Jakarta - Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo mengunjungi kantor KPI Pusat. Kunjungan didampingi oleh Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi Noval S. Talani. 

Menurut Noval kunjungan itu dalam rangka mengenalkan KPI kepada mahasiswanya dan ajakan kerjasama kampanye tontonan sehat kepada masyarakat di Gorontalo. "Selain itu juga ingin membuka pemahaman teman-teman mahasiswa tentang kajian komunikasi dalam penyiaran untuk kajian skripsi," kata Noval di Ruang Rapat KPI Pusat, Rabu, 8 April 2014.

Kunjungan diterima oleh Komisioner KPI Pusat Fajar Arifianto Isnugroho dan Asisten Komisioner Muhammad Yusuf. Fajar menjelaskan, KPI adalah bentuk representasi dari publik dalam pengawasan penyiaran. Selain itu, menurut Fajar, KPI juga memiliki wewenang dalam ranah perizinan Lembaga Penyiaran televisi dan radio.

"KPI tidak sepenuhnya menjadi regulator penyiaran, dalam hal perizinan, KPI bersama pemerintah, yakni Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Bagian yang menjadi fokus KPI adalah dalam pengawasan isi siaran Lembaga Penyiaran," ujar Fajar.

Dalam pengawasan isi siaran, menurut Fajar, KPI tidak melakukan sensor sebelum tayang. Namun pengawasan setelah program acara ditayangkan. Fajar menjelaskan, banyak yang mengira selama ini KPI bertugas sebagai lembaga sensor.

Dalam mengawasi program siaran, KPI berpedoman pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Menurut Fajar, tayangan yang mendapat sanksi dari KPI adalah Lembaga Penyiaran yang menayangkan atau program acara yang keluar dari acuan P3SPS.

"Jadi sekali lagi saya tekankan KPI bukan lembaga sensor, tapi pengawasan setelah ditayangkan. Memang itu wewenang KPI dalam UU Penyiaran dan ini juga mengacu pada aturan tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi," ujar Fajar.

Terkait pemahaman penyiaran untuk mahasiswa komunikasi, menurut Fajar, mahasiswa komunikasi yang ingin meneliti penyiaran dan komunikasi dan media massa, tidak hanya mengetahui seputar konten dalam media. Selain itu perlu memahami Undang-undang Penyiaran, P3SPS, UU Pers, UU Keterbukaan Informasi, dan peraturan terkait dan aturan turunan lainnya.

"Jadi teman-teman dari ilmu komunikasi, juga perlu tahu tentang regulasinya, selain mempelajari unsur-unsur penting dalam komunikasi itu sendiri," kata Fajar.

Untuk kerjasama kampanye tontonan sehat, Fajar menyambut baik inisiatif dari Universitas Negeri Gorontalo. Menurut Fajar, tugas lain KPI adalah mengajak serta masyarakat, khususnya perguruan tinggi, tokoh masyarakat dalam memberikan pemahaman tentang media dan penyiaran melalui literasi media. 

Fajar berharap, kerjasama itu segera terlaksana. "Pengawasan penyiaran bukan hanya tugas KPI semata, tapi tugas kita bersama. KPI sebagai representasi publik memiliki kewajiban dalam menyertakan publik terkait aturan hingga kegiatan terkait penyiaran lainnya," ujar Fajar.

Makassar - Puncak peringatan Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) ke-82 (1 April 1923 - 2015) berlangsung di Anjungan Pantai Losari, Makassar, Sulawesi Selatan. Selain acara hiburan, peringatan Harsiarnas 2015 juga ajang pemberian penghargaan kepada tokoh atau lembaga yang berkontribusi dalam bidang penyiaran.

Dalam sambutannya Ketua KPI PUsat Judhariksawan mengatakan peringatan Harsiarnas tahun ini, pertama kali diselenggarakan di luar ruang bersama masyarakat. Adapun tema Harsiarnas 2015 adalah "Penyiaran untuk Kedaulatan Rakyat".

"Puncak peringatan Harsiarnas kali ini juga sebagai bentuk ucapan terima kasih kami kepada tokoh, instansi, atau lembaga yang sudah berkontribusi mendidik dan menyebarkan nilai-nilai penyiaran yang sehat kepada masyarakat," kata Judhariksawan di Makassar, Rabu, 1 April 2015.

Adapun penghargaan KPI pada puncak peringatan Harsiarnas 2015 diberikan kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rumah Sinema, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, dan Din Syamsuddin. 

Menurut Judhariksawan, Rumah Sinema dari Yogyakarta dalam kiprahnya adalah lembaga yang konsisten dalam mengembangkan dan mendidik masyakat melalui literasi media agar kritis terhadap tayangan media. Pemprov Sulawesi Selatan oleh KPI dinilai sukses dalam pembentukan Forum Masyarakat Peduli Penyiaran di 18 kabupaten/kota atas inisiasi Gubernur. Din Syamsuddin yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam perannya mendukung dan perbaikan penyiaran Ramadhan yang lebih baik.

Acara puncak Harsiarnas 2015 juga dimeriahkan dengan Penampilan dari UKM Seni Universitas Negeri Makassar, Mangara Jazz, Fadli Padi, Ivony Arty, dan sejumlah artis ibu kota lainnya. 

Makassar - Dalam rangkaian acara Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI, 2015 juga diselenggarakan Talk Show dengan tema "Meneguhkan Penyiaran Indonesia Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN". Pembicaranya, yakni Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, Ketua KPI Pusat Judhariksawan, Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Suryopratomo, dan Ridho Eisydari Dewan Pers. Acara Talk Show Rakornas 2015 itu disiarkan langsung oleh TVRI Nasional dan dipandu oleh pembawa acara Brigita Manohara.

Dalam penjelasannya, Menteri Kominfo Rudiantara mengatakan banyak pekerjaan rumah yang harus siapkan dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan berlaku pada akhir tahun ini. "Pertama tekhnologi, soal digitalisasi, broadband. Kedua, dari sisi regulasi juga harus segera selesaikan. Alhamdulillah tahun 2015 UU Penyiaran akan diselesaikan karena sudah masuk prolegnas DPR RI. Ketiga, SDM," kata Rudiantara di Makassar, Senin, 31 Maret 2015. 

Menurut Rudiantara, bahasan tentang penyiaran berarti berbicara tentang konten dan kreativitas. Hal yang tidak kalah penting untuk meningkatkan dua hal itu, menurut Rudiantara, dengan dibuatnya sertifikasi SDM terkait penyiaran itu sendiri. "Kesiapan Indonesia dalam kancah ASEAN, kita tidak ada masalah dalam hal regulasi, yang jadi masalah adalah SDM itu sendiri," ujar Rudiantara.

Dalam persaingan penyiaran negara-negara ASEAN nanti, Indonesia harus memiliki strategi, dengan strategi budaya kalau tidak mau hanya dijadikan pasar konten asing. Menurutnya, pengembangan konten berbasiskan budaya dapat mengimbangi persaingan itu. Namun yang tidak kalah penting adalah pengembangan sumber manusia penyiaran itu sendiri. 

Berbeda dari Rudiantara, dalam melihat MEA  Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq memiliki acuan yang berbeda dalam persiapannya. Menurut Mahfudz MEA bisa dilihat sebagai konsep proteksi yang bisa dinilai sebagai sebagai peluang atau tatanan. Dari perkembangan nasional, menurut Mahfudz, perlu dilihat keunikan apa yang bisa kembangkan. 

"Kita harus selesaikan pekerjaan rumah kita. Pada pertemuan DPR negara-negara Asean di DIY 2015 lalu, sudah sepakat starting poin adalah melakukan migrasi dari penyiaran analog ke digital harus segera diselesaikan. Ini berarti yang harus diselesaikan terlebih dahulu adalah regulasi," kata Mahfud.

Untuk mencapai langkah itu, menurut Mahfudz, hal yang segera yang akan dilakukan adalah melihat subtansi dari UU Penyiaran dan meletakkan payung hukum digitalisasi itu sendiri. "Dalam pembuatan regulasi, kita seringkali tidak melakukan pemetaan secara menyeluruh, tapi di sisi lain kita bicara investasi. Begitu ada pengembangan industri, ada perubahan regulasi. Di satu sisi saya melihat kepastian hukum itu penting, semakin kuat derajat regulasi, maka kepastian hukum semakin tinggi. Memang itu jadi celah dalam Permen (Digital), tetapi kepastian hukum lebih kuat kalau diatur dengan Undang-undang," ujar Mahfudz.

Menurut Mahfudz, kelemahan regulasi yang tidak dilakukan dengan kajian dan pemetaan yang komprehensif akan menimbulkan celah di kemudian hari. Padahal menurutnya, dalam waktu yang bersamaan, kepastian hukum harus diwujudkan, sementara industri bergerak. Itulah alasan Mahfudz, kepastian hukum harus diperkuat di tingkat Undang-Undang. "Mudah-mudahan 2015 revisi Undang-undang Penyiaran selesai," ujarnya.

SDM Penyiaran Lokal

Bila dalam jelang akhir tahun ini MEA akan mulai berlaku, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo mengingatkan perlunya melihat kondisi SDM penyiaran lokal. Menurutnya, dalam hal penyiaran itu tidak bisa hanya melihat Pulau Jawa dalam hal SDM, juga dari Sabang sampai Merauke. 

"Yang harus disadari bahwa SDM adalah tumpuan kita. Kita akan tertinggal jika SDM kita tertinggal. Oleh karena ini di sinilah pentingnya SOP penyiaran dan standar lainnya harus punya standarisasinya. Pembinaan dan sistemnya harus menjadi rekayasa Negara," kata Syahrul.

Lebih lanjut Syahrul menjelaskan, kepentingan nasional menghadapi MEA membutuhkan motivasi yang kuat dan paradigma baru. Syahrul menyatakan, harus didasari semua pihak, terkadang media menjadi persoalan. Ia mencontohkan bagaimana Metro TV dan TV One yang memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat dan memberitakan sebuah persoalan dalam ranah publik. Dalam konteks itu, menurut Syahrul, solusi untuk semua itu adalah perlunya standarisasinya dan aturan main yang jelas.

Dari sisi perkembangan penyiaran daerah, Syahrul menjelaskan, saat ini Sulawesi Selatan perkembangannya sangat akseleratif. Hampir semua punya siaran lokal. Menurutnya, KPID Sulawesi Selatan diberikan dukungan dalam menjalankan tugasnya, dan pihaknya melakukan sinergi dengan perguruan tinggi dan masyarakat. Namun ia menyayangkan siaran nasional banyak mengambil alih siaran daerah dan isi siarannya lebih banyak untuk kepentingan untuk kepentingan masyarakat di Pulau Jawa. 

Hal senada juga dikemukakan Ketua KPI Pusat, dalam bidang penyiaran SDM adalah salah satu bagian yang penting di dalamnya, apalagi dalam persiapan menghadi MEA. Namun, yang tidak perlu dilupakan, menyelesaikan masalah SDM penyiaran bukan hanya dengan dengan adanya standar kompetensi atau hard skill semata, tapi juga perlunya pembentukkan soft skill di dalamnya, salah satunya perlunya wawasan kebangsaan yang dimiliki pekerja penyiaran akan berpengaruh besar dalam proses karya dan produksi program siarannya nanti.

Dalam menghadapi MEA, Judhariksawan mengingatkan, KPI adalah refresentasi dari publik. Dalam konteks ketahanan nasional, KPI berperan dalam hal penyiaram dalam mencerdasakan bangsa, penyiaran yang sejalan dengan budaya dan ideologi, dan hal lainnya harus persiapkan.

MEA dalam Sudut Pandang Lain

Perwakilan ATVSI Suryopratomo memiliki pandangan berbeda dalam melihat MEA. Menurutnya, MEA bukanlah kompetisi atau saling mengalahkan antarnegara ASEAN, namun cita-cita menjadikan ASEAN sebagai pemain penting dalam kancah global.

"Saat bicara MEA ada mitos yang kuat. Di sana ada 10 negara, kompetisi, kalau seperti itu, Indonesia pasti kalah. Yang dimaksud MEA ASEAN itu menjadi single market. Daya saing ASEAN kuat. ASEAN bisa makmur. ASEAN jadi pemain global," kata Suryopratomo.

Salah kaprahnya tentang MEA yang hanya berfokus pada melihatnya sebagai persaingan semata, menurut pria yang kerap dipanggil Tomy ini mengatakan, karena selama ini media tidak pernah mengedukasi publik tentang MEA itu sendiri. 

"Kalau kita pelajari akan berlakunya MEA pada Januari 2016, jenis profesi yang akan dibuka ada 19 profesi, di antaranya perawat, dokter dokter gigi, arsitek, dll. Penyiaran tidak ada. Kalau secara bidang, yakni bidang jasa, ada bidang bisnis, komunikasi, konstruksi, keuangan, lingkungan hidup, pariwisata, bidaya dan olah raga. Penyiaran 1 januari 2016 akan sama seperti sekarang, tertutup untuk negara lain," ujar Tomy.

Walaupun demikian, menurut Ketua KPI Pusat, dengan berlakunya MEA dengan sendirinya telah  membuat adanya tantangan dalam bidang penyiaran. "Saya tidak persoalkan profesi yang dikatakan tadi. Tapi kita bayangkan 1 Januari 2016, arus manusia yang masuk akan sedemikian rupa. Belum masuk MEA saja, penyiaran kita berisi hal yang tidak mencerdaskan dan tidak membentuk karakter bangsa. Pertanyaannya, 1 Januari 2016 pergaulan masyarakat kita akan terpengaruh dengan masyarakat warga negara lainnya. Kalau dikatakan Indonesia belum siap? Maka apakah media lebih siap menghadapi publik yang seperti itu?" kata Judhariksawan.

Makassar - Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mendesak pemerintah mengkaji ulang peraturan tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) terkait tarif dan biaya hak pengunaan spektrum frekuensi radio yang digunakan Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK). Mengingat LPK merupakan entitas penyiaran non komersil dengan wilayah layanan yang hanya mencapai 2,5 kilometer, yang berbeda dengan entitas penyiaran lainnya, terutama lembaga penyiaran swasta. KPI berharap, biaya yang dibebankan pada LPK harus lebih sedikit dibanding biaya pada LPS. Hal tersebut merupakan salah satu rekomendasi Rakornas KPI 2015, yang ditetapkan bersama seluruh anggota KPI dan KPI Daerah se-Indonesia.

Rekomendasi lain yang ditetapkan dalam Rakornas di Makassar kali ini adalah peraturan KPI tentang persyaratan program siaran dalam perizinan dan penyelenggaraan penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB). Aturan ini dirumuskan KPI guna menjamin kepentingan publik tidak dirugikan oleh penyelenggaraan penyiaran. Aturan tentang LPB ini bersifat teknis dan operasional, dan diharapkan mampu mendorong pengurusan izin, mengingat hingga saat ini masih banyak LPB yang  digelar tanpa izin. Selain itu, dengan peraturan ini, LPB diharapkan lebih selektif dalam menyalurkan program yang sesuai dengan budaya ketimuran di Indonesia. Sehingga siaran di LPB ini bebas dari muatan kekerasan, pornografi dan pelanggaran terhadap perlindungan anak.

Sedangkan terkait penyiaran digital, Rakornas KPI juga mendesak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk memberi kepastian hukum terhadap kelanjutan proses pelayanan perizinan bagi pemohon Izin Penyelenggaran Penyiaran (IPP) TV Digital yang sudah sesuai dengan peluang penyelenggaraan penyiaran.

Rakornas KPI merekomendasikan perubahan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) pada hal-hal sebagai berikut:

  1. Perlindungan kepentingan publik
  2. Penghormatan terhadap hak privacy
  3. Perlindungan kepada anak
  4. Pelarangan dan pembatasan seks
  5. Pelarangan dan pembatasan kekerasan
  6. Pelarangan dan pembatasan program siaran bermuatan mistik, horor, dan supranatural
  7. Penggolongan program siaran
  8. Program siaran jurnalistik
  9. P3 dan SPS Lembaga Penyiaran Berlangganan (konten)
  10. Siaran Iklan
  11. Hukum Acara

KPI juga menegaskan bahwa penyiaran merupakan ranah publik, sehingga pengaturan dan penegakan hukumnya tetap berada pada lembaga negara yang mewakili publik, yakni KPI Pusat dan KPI Daerah. Terkait revisi undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran, Rakornas KPI menetapkan untuk melakukan penguatan kelembagaan KPI dengan mengawal perubahan undang-undang tersebut. Diantaranya dengan menguatkan kewenangan KPI untuk penyelenggaraan penyiaran, membentuk tim khusus terdiri atas KPI Pusat dan perwakilan seluruh KPI daerah untuk menyusun draf usulan KPI terhadap rancangan undang-undang penyiaran, serta menambah jumlah wilayah penelitian “Rating Publik: Survey Indeks Kualitas Program Siaran Televisi” , menjadi 18 (delapan belas) provinsi di tahun 2016.

Makassar - Selain agenda pembukaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI 2015, pada hari yang sama juga dilaksanakan peluncuran Survei Indeks Kualitas Program Siaran Televisi 2015. Dalam program itu, KPI bekerjasama dengan sembilan perguruan tinggi negeri, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI). 

Turut hadir dalam peluncuran program survei rektor/pimpinan dari Universitas Hassanuddin, Makassar, Universitas Indonesia, Jakarta, Universitas Diponegoro, Semarang, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Universitas Sumatera Utara, Medan, Universitas Negari Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Institut Agama Islam Ambon, dan pimpinan dari ISKI.

Sambutan perwakilan kampus diwakili Rektor Universitas Hassanuddin Dwia Aries Tina Pulubuhu mengatakan menyambut gembira ajakan KPI untuk melaksanakan Survei Indeks Kualitas Program Siaran Televisi. "Kami menyambut gembira saat KPI mengajak kami. Ada keprihatinan kita tentang penyiaran yang terjadi dan gelombang kejutan dari berbagai lapisan masyarakat. Inilah pentingya memperbaiki kualitas siaran.  Perhatian ini sudah menjadi bagian kami dalam akademisi melalui program komunikasi," kata Dwia dalam sambutannya di Makassar, Selasa, 31 Maret 2015.

Menurut Dwia, dalam perkembangan teknologi dan era informasi banyak hal dianggap semu. Namun menurutnya informasi tetap adalah sebuah kebutuhan. Dwia berjanji dalam pelaksanaan survei nanti, berjanji akan melakukannya penuh denga komitmen. Menurutnya, ini tidak lain untuk mewujudkan masyarakat yang kreatif dalam menyongsong Masyarakat Ekonomi Asean.

"Saya atas nama sembilan perguruan tinggi akan berkomitmen di hadapan Pak Menteri dan yang lain akan mendukung dan memberikan yang terbaik. Sehingga era informasi bukan hanya di-drive oleh pihak industri," ujar Dwia.

Dalam paparnnya Ketua KPI Pusat Judhariksawan mengatakan survei yang melibatkan sembilan perguruan tinggi akan dijadikan sebagai tolak ukur dan gambaran program televisi yang disiarkan Lembaga Penyiaran. Menurut Judhariksawan, hasil survei itu nanti akan dijadikan sebagai bahan evaluasi dan dasar pengambilan keputusan terhadap program siaran, baik dalam penjatuhan sanksi maupun pemberian apresiasi.

Selain itu dari hasil survei itu juga akan dijadikan masukan tentang program-program siaran televisi yang hadir di tengah masyarakat. Ini tidak lain, menurut Judhariksawan, KPI sebagai lembaga negara independen berkepentingan untuk memastikan penyelenggraan penyiaran sejalan dengan regulasi. Harapannya, hasil survei ini dapat digunakan oleh Lembaga Penyiaran dalam membuat program-program siaran yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.