- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 3130
Jakarta – Berkembangannya teknologi dipastikan ikut mengubah berbagai aspek kehidupan termasuk landskap penyiaran. Sekarang, setiap orang tidak melulu mengakses informasi dan hiburan hanya dari media konvensional (radio dan TV), tapi juga bisa lewat media baru atau media sosial (youtube, netflik dan lainnya). Kondisi ini pada akhirnya membuat kompetisi antar media (lama dan baru) makin ketat.
Sayangnya, kompetisi ini dinilai tidak berjalan sehat lantaran tidak semua media tersebut di payungi regulasi. Keberadaan radio dan TV diatur dalam Undang-Undang (UU) No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran, sedangkan media baru belum ada payung hukumnya. Sudah tentu ini menimbulkan iklim bisnis yang tidak baik. Media penyiaran harus bertarung tapi dengan pengawasan, adapun kompetitor barunya melenggang tanpa pantauan.
Meskipun begitu, media seperti TV dan radio tidak boleh lempar handuk alias menyerah. Apalagi dengan hadirnya sistem siaran baru yakni siaran digital yang digadang-gadang akan memberi ruang yang lebih baik sekaligus luas bagi keduanya. Tidak hanya untuk media penyiaran, masyarakat pun akan merasakan keuntungan dari sistem baru ini. Tapi satu yang mesti diwujudkan, pemenuhan finansial industri dan kebutuhan publik soal kualitas siaran harus berjalan serempak.
Dalam diskusi kelompok terpumpun (FGD) bertajuk “Postur Penyiaran yang Kompetitif di Era Digital” yang diselenggarakan Kementerian Sekretariat Negara Sekretariat Wakil Presiden RI, beberapa waktu lalu, hal-hal tersebut menjadi topik bahasan. Tidak hanya mengubah hal general, perubahan sistem tersebut ikut menciptakan situasi baru lainnya seperti soal pengawasan, sumber daya manusia hingga isi konten.
Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, dalam paparannya mengatakan, pihaknya sangat antusias menyambut perubahan sistem baru tersebut. Pasalnya, hal ini masuk dalam tujuan dari penyiaran nasional. Namun, KPI tetap akan memastikan tujuan penyiaran yang sesuai UU berjalan seimbang.
“Ada dua tujuan dari penyiaran yakni soal moral atau nilai dan ekonominya. KPI memastikan hal-hal itu dapat tercapai. Jadi pertumbuhan penyiaran kita pararel dan sesuai dengan tujuan penyiaran nasional,” katanya dalam diskusi tersebut.
Perubahan sistem siaran ini juga akan memunculkan tantangan baru bagi KPI utamanya dalam pengawasan siaran. Menurut Ubaidillah, hal ini disebabkan jumlah stasiun TV baru makin bertambah. “Tapi, kami harapkan dari pertambahan jumlah TV ini harus diikuti dengan makin ragamnya siaran. Jangan makin banyak TV, siarannya itu-itu saja,” tuturnya.
Terkait keragaman siaran ini, KPI berharap sistem digital ini dapat menampung aspirasi informasi masyarakat khususnya di daerah tidak terjangkau siaran. Karenanya, keberadaan lembaga penyiaran komunitas (LPK) diperlukan di wilayah tersebut.
“Harapannya ketika digital berjalan, kepentingan penyiaran di wilayah sulit bisa diwakili lembaga penyiaran komunitas. Seperti di Jawa Barat, ada kepentingan untuk memberikan edukasi dan informasi. Bahkan untuk kepetingan bencana alam,” kata Ubaidillah.
Terkait pengawasan media baru, Ubaidillah menyatakan, kewenangan lembaganya tidak keluar dari UU Penyiaran. Namun tidak dipungkiri banyak aduan ke KPI yang mengeluhkan konten di media baru. “Kami tidak bisa menjangkau sampai sana. Pengawasan TV di daerah saja belum maksimal. Tapi jika kewenangan tesebut diberikan KPI, hal ini akan menjadi tantangan dan kami siap berkoordinasi,” ungkapnya.
Sementara itu, Anggota KNRP (Komite Nasional Reformasi Penyiaran), Ignatius Haryanto, berharap perubahan sistem siaran nasional memberi nilai ekonomi yang sepadan bagi televisi lokal. Persaingan konten pun harus diatur secara adil yang nantinya akan menghadirkan pemerataan ekonomi. “TV lokal ini juga memberi kesempatan pemirsanya dari konten yang mereka hasilkan,” jelasnya.
Bentuk konten ideal yang mestinya dihadirkan di lembaga penyiaran juga disinggung Haryanto. Menurutnya, informasi berkualitas dan hiburan yang sehat dapat memberi pengertian masyarakat tentang keberagaman negeri ini. “Jadi TV harus berkolaborasi dan Kerjasama, antar TV lokal dengan TV lokal lain juga bekerjasama. Sehingga kita bisa memahami keberagaman ini, antar wilayah atau daerah di tempat lain. Kita jadi lebih terbuka dan bisa melihat luas,” paparnya.
Tantangan ke depan
Era digital dan media baru menyebabkan terjadinya perubahan besar-besaran pada media lama. Bahkan, tidak sedikit dari media lama tersebut yang tenggelam. Namun, ada banyak media yang bertahan dan menyesuaikan.
“Ada tantangan baru khusus untuk TV. Persaingan dengan Netflix misalnya. Mereka mengembangkan media OTT juga. Dari kisah dua media ini, saya menyimpulkan digitalisasi bukanlah membunuh media. Tapi dengan adanya digital akan memberi oportunity baru bagi media lama. Seperti radio, frekuensi yang digunakan bisa didengarkan dimanapun. Tidak terbatas pada satu wilayah saja. Ini luar biasa. Dalam situasi seperti ini, radio menjadi salah satu oportuinity yang paling besar. Siaran radio dengan digital semuanya bisa terjadi,” kata Gun Gun Heryanto, salah satu narasumber diskusi.
Dijelaskan Gun Gun jika struktur pasar penyiaran sekarang sudah berubah usai tumbangnya rezim orde baru. Hal ini menandakan bahwa demokrasi punya banyak cara dalam beroperasi. Namun begitu, diperlukan aturan yang jelas untuk menopang hal yang boleh dilakukan dan tidak. Hal ini untuk memastikan tidak adanya agenda setting media ke arah yang tendesius. “Jangan sampai kerja jurnalis menjadi prpagandis. Hal ini mermerlukan banyak hal,” tegasnya.
Terkait hal itu, Dosen UIN Syarif Hidayatullah ini memandang perlu penguatan lembaga penyiaran dalam tiga hal. Pertama, human broadcasting low yang menjadi tanggung jawab legislatf dan eksekutif. Kedua, broadcasting management yang menjadi tanggung jawab lembaga penyiaran. Lalu ketiga, penguatan konten siaran yang menjadi kebutuhan publik.
Sementara itu, Direktur Penyiaran Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Geryantika Kurnia, memaparkan tentang upaya pemerintah dalam menyederhanakan proses perizinan penyiaran lewat paket UU Cipta Kerja. Menurutnya, penyederhanaan perizinan ini memangkas alurnya menjadi pendek.
“Proses perizinan dulu berbelit belit, satu izin bisa 105 hari dan ini tidak jelas izinnya bisa keluar kapan. Dengan UU ini kita sederhanakan. Lalu, tidak ada izin seumur hidup. Semuanya hanya 10 tahun,” jelas Geryantika.
Ia juga membahas perkembangan platform OTT (over the top). Menurutnya, persoalan OTT telah banyak diatur di banyak negara dunia termasuk Malaysia. Tapi, negara Jiran memisahkan aturanya. “Di Kanada, regulasi ini tidak berhasil. Ada plus minusnya. Apakah perlu KPI mengawasai media baru. Lembaba ini ada yang saling bersinggungan. Ada LSF, KIP dan Dewan Pers. Ada juga satgas UU ITE. Yang ini perlu dipertimbangankan untuk membuat lembaga yang benar-benar kuat,” kata Geryantika.
Masih menyangkut media baru, Gery mengingatkan pentingnya kehati-hatian menetapkan regulasinya termasuk perizinan. Menurutnya, apa mesti semua media sosial memerlukan izin. Pasalnya, dengan ranah izin dapat menyebabkan kemandekan kreatifitas. “Jangan mengikat kreatifitas masyarakat. Jadi harus hati-hati. Karena belum ada yang berhasil menyelesaikan media baru digabung dalam satu undang-undang,” tandasnya. ***