Jakarta – Artis Inul Darsista didampingi Adam Suseno Suaminya berkunjung ke KPI Pusat untuk melaporkan keluhan mereka atas tayangan infotainment yang dinilai merugikan dan tidak benar, Kamis, 12 November 2015. Laporan tersebut diterima secara langsung oleh Komisioner KPI Pusat, Agatha Lily, S. Rahmat Arifin dan Fajar Arifianto Isnugroho.
Inul menyampaikan ke KPI Pusat bahwa dia dan suaminya merasa sangat dirugikan atas pemberitaan di infotainment yang kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pemberitaan tersebut turut mempengaruhi psikologis mereka dan juga anaknya serta merugikan orang-orang dekatnya. “Ini menyakitkan kami,” kata Inul emosional.
Inul juga menyampaikan ke KPI jika pihaknya sudah melakukan upaya hukum terkait keberatan mereka terhadap pemberitaan tersebut. Menurut Inul, pemberitaan infotainment yang faktanya tidak benar tidaklah pantas dan tidak mencerdaskan.
Terkait aduan tersebut, Komisioner KPI Pusat, S. Rahmat Arifin mengatakan jika pihaknya sudah meminta klarifikasi terhadap stasiun televisi Trans TV atas tayangan infotainmennya Rabu kemarin, 11 November 2015 di kantor KPI Pusat. Klarifikasi tersebut akan menjadi bahan pertimbangan KPI dalam rapat pleno sebelum menjatuhkan bentuk sanksi yang diberikan.
Sementara itu, Koordinator bidang Isi Siaran yang juga Komisioner KPI Pusat, Agatha Lily menyebut aduan yang disampaikan Inul dan keluarga sangat penting sebagai bahan pihaknya terkait persoalan tayangan tersebut. Menurut Lily, setiap warga negara Indonesia memiliki hak melakukan pengaduan terhadap keberatan mereka akan siaran di lembaga penyiaran. ***
Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat meminta lembaga penyiaran berlangganan (LPB) lebih optimal melakukan sensor internal (self-censorship) atau tidak sama sekali menayangkan program siaran yang memuat adegan yang dilarang berdasarkan Pasal 57 SPS KPI tahun 2012. Demikian disampaikan dalam surat imbauan KPI Pusat tentang konten seksual pada siaran program berlangganan yang ditandatangani Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad, Senin, 9 November 2015.
Berdasarkan hasil pemantauan KPI Pusat, beberapa lembaga penyiaran berlangganan masih menayangkan video klip lagu dengan muatan-muatan yang secara eksplisit menampilkan bagian-bagian tubuh tertentu, yakni payudara, bokong, dan adegan yang menggambarkan aktivitas seks dan/atau persenggamaan yang bertentangan dengan aturan dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) KPI Tahun 2012.
Di dalam surat imbauan tersebut juga disampaikan bahwa lembaga penyiaran berlangganan yang menyiarkan saluran-saluran (channel) musik dan film/serial televisi, diimbau untuk tidak menyiarkan muatan-muatan yang menampilkan bagian-bagian tubuh tertentu secara vulgar/eksplisit serta adegan yang menggambarkan aktivitas seks dan/atau persenggamaan. Walaupun ditayangkan dalam konteks seni/kreativitas, lembaga penyiaran patut memperhatikan muatan yang ditayangkan agar sesuai dengan nilai-nilai kepatutan yang berlaku dalam masyarakat Indonesia.
Sebelumnya, KPI Pusat telah mengeluarkan surat Edaran Nomor 690/K/KPI/07/15 tertanggal 9 Juli 2015 kepada seluruh lembaga penyiaran berlangganan terkait peringatan untuk melakukan sensor internal (self-censorship) atau tidak menayangkan program siaran yang melanggar Pasal 18 SPS KPI Tahun 2012.
Penayangan terhadap adegan-adegan persenggamaan, ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, serta alat kelamin diancam pidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
KPI Pusat juga menegaskan akan terus melakukan pemantauan intensif dan memberikan waktu 1 (satu) bulan kepada saluran-saluran (channel) yang dimaksud agar segera melakukan perbaikan dan tidak mengulangi pelanggaran serupa. Sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran akan dijatuhkan jika pelanggaran kembali terjadi.***
Jakarta - Tayangan televisi saat ini, jika dibandingkan dua puluh tahun lalu, sudah jauh lebih berkualitas. Salah satunya dikarenakan adanya kemitraan yang kuat antara lembaga penyiaran dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Hal tersebut disampaikan Harsiwi Ahmad, Direktur Program SCTV dalam Forum Masyarakat Peduli Penyiaran (FMPP) yang diselenggarakan KPI Pusat di Jakarta (5/11).
Siwi mengakui saat ini KPI lebih ketat mengawasi muatan program siaran di televisi, terutama yang terkait dengan perlindungan anak. Dirinya memberikan contoh saat SCTV mendapat tawaran program telenovela seperti yang pernah hits di tahun sembilan puluhan. “Sulit bagi SCTV menerima program tersebut untuk tayang, karena muatannya penuh dengan materi yang harus disensor. Misalnya seperti belahan dada,” terang Siwi. Ini menunjukkan quality control sudah berjalan di dalam lembaga penyiaran. Namun demikian dirinya mengakui bahwa televisi tetap memerlukan pengawasan dari pihak luar, baik dari KPI ataupun masyarakat.
FMPP ini sendiri bertemakan Optimalisasi Peran Kelompok Peduli Penyiaran Dalam Mencegah Kejahatan Terhadap Anak. Hadir dalam acara tersebut, Komisioner dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Maria Advianti. Pada kesempatan tersebut, Maria menyampaikan tentang kriteria tayangan yang baik untuk anak. Dirinya menegaskan bahwa syarat tayangan yang aman untuk anak harus memenuhi unsur edukatif, informative, iteraktif, imaginatif, menarik, menghibur, membuat penasaran, non adiktif, non violence dan memiliki pesan positif. Sementara, ujar Maria, saat ini justru tayangan televisi didominasi dengan muatan kekerasan, pornografi, eksploitasi, Judi, horor, sadism, rokok, minuman keras dan narkoba, orientasi seksual, khayalan, kebencian dan kriminalitas. Tentunya hal ini menunjukkan bahwa muatan televisi belum aman bagi anak-anak.
Secara khusus Maria menjelaskan efek negatif yang menimpa anak jika terpapar muatan negatif televisi. Dirinya mengkhawatirkan adanya perilaku imitasi yang dilakukan anak terhadap hal-hal negatif yang muncul di televisi, disamping efek lain yang muncul akibat konsumsi televisi berlebihan. Meskipun teknologi sudah berkembang dengan adanya penggunaan gawai (gadget) yang semakin mudah diakses anak-anak. Penelitian justru menunjukkan bahwa konsumsi anak-anak terhadap televisi masih jauh lebih besar ketimbang penggunaan gawainya. Karenanya Maria menekankan seharusnya anak lebih banyak melakukan kegiatan fisik, dan menjadikan kegiatan menonton televisi hanya sebagai sampingan, dan bukan yang utama.
Dalam kesempatan itu, Komisioner KPI Pusat Koordinator bidang kelembagaan Bekti Nugroho mengatakan bahwa KPI sudah meminta kepada Mentri Pendidikan dan Kebudayaan, Anis Baswedan, untuk menjadikan literasi media sebagai kurikulum di sekolah. Menurut Bekti, dengan adanya pengetahuan literasi media sejak dini, anak-anak dapat mengatur dirinya sendiri dalam menggunakan media sesuai dengan kebutuhan. Selain itu, Bekti mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama terlibat dalam Gerakan Sadar Media. “Salah satunya dengan tidak menonton program televisi yang buruk,” ujarnya.
Ajakan ini disambut baik oleh KPAI. Maria mengatakan bahwa sudah saatnya industri juga didorong untuk memproduksi hanya tayangan yang baik. “Kita harus mengajak industri televisi untuk melek juga dan bersama membangun bangsa lewat tayangan dan program siaran yang berkualitas,”ujarnya. Gerakan sadar media ini memang harus dilakukan bersama-sama dan tidak mungkin sendiri-sendiri. Masyarakat sebenarnya punya kekuatan dalam menekan media agar menyetop tayangan yang jelek, apalagi yang punya dampak buruk bagi anak-anak. Namun masih banyak yang belum tahu bagaimana cara melakukan protes dan menyampaikan hal tersebut. KPI berharap, dengan tumbuhnya kelompok-kelompok pemantau media dari masyarakat, juga menjadi mitra dalam menghadirkan penyiaran yang mencerdaskan kehidupan bangsa dalam rangka membangun masyrakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera.
Jakarta - Bekerja di dunia pertelevisian pada masa orde baru memang penuh tantangan. Begitulah yang diakui pembawa acara berita senior Desi Anwar, ketika mengisi materi pembuka Sekolah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3&SPS) di Kantor KPI Pusat Jakarta, Selasa, 10 November 2015.
Desi yang mengawali karirnya di RCTI pada 1990 itu mengaku harus bekerja ekstra untuk menyajikan program informasi yang kala itu dibatasi oleh rezim Presiden Suharto. “Pemerintah melarang program berita selain di TVRI. Maka kami membuat program dalam bentuk lain yang tetap bermuatan informasi untuk masyarakat,” kata wanita kelahiran Bandung, Jawa Barat, 11 Desember 1962 itu.
Pada masa itu, lanjut Desi, TVRI merupakan bagian dari alat kekuasaan pemerintah. Maka tidak heran jika program berita yang disiarkan TVRI identik dengan sudut pandang pemerintahan. Isinya seperti program, capaian dan prestasi pemerintah. Bahkan pemerintah mewajibkan semua televisi swasta menayangkan program acara Berita NAsional TVRI pada jam 7 malam.
Desi yang kini bergabung dengan CNN Indonesia itu mengaku, aturan-aturan itu membuatnya dan tim terpacu untuk lebih kreatif. Akhirnya ia membuat program program-program seperti Seputar Indonesia, Nuansa Pagi, Buletin Siang dan Buletin Malam. Pada nama program-program tersebut tidak ada satupun yang memakai kata ‘berita’, karena memang dilarang. Dalam sudut pandang pemerintah saat itu, berita hanya boleh dirilis oleh TVRI. Sedangkan yang disiarkan televisi swasta hanya sekadar informasi.
Desi melanjutkan, akses televisi swasta terhadap instansi pemerintah sangat minim. “Bahkan kami tidak pernah dihubungi apabila pemerintah sedang ada acara,” kata Desi.
Desi tidak kehilangan akal, ia melihat celah bahwa berita yang selama itu ditayangkan TVRI selalu bersumber dari pejabat pemerintahan. Maka kemudian ia mengisi programnya dengan berita-berita tentang kondisi dan realita yang terjadi di masyarakat.
Kami meliput kondisi masyarakat. Menayangkan nasib anak yang menderita Hydrocefalus. Dan untuk pertama kalinya kami mewawancarai orang biasa,” ungkap Desi. Sejak saat itu, imbuhnya, masyarakat merasa punya suara di media. Mereka bisa menyuarakan kegundahannya terhadap pemerintahan. Hal itu menjadi tonggak penting dalam lahirnya Demokrasi di negara ini.
Kreasi program yang baik akan menimbulkan dampak yang hebat. Selain menyuarakan aspirasi masyarakat, Desi mengatakan, program Nuansa Pagi juga telah melahirkan kebiasaan baru bagi masyarakat yaitu menonton berita di pagi hari. “Belum ada stasiun televisi lain yang melakukan hal itu (siaran berita pagi hari),” kata Desi. Selain itu ia juga memulai program acara talkshow di TV. Konsep program itu juga mengawali budaya dialog di televisi. Yang perlu diingat, semua kreasi itu lahir dari aturan-aturan orde baru yang represif terhadap media.
Jakarta - Sekolah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) masuk angkatan ke-6. Pendaftaran peserta kini telah dibuka. Program bimbingan teknis penyiaran yang melatih soft skill tentang dunia penyiaran ini diperuntukkan bagi semua kalangan mulai dari praktisi lembaga penyiaran, mahasiswa hingga masyarakat umum. Pelaksanaannya akan digelar pada 10 - 12 November 2015.
Pelaksanaan program yang bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia dalam menjamin profesionalitas di bidang penyiaran ini tidak memungut biaya apapun. Penyelenggaraannya ditanggung oleh APBN. Berdasarkan hasil pendaftaran, berikut nama peserta Sekolah P3SPS angkatan VI:
Bullying terhadap artis lesti kejora, hal ini seharusnya tidak boleh ditayangkan di tv nasional nanti bisa berakibat akan banyak orang yang meniru tindakan tersebut agar viral dan di undang di stasiun tv, semoga kpi memberikan efek tindakan yang sesuai terhadap program tersebut... Seseorang yang ingin kembali kepada suaminya itu hak dia dan pasti sudah memikirkan dengan sebaik mungkin... Allah saja memberikan kesempatan kepada hambanya masa hambanya tidak memberikan kesempatan terhadap sesamanya..
Pojok Apresiasi
Tri Sumantri Maha Putra
Semoga iklan-iklan layanan masyarakat dapat menjadi suatu konten penting bagi seluruh stasiun tv yang ada di Indonesia, tak hanya berdapak positif, tentunya media televisipun akan lebih dipercaya untuk menjadikan perubahan yang lebih baik untuk khalayaknya.