Jakarta - Sejak Januari 2015 lalu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mendapatkam aduan dan masukan publik terkait dinamika pemilihan Komisioner KPID Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Aduan itu terkait keputusan DPRD Bangka Belitung yang mengumumkan hasil Hasil Uji Kepatutan dan Kelayakan (Fit and proper test) Calon Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung untuk masa jabatan 2014-2017.

Pengumuman yang dikeluarkan pada 19 Desember 2014 berisi 12 nama calon Komisioner KPID Bangka Belitung. Dari 12 nama itu, semua calon komisionernya adalah nama-nama baru, tidak ada nama dari calon petahana. Hasil putusan itu akan diteruskan ke Gubernur untuk disahkan dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) dan dilakukan pelantikan. Dari 12 nama itu, urutan 1 sampai 7 adalah komisoner yang akan terpilih, dan urutan 8 sampai 12 adalah cadangan jika terjadi pergantian/pengunduran diri pimpinan dalam perjalanannya nanti.

“Kita hormati putusan DPRD Kepulauan Bangka Belitung. Meskipun kita berharap dalam perggantian Komisioner KPID ada kesinambungan pimpinan, minimal menyisakan calon petahana. Ini untuk menjaga kerja lembaga yang berkesinambungan. Kesinambungan pergantian pimpinan KPI Pusat juga dilakukan DPR RI hingga periode saat ini,” kata Komisioner Bidang Kelembagaan KPI Pusat Fajar Arifianto Isnugroho, di Jakarta, Senin, 2 Februari 2014.    

Dengan adanya aduan dan hasil rapat pleno pimpinan, pada Kamis, 29 Januari 2015 KPI Pusat menugaskan Komisioner Bidang Kelembagaan KPI PUsat Fajar Arifianto Isnugroho untuk melakukan audiensi dan pertemuan dengan sejumlah pihak terkait.

Selama dua hari Fajar berada di Bangka Belitung bertemu dengan sejumlah pihak. Fajar menjelaskan, pertemuan pertama melakukan dialog dengan Ketua Komisi I DPRD Bangka Belitung H.K Junaidi. Dalam pertemuan itu, menurut Fajar, Komisi I DPRD Bangka Belitung memastikan proses seleksi dilakukan sesuai aturan dan menjamin pemilihan dilakukan dengan demokratis. Selain itu menurut Fajar, hasil seleksi calon itu sudah diserahkan Pimpinan DPRD Bangka Belitung ke Gubernur untuk disahkan.

Fajar juga sudah mengkonfirmasi hal itu ke pihak Pemerintah Daerah Provinsi Bangka Belitung. Menurut Fajar, hasil pertemuannya dengan Sekretaris Daerah Bangka Belitung Syahrudin, Gubernur Bangka Belitung akan mempertimbangkann semua masukan dan seluruh dinamika terkait dengan proses seleksi KPID. 

"Dari hasil pertemuan dengan Sekda, sebelum Gubernur mengeluarkan Surat Keputusan (SK), Gubernur akan memastikan seluruh masukan semua pihak dan memastikan seluruh laporan hasil seleksi," kata Fajar.

Dalam kunjungan itu Fajar juga menemui Komisioner KPID Bangka Belitung yakni, Senja Nirwana, Mohammad Ridwan, dan Ita Rosita. Dalam pertemuan itu, Fajar menjelaskan, sebelum keluarnya SK baru dari Gubernur, Komisioner yang ada saat ini masih tetap bertugas, karena sudah mengantongi surat SK Perpanjangan sebelumnya. Hal ini untuk menghindari kevakuman lembaga.

Sebelum mengeluarkan SK, Fajar berharap Gubernur Bangka Belitung Rustam Effendi bijak dan jernih melihat seluruh persoalan dalam dinamika pemilihan calon seleksi Komisioner KPID. Meski begitu, 

"Kepentingan KPI Pusat dalam hal ini adalah menjaga kesinambungan lembaga. Dengan masa jabatan komisioner selama tiga tahun, akan sulit lembaga menjaga kesinambungan lembaga dan program-program kerjanya dalam tiap pergantian komisioner," terang Fajar.

Menurut Fajar, masa kepemimpinan tiga tahun bagi Komisioner KPID adalah waktu yang singkat. “Jadi dengan berkesinambungan, komisioner petahana dan yang baru bisa saling berkolaborasi dalam kerja-kerja di KPID. Jika semuanya baru, akan membutuhkan proses dan waktu untuk adaptasinya. Ini seperti memulai kerja dari nol. Padahal dinamika tugas KPID cukup kompleks,” terang Fajar. 

Peraturan yang terkait dengan pemilihan Komisioner KPID termuat dan diatur dalam Peraturan KPI Nomor 02/P/KPI/04/2011 Tentang Pedoman Rekrutmen KPI. Ranah pemilihan komisioner KPID sesuai Undang-Undang Penyiaran merupakan domain dari DPRD dengan membentuk Tim Seleksi yang menyertakan unsur-unsur dari publik. Setelah Tim Seleksi selesai bekerja, hasil penjaringan nama dikembalikan ke DPRD untuk disetujui dan diteruskan ke Gubernur untuk disahkan dengan mengeluarkan SK dan pelantikan.

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) disarankan untuk meminta fatwa ke Mahkamah Agung untuk memperjelas posisi lembaga ini dalam ketatanegaraan. Melihat keberadaannya dalam undang-undang, sebenarnya KPi ini merupakan lembaga negara. Sehingga, implikasinya adalah komisioner KPI merupakan pejabat negara, dan fasilitasi kesekretariatan dilakukan oleh Kesekretariatan Jendral. Hal tersebut disampaikan oleh Muhammad Taufiq, Kepala Pusat Kajian Reformasi Administrasi Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, dalam acara Diskusi Terbatas tentang Penyusunan Struktur yang Kuat untuk KPI Lebih Maju dan Independen, (27/1).

Dalam kesempatan diskusi tersebut, Ketua KPI Pusat Judhariksawan mengatakan permasalahan kelembagaan KPI seharusnya selesai di awal lembaga ini dibuat. Namun Judicial Review dari Undang-Undang Penyiaran ternyata berimplikasi dengan tidak diletakkannya posisi KPI dengan benar. “Belum ada regulasi yang tepat soal kelembagaan dan perangkat pendukung KPI ini”, ujar Judha.

Sementara itu komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan, Fajar Arifianto mengatakan, KPI saat ini membutuhkan kejelasan tentang status lembaga ini. Dalam undang-undang menyebutkan bahwa KPI adalah lembaga negara yang bersifat independen. Namun demikian, sebagai sebuah lembaga negara, struktur secretariat KPI Pusat belum mendukung secara penuh wewenang, tugas dan kewajiban KPI, ujar Fajar. Dirinya melihat saat ini sangat dibutuhkan penguatan kesekretariatan KPI Pusat dengan format Sekretaris Jenderal. “Sehingga KPI pun dapat sejajar dengan komisi-komisi lain yang sudah memiliki kesekjenan seperti KPU, KPK dan Bawaslu”, ujar Fajar. 

Pada kesempatan tersebut, Komisioner KPI Pusat bidang pengelolaan struktur dan sistem penyiaran Azimah Subagijo menjelaskan bahwa sebelum terbit Permenkominfo nomor 9 tahun 2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat KPI Pusat, kesekretariatan KPI yang bertugas memberikan dukungan atas kerja komisioner, tidak memiliki struktur dan fungsi yang sejalan seperti amanat undang-undang tentang KPI. Untuk itu, KPI melakukan koordinasi dengan Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dengan membuat struktur baru yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi KPI. “Dibutuhkan waktu dua tahun untuk mengubah struktur tersebut hingga terbit Permenkominfo tadi”, ujar Azimah.

Namun demikian, masih banyak masalah kelembagaan yang ditemui oleh KPI sehubungan belum tegasnya status lembaga ini. Untuk itu, dalam diskusi juga dibahas pula jalan yang akan ditempuh KPI untuk memperjelas status lembaga guna menjadikan KPI sebagai lembaga yang kuat dalam menjalankan amanat konstitusi.

Jakarta - Mahasiswa Program Studi Komunikasi Universitas Lampung (Unila) mengunjungi kantor KPI Pusat Jakarta. Kunjungan dikuti sekitar 50 mahasiswa dari berbagai tingkat semester. Kunjungan didampingi Dosen Pembimbing Agung Wibawa.

"Tujuan kunjungan ini untuk mengetahui tentang perkembangan penyiaran dan untuk mengetahui tugas-tugas KPI dalam pengawasan penyiaran di Indonesia," kata Agung dalam ucapan pengantar kunjungan di Ruang Rapat KPI, Kamis, 22 Januari 2014.

Kunjungan diterima oleh Komisioner Bidang Kelembagaan KPI Fajar Arifianto Isnugroho, Kasubag Humas KPI Pusat Afrida Berlini dan staf KPI Pusat Ibnu Pazar.

Fajar menjelaskan, tugas pengawasan penyiaran televisi dan radio bukan hanya menjadi tugas KPI semata, namun juga menjadi tugas masyarakat. "KPI tidak akan berdaya tanpa dukungan dari masyarakat. Di sinilah peran teman-teman mahasiswa bisa berkontribusi, bisa dengan menjadi penonton yang kritis di daerah masing-masing," ujar Fajar.

Menurut Fajar, KPI terbentuk berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Lingkup dan wewenang KPI meliputi pengaturan penyiaran yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga Penyiaran Berlangganan, dan Lembaga Penyiaran Komunitas. Semua itu diwadahi dengan adanya bidang-bidang kerja di KPI Pusat yakni, Bidang Kelembagaan, Bidang Isi Siaran, dan Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran. 

Meski begitu, menurut Fajar, wewenang KPI saat ini sebatas pada pengawasan isi siaran lembaga penyiaran. Sedangkan terkait dengan pemberian izin pendirian pencabutan izin Lembaga Penyiaran berada dalam wewenang Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Fajar juga menjelaskan tentang prosedural surat teguran kepada Lembaga Penyiaran yang dianggap melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) atau program acara yang diaduan oleh publik. "Ada prosedural yang harus dilakukan di sana, mulai dari teguran hingga penghentian sementara seperti, program acara 'YKS', kalau pada periode sebelumnya tayangan 'Smack Down', dan yang lainnya," kata Fajar.

Acara diakhiri dengan langsung mengunjungi pusat pemantaun siaran KPI yang melakukan pemantauan siaran selama 24 jam. Selain itu juga melihat kegiatan di bagian monitoring yang melakukan proses editing tayangan/siaran dan pengarsipan terhadap siaran yang dipantau.

 

 

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) melayangkan surat teguran untuk ANTV terkait adanya pelanggaran dalam program siaran “Abad Kejayaan” (sebelumnya program berjudul “King Suleiman”) tanggal 22 Desember 2014. Demikian ditegaskan pada surat teguran KPI Pusat yang ditandatangani Ketua KPI Pusat, Judhariksawan, Senin, 26 Januari 2015.

Menurut penjelasan di surat teguran tersebut, program “Abad Kejayaan” tanggal yang dimaksud menampilkan adegan para budak wanita yang melakukan gerakan-gerakan tarian di hadapan Raja Suleiman termasuk Alexandra (Hürrem Sultan) dan adanya percakapan antara seorang wanita dengan Alexandra yang mengatakan bahwa “Baginda menunggumu. Besok malam akan ada penyatuan. Besok kau akan bersama Baginda Suleiman. Memangnya kau pikir aku tidak melihatmu menari untuk merayunya?”

Selain itu, KPI Pusat menemukan muatan percakapan antara seorang wanita kepada Alexandra yang menyatakan:
“Kalian semua dibawa kemari sebagai budak. Jika kau bisa menjaga sikapmu dengan baik, kau tidak akan menjadi budak lagi. Belajarlah dengan baik, tutup mulutmu dan jaga sikapmu. Semua gadis di sini dipersiapkan untuk Baginda, jika kau terpilih, kau bisa mendampingi Baginda dan bisa mengandung anak lelaki darinya, maka kau akan menjadi istri kesayangan Baginda. Dan kau akan menguasai dunia.”

KPI Pusat menilai bahwa adegan serta muatan tersebut tidak santun karena tidak memperhatikan norma kesopanan dan kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat serta tidak mengandung muatan, gaya penceritaan, dan tampilan yang sesuai dengan program siaran klasifikasi Remaja (R).

Saat ini program siaran “Abad Kejayaan” (sebelumnya berjudul “King Suleiman”) disiarkan mulai pukul 21.55 WIB dengan menggunakan klasifikasi R. Berdasarkan pemantauan KPI Pusat, program siaran tersebut berdurasi kurang lebih 60 menit dengan muatan-muatan yang tidak dapat diperuntukkan untuk remaja. Oleh karena itu program siaran tersebut wajib mematuhi ketentuan jam tayang dewasa dan mencantumkan klasifikasi Dewasa (D).

KPI Pusat memutuskan bahwa tindakan penayangan adegan tersebut telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 9, Pasal 14, dan Pasal 21 ayat (1) serta Standar Program Siaran (SPS) Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 9, Pasal 15 ayat (1), dan Pasal 37 ayat (4) huruf a.

Dalam surat juga dijelaskan, mengenai ketentuan Pasal 50 ayat (3) jo. Pasal 8 ayat (3) huruf e UU Penyiaran, KPI Pusat meneruskan aduan masyarakat dengan Surat Nomor 3041/K/KPI/12/14 tertanggal 29 Desember 2014 perihal Penerusan Aduan Masyarakat kepada ANTV.

Atas dasar hal tersebut serta ketentuan dalam Pasal 85 ayat (2) SPS, KPI Pusat telah mendengarkan klarifikasi dari pihak yang mewakili ANTV pada tanggal 14 Januari 2015 yang hadir di Kantor KPI Pusat. Oleh karena itu, sesuai Pasal 86 ayat (3), Pasal 79 ayat (1) jo. Pasal 75 ayat (1) dan (2) huruf a Standar Program Siaran serta Hasil Rapat Pleno Anggota KPI Pusat tertanggal 22 Januari 2015, maka KPI Pusat memutuskan menjatuhkan sanksi administratif Teguran Tertulis dan meminta kepada PT. Cakrawala Andalas Televisi (ANTV) untuk menunda penayangan Program Siaran “Abad Kejayaan” (dahulu berjudul “King Suleiman”) sampai telah dilakukannya perbaikan substansi sebagai berikut:

1.    Muatan program siaran tersebut hanya menampilkan kejayaan masa pemerintahan Raja Suleiman sesuai dengan judul Program Siaran;

2.    Menghadirkan pakar Agama Islam atau Ahli Sejarah Islam untuk membahas muatan dalam Program Siaran Abad Kejayaan di tiap episode;

3.    Menambah durasi waktu peringatan atau informasi pada awal tayangan di tiap episode serta menghilangkan redaksi kalimat berikut:
“Saluran ini tidak bertanggung jawab atas perbedaan penafsiran atau masalah apapun yang menyangkut hal ini, serta terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan akibat perbedaan penafsiran tersebut.”

Informasi tersebut tidak dapat menghilangkan tanggung jawab dari pimpinan lembaga penyiaran terhadap penyelenggaraan penyiaran dan kewajiban menunjuk penanggung jawab atas tiap-tiap program yang dilaksanakan sesuai dengan Pasal 54 UU Penyiaran.

Selain itu, ANTV harus mengubah kalimat “serial ini diadaptasi dan terinspirasi dari kisah sejarah, namun tidak untuk membuktikan sejarah apapun” menjadi “serial ini diadaptasi dan terinspirasi dari kisah sejarah, serta merupakan program siaran yang bersifat fiksi (program nonfaktual)”.

4.    Tidak menayangkan muatan atau adegan perbudakan dan eksploitasi wanita serta kehidupan pribadi Raja Suleiman; dan

5.    Melakukan konferensi pers yang menjelaskan kepada publik bahwa:
a.    Program Siaran “Abad Kejayaan” (dahulu berjudul “King Suleiman”) merupakan program siaran yang bersifat fiksi (program nonfaktual);
b.    Meminta maaf apabila tayangan-tayangan sebelumnya menimbulkan keresahan dalam masyarakat; serta
c.    Melakukan perbaikan substansi tayangan yang hanya menampilkan kejayaan masa pemerintahan Raja Suleiman.

Di akhir surat teguran ditegaskan, KPI Pusat mengingatkan jika program siaran “Abad Kejayaan” (dahulu berjudul “King Suleiman”) menayangkan tokoh Raja Suleiman yang diadaptasi dan terinspirasi dari Sejarah Islam, maka kekeliruan ataupun penyimpangan yang terjadi dapat berpotensi menyesatkan dan hal ini diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi berdasarkan Pasal 57 huruf d jo. Pasal 36 ayat (5) huruf a UU Penyiaran. ***

Jakarta - Aturan terhadap program siaran di lembaga penyiaran berlangganan akan segera ditegakkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia. Diantaranya mengenai aturan sensor internal, penggantian siaran iklan asing dan penyediaan kunci parental di setiap layanan LPB. Hal tersebut disampaikan komisioner bidang pengelolaan struktur dan sistem penyiaran KPI Pusat, Danang Sangga Buwana, dalam acara sosialisasi surat edaran KPI tentang kepatuhan menjalankan peraturan penyiaran bagi LPB, (21/1).

Saat ini lembaga penyiaran di Indonesia berkembang demikian pesat, terutama di daerah pelosok-pelosok yang merupakan blank spot.keberadaan LPB dengan segala kekhususannya dapat menjangkau daerah-daerah pelosok tersebut, yang tidak terlayani oleh televisi terrestrial. Sehingga dengan adanya LPB ini, hak-hak informasi masyarakat yang dijamin oleh undang-undang, dapat dipenuhi.

Komisioner KPI Pusat Azimah Subagijo melihat kendala saat ini  yang dihadapi oleh LPB adalah muatan siaran LPB yang diperoleh dari luar negeri, yang belum tentu sesuai dengan norma dan budaya masyarakat Indonesia. Sehingga menjadi bermasalah jika program-program tersebut disaksikan anak-anak dan remaja. Banyak nilai-nilai asing yang menurut norma yang kita anut adalah negatif, tapi disiarkan dengan bebas. Misalnya saja perilaku sex bebas, ketelanjangan, kekerasan, dan pornografi.

Regulasi sudah membatasi agar program siaran berlangganan dari asing itu wajib melalui proses sensor internal dan mematuhi penggolongan program siaran dengan mematuhi klasifikasi siaran yang diatur oleh Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siarna (P3 & SPS).  “Termasuk juga larangan bagi saluran-saluran asing tersebut menampilkan aktivitas seks, kekerasan seksual, adegan atau suara yang menggambarkan aktivitas seks dan yang diatur dalam SPS pasal 18 dan 23”, ujar Azimah.

Pada kesempatan tersebut hadir pula penyelenggara LPB baik yang tergabung dalam Asosiasi Televisi Kabel Indonesia (ICTA), Asosiasi Penyelenggaran Multimedia Indonesia (APMI), ataupun dari masing-masing penyelenggara LPB tersebut. Ketut yang merupakan perwakilan Nexmedia menyampaikan pendapat bahwa KPI seharusnya dapat membedakan mana konten yang layak di LPB dan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS). Menurutnya, sejauh sensor internal dan kunci parental berfungsi, maka program yang disalurkan LPB tidak menjadi masalah buat penonton.

Menanggapi hal ini Azimah mengatakan bahwa sebagai regulator KPI tentu tidak akan keluar dari fungsi dan kewenangan yang diberikan undang-undang. Bila ada pelanggaran dalam program siaran berlangganan, KPI akan mengecek apakah LPB tersebut sudah memiliki sensor internal serta mematuhi klasifikasi program dan mencantumkan kodenya tersebut. "Adegan ciuman tentu tidak pantas hadir di program siaran klasikasi anak. Sehingga bila hal itu ditemukan disiarkan LPB, maka KPI akan tegakan sanksi sesuai ketentuan. Apalagi jika pelanggarannya bukan hanya adegan yang bermasalah, tapi juga terkait pencantuman klasifikasi program, tentu lebih mendasar lagi yang dilanggar," imbuhnya.

Sementara itu dari perwakilan ICTA menyambut baik kebijakan KPI menegakkan aturan untuk memberikan perlindungan bagi anak dan remaja di LPB. Namun demikian, ICTA yang anggotanya merupakan penyelenggara televisi kabel di Indonesia mengaku bahwa sumber daya manusia yang mereka miliki belum memadai untuk menyaring program negatif menurut P3 & SPS KPI. Sedangkan untuk penyediaan kunci parental oleh LPB Kabel analog, jelas tidak memungkinkan. Karenanya ICTA mendorong KPI untuk membuat daftar negatif program yang tidak layak disalurkan LPB. “Sehingga penyelenggara LPB dapat memilih program-program yang lebih aman”, ujarnya.

Azimah sendiri menegaskan bahwa sensor internal dan kunci parental ini adalah mandatory (wajib dilaksanakan) dari regulasi penyiaran. “Jika ada operator yang keberatan terhadap aturan ini, silakan melakukan judicial review”, ujarnya. Di samping itu Azimah mengingatkan bahwa setiap rencana bisnis tentunya mempertimbangkan rambu-rambu regulasi yang ada. “Jika regulasi memberikan syarat sensor internal dan kunci parental, maka penyelenggara siaran berlangganan harus mempersiapkan anggaran untuk itu”, ujarnya. Jika ternyata ada yang menyatakan tidak sanggup, Azimah menilai ada yang salah dalam proses pemberian izin penyelenggaraan penyiaran.

Sementara dari APMI, Muhazri Hasril, menanyakan sikap KPI mengenai replacement iklan. Menurutnya, secara teknis penggantian iklan luar negeri ini dapat dilakukan. “Cukup dengan adanya key tone dan jadwal penayangan iklan dari penyedia program, maka replacement itu dapat dilakukan”, ujar Muhazri.

Terkait penegakan aturan ini, Danang menegaskan bahwa masalahnya adalah mau atau tidak melaksanakan perintah regulasi. Dirinya juga mengingatkan bahwa konsekuensi dari lembaga penyiaran menerima IPP adalah mematuhi aturan yang ada. Apalagi sekarang teknologi sudah sangat mendukung implementasi dari aturan-aturan tersebut.  “Sensor internal dan kunci parental itu mudah dibuat, semudah mencari pelanggan!”, ujarnya. Yang pasti, tambah Danang, LPB punya kewajiban memajukan masyarakat dalam konteks isi siaran yang sehat dan mencerahkan.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.