadap nilai kesopanan dan kesusilaan.

Terkait sanksi ini, Komisioner sekaligus Koordinator bidang Isi Siaran KPI Pusat Agatha Lily menjelaskan bahwa penjatuhan sanksi ini diberikan setelah pihaknya mendengarkan klarifikasi secara langsung pihak TVRI terkait tayangan acara “Jelang Sahur” edisi Sabtu 11 Juni di kantor KPI Pusat Senin siang ini (13/6).

Menurut Lily, TVRI sebagai televisi publik harus menyampaikan tayangan secara hati-hati khususnya terkait SARA. Hal seperti ini jangan terulang lagi karena dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan ketersinggungan di masyarakat. “Ini menjadi pembelajaran bagi TVRI untuk lebih cermat ke depannya,” kata Lily.

Komisioner bidang Isi Siaran KPI Pusat, Sujarwanto Rahmat Arifin juga menyampaikan hal yang sama. Tapi, yang paling penting saat ini yang harus dilakukan TVRI adalah segera melakukan permintaan maaf kepada publik. ***


Jakarta – TVRI penuhi panggilan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat untuk mengklarifikasi tayangan Ramadhan “Jelang Sahur” dengan tema “Ramadhan Syahrut Taubat"  edisi Sabtu, 11 Juni 2016, Pukul  03.00-04.00 WIB, yang menuai banyak keberatan dari masyarakat Indonesia. Dalam tayanganya tersebut terdapat pemakaian busana yang memperlihatkan simbol agama tertentu.

Panggilan klarifikasi tersebut dihadiri langsung Direktur Program TVRI Kepra, Executive Produser Erlina Asnan, Kasie Produksi Program TVRI Barnotiar, dan Produser Acara Jelang Sahur Hj. Rita Hendri Okmawati.

Adapun Komisioner KPI Pusat yang hadir yakni Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran Agatha Lily dan Sujarwanto Rahmat Arifin.

Di awal klarifikasi, Direktur Program TVRI Kepra dengan penuh penyesalan langsung mengajukan permohonan maaf atas ketidaksengajaan pihaknya sehingga di layar kaca nampak seperti simbol agama tertentu. Kepra menyatakan tidak ada niatan pelecehan terhadap Umat Muslim. Kepra berjanji hal itu tidak akan terjadi lagi dan akan lebih berhati-hati dalam penayangan acara Ramadhan mereka ataupun acara lainnya.

Menurut Kepra, acara Ramadhan TVRI sangat banyak dari total 23 jam siaran mereka. ‎Selain itu, Direktur Program TVRI ini juga meminta masukan KPI Pusat mengenai langkah-langkah apa saja yang harus mereka tempuh sebagai bentuk permintaan maaf kepada masyarakat Indonesia atas keberatan mereka terhadap tayangan dalam acara “Jelang Sahur” akhir pekan lalu.

Dalam kesempatan yang sama, Produser “Jelang Sahur” Hajjah Rita secara mendalam menyatakan permintaan maaf atas ketidaksengajaan tersebut. Dengan terisak-isak dirinya menjelaskan kronologi pemakaian busana tersebut, bahwa  tidak ada unsur kesengajaan dan maksud buruk. Rita menunjukkan kostum yang dimaksud kepada Pihak KPI. “Saya mohon maaf atas nama pribadi, keluarga dan TVRI, saya tidak menyangka kejadianini. Sungguh mohon maaf kepada KPI dan masyarakat Indonesia".

Komisioner KPI Pusat Agatha Lily menekankan terkait soal SARA adalah sesuatu yang sangat sensitif, maka TVRI sebagi tv Publik harus berhati-hati dalam menyajikan tayangannya agar tidak menimbulkan ketidaknyamanan dan ketersinggungan pada Masyarakat Indonesia khususnya Umat Muslim. Apa yang terjadi sekarang merupakan pelajaran bagi TVRI agar ke depan tidak terulang lagi.

Selain itu, Lily meminta TVRI untuk segera membuat permintaan maaf kepada Umat Muslim di Indonesia.‎ "Permintaan maaf adalah langkah yang tepat, mengingat kasus ini telah menimbulkan ketidaknyamanan di masyarakat"

Hal senada juga disampaikan Komisioner bidang Isi Siaran S. Rahmat Arifin. Menurutnya, kejadian ini harus menjadi titik balik TVRI untuk lebih baik lagi ke depannya dan lebih berhati-hati dalam mempersiapkan semua aspek dalam penayangan. ***


Medan - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) gelar survey indeks kualitas tahap pertama di Medan, mulai 8 hingga 11 Juni 2016 kemarin. Hadir penanggungjawab wilayah Sumatera Utara (Sumut), Komisioner KPI Pusat Agatha Lily, didampingi Kepala Sekretariat KPI Maruli Matondang. Sementara itu, wakil Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) dihadiri oleh Endah Muwarni. Adapun dari Universitas Sumatera Utara (USU) Fatmawardy Lubis. Survey Indeks Kualitas program siaran TV merupakan kerjasama KPI, ISKI dan Universitas Sumatera Utara untuk mendapatkan gambaran mengenai kualitas siaran TV Indonesia.

Berbeda dengan tahun 2015, survey indeks kali ini dilakukan di 12 kota di Indonesia. Penambahan jumlah kota ini dimaksudkan agar survey ini semakin mewakili persepsi masyarakat Indonesia terhadap siaran televisi.

Dalam survey ini, KPI melibatkan para panel ahli sesuai kepakarannya. Di samping itu terdapat  survey terhadap responden (masyarakat umum) sejumlah 100 orang untuk menyampaikan pendapatnya mengenai tayangan TV. Untuk survey di Medan, tim panel ahli terdiri dari pemerhati anak, dosen, psikolog, jurnalis, dan sosiolog. Pelibatan pakar ini diharapkan akan memberikan gambaran dan rekomendasi yang lebih komprehensif terhadap kualitas penyiaran Indonesia.

Beberapa kategori program yang disurvey antara lain: program anak-anak, religi, berita, talkshow, infotainment, variety show, sinetron,  komedi dan wisata budaya.

Survey indeks kualitas ini rencananya akan dilakukan secara rutin setiap dua bulan. Hasil dari survey akan dipublikasikan oleh KPI dengan harapan dapat dijadikan acuan bagi televisi untuk menyusun dan memproduksi program-programnya. Survey indeks kualitas merupakan salah satu tugas KPI sesuai dengan amanat UU Penyiaran yakni mendorong lembaga penyiaran menghasilkan program-program yang memiliki unsur edukasi, informasi, hiburan dan manfaat bagi masyarakat. ***

Tarakan - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menggelar talkshow mengenai penguatan penyiaran sekitar daerah perbatasan untuk kedaulatan bangsa di RTFM 98,7 MHz, Sebengkok Tiram, Tarakan, Kalimantan Utara (9/6).  Talkshow ini membahas media penyiaran di daerah perbatasan Indonesia, yang dapat dikatakan masih sangat minim. Padahal, masyarakat Indonesia yang tinggal di daerah perbatasan juga memiliki hak informasi dari dalam negeri. 

KPI memberikan perhatian lebih dalam atas masalah di wilayah Indonesia, khususnya daerah perbatasan ini harus ditangani dengan cermat. Karena masyarakat Indonesia yang berada di perbatasan lebih sering menerima siaran asing dikarenakan negara Indonesia menganut kebijakan langit terbuka, yang tidak memperbolehkan adanya usaha menghalangi frekuensi dari negara tetangga masuk ke Indonesia. 

Ketua KPI Pusat Judhariksawan menyampaikan, bahwasanya dalam memandang masalah penyiaran di wilayah perbatasan ini, pihaknya mengupayakan masyarakat yang di wilayah perbatasan akan ditangani kebutuhan informasinya. 

Salah satunya dengan meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) penyiaran di perbatasan, agar nantinya masyarakat yang tinggal di perbatasan tidak akan kehilangan rasa nasionalismenya. 

“Dalam penguatan penyiaran di wilayah perbatasan ini, kami sksn mrngupayakan KPI Derah Kalimantan Utara dapat terbentuk. Pemilihan anggota KPID nantinya akan dipilih secara internal,” ujar Judha. 

Dia juga menambahkan bahwa program penyiaran di masyarakat, diantaranya mengutamakan program yang dibutuhkan oleh khalayak. Dalam hal ini apa yang dibutuhkan masyarakat jauh lebih penting ketimbang apa yang diinginkan. 

Praktisi Penyiaran di Kalimantan Utara, Haryono Putra yang juga menjadi narasumber talkshow mengatakan, mementingkan kebutuhan masyarakat memang hal yang utama, dalam penyiaran perbatasan yang memiliki beberapa persoalan. Haryono menyebutkan masalahnya adalah persoalan geografis dan  SDM. 

“Mengatasi masalah ini memang tidak mudah, tapi dengan adanya komitmen kuat dari pemerintah baik lembaga yudikatif, legislatif, eksekutif, bahkan media-media, dapat membuat kita lebih berani menghadapi masalah di perbatasan. Di tengah masyarakat terbuka kini, melalui internet, radio, media cetak dan media televisi telah membuka mata kita untuk mengontrol pemasukan berita yang ada. Dalam hal ini peran kita sebagai masyarakat Indonesia dapat membagi mana yang menurunkan rasa nasionalisme kita dan mana yang dapat meninghkatkan rasa nasionalisme kita,”tuturnya. 

Masyarakat diharapkan dapat kritis, cerdas dalam memilih dan cerdas dalam memilah penyiaran yang ada pada media Indonesia. KArena hanya dengan menonton, mendengar dan membaca sesuatu yang memang penting untuk diri mereka sendiri sehingga mereka dapat mengetahui lebih dalam, seputar negerinya sendiri. (Radar Tarakan)

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat kembali mendiskusikan batasan dan larangan peliputan investigasi langkah-langkah kejahatan secara detail dan interogasi terhadap pelaku kejahatan bersama tim redaksi semua stasiun televisi yang berjaringan secara nasional pada Selasa, 7 Juni 2016 di kantor KPI Pusat. Upaya ini diharapkan dapat meminimalisir terjadinya pelanggaran dan dampak yang ditimbulkan baik terhadap korban dan keluarganya serta masyarakat yang menonton tayangan tersebut.

Diskusi ini juga melibatkan narasumber terkait bidang jurnalistik yakni Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo dan Ketua Umum IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia) Yadi Hendriyana.

Angggota KPI Pusat Sujarwanto Rahmat Arifin di awal diskusi mengatakan, pembahasan jurnalistik paling berkaitan dengan liputan investigasi yang ada dilapangan. Menurutnya, apa yang dilakukan beberapa tim investigasi media di stasiun televisi dengan membuat tayangannya terlalu detail  menyebabkan hal-hal yang tidak pantas jadi turut masuk. “Batasan kedetailan itu sampai mana dan ini harus jelas,” katanya di depan puluhan peserta FGD yang hadir.  

Hal lain menurut Rahmat yang juga penting dibahas yakni mengenai kekerasan seksual terhadap anak dan remaja. KPI mendapati banyak liputan soal ini mengemuka di tayangan berita. Rahmat menegaskan perlindungan terhadap korban (anak dan remaja) menjadi prioritas pihaknya. Karenanya, informasi terkait identitas korban misalnya harus benar-benar dijaga kerahasiaannya. “Di dalam P3SPS memang baru bicara identitas, bicara soal batasan identitasnya memang belum ada. Kita harus memikirkan bagaimana konsep detail dalam program jurnalistik.”

Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran sekaligus Komisioner bidang Isi Siaran KPI Pusat Agatha Lily mengatakan, lembaga penyiaran harus menyadari bahwa peliputan investigasi kejahatan yang dimaksudkan untuk memberikan informasi dan meningkatkan kehati-hatian jangan malah menjadi inspirasi buat orang yang menonton untuk meniru tindak kejahatan tersebut. "Kalau ini yang terjadi, maka fungsi dan peran TV menjadi keliru karena detail informasi langkah kejahatan justru menginspirasi penonton untuk meniru" katanya.

Kemudian mengenai liputan media mengenai interogasi, sesungguhnya Polisi telah berkoordinasi dengan KPI pada April lalu dan Kepolisian telah menyampaikan adanya telegram internal kepolisian bahwa media tidak boleh ada di ruang interogasi, yang berhak memberikan keterangan adalah Kabid Humas Polisi dan ‎tersangka tidak boleh diwawancara mengenai detail kejatahatan yang dilakukan. Tapi sayangnya hingga hari ini, pelanggaran semacam ini masih ditemukan di televisi.

Mengenai ini, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mengemukakan bahwa modus operandi suatu kejahatan itu tidak boleh diungkapkan atau ditayangkan di televisi. Stanley, panggilan akrab Yosep, mengungkapkan butir–butir penting yang perlu diperhatian kalangan media antara lain soal kehati-hatian dengan pemberitaan yang membuka identitas korban. Kemudian, jangan melakukan ekspose yang berlebihan dan detail karena ditakutkan memunculkan inspirasi dan peniruan. Selain itu, dalam melakukan wawancara jurnalistik jangan berlebihan.

Bahkan, Ketua Umum IJTI Yadi menyesalkan masih adanya tayangnya berita mengerikan yang lolos dari news room media penyiaran. Padahal, hal ini tidak boleh terjadi karena dampak yang ditimbulkan akibat tayangannya tersebut terhadap diri sendiri, keluarga, dan masyarakat.

Namun, Yadi tidak menerima jika yang terjadi saat ini semata-mata hanya kesalahan pers. Dia berharap khususnya pada polisi untuk tidak memberi peluang pada jurnalis di ruang interogasi. “Itu kesalahan bukan pada jurnalis tapi juga ruang yang diberikan oleh polisi. Kesadaran internal news room kita sekarang makin baik sebetulnya,” katanya.

Beberapa hal yang menurut Yadi untuk diperhatikan media yakni soal larangan menayangkan rekonstruki karena akan menginspirasi. Lalu, menghindari wawancara langsung dengan korban. Hindari kekerasan verbal. Berhati-hati dengan tayangan langsung atau live dan gambar CCTV jangan detail ditayangkan.

Mengenai posisi polisi, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigjen Agus Riyanto yang hadir dalam diskusi mengatakan, pihaknya terbuka untuk dikoreksi. Menurutnya, ini bukan hanya salah wartawan tapi juga polisi. “Telegram sudah kita sampaikan dan kita tampilkan. Karena itu saya mohon bantuannya. Kami tidak menutup atas koreksi. Apabila ada teman-teman saya yang salah jangan diikuti. Karena saya tidak bisa menjangkau yang lebih jauh,” katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad menyatakan pertemuan ini sangat penting untuk KPI sebagai bahan penegasan dan penekanan. Idy pun menekankan solusi kedepannya dengan kolaborasi. “Kita harus bangun kembali konsensus semua pihak mengenai hal ini,” papar Idy. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.