Jakarta -- Terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law yang mengusung semangat kemudahan dalam proses izin berusaha termasuk dalam bidang penyiaran patut diacungi jempol. UU yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada awal November 2020 lalu ini pun mewujudkan perpindahan sistem siaran di tanah air dari analog ke digital pada 2022 mendatang. Sebuah transformasi sistem penyiaran yang sudah lama digadang-gadang dan salah satu penyebab mandeknya revisi UU Penyiaran. 

Lahir dengan niat memudahkan semua perizinan termasuk penyiaran, tidak lantas hal ini jadi mengabaikan kedaulatan publik di dalamnya. Peran publik seharusnya tetap diperhatikan dalam kaitan melakukan kontrol atas komitmen dan tanggung jawab industri dalam penyiaran. Dan hal ini seharusnya dapat ditampung dalam Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) Cipta Kerja kluster Penyiaran aturan turunan dari UU baru tersebut. 

Pendapat ini dinyatakan Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, dalam sebuah diskusi virtual akhir  tahun yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) bertema “Meneropong Industri Penyiaran Pasca Omnibus Law”, Sabtu (26/12/2020).

“Meskipun semangat dari Undang-Undang Cipta Kerja adalah kemudahan dalam proses perizinan berusaha, termasuk dalam hal ini bidang penyiaran. Namun seharusnya hal ini tidak mengabaikan kedaulatan publik. Oleh karena itu, perlu dibuat formulasi atau regulasi turunan yang tepat agar dinamika bisnis bisa jalan tapi tetap mengakomodasi peran publik di dalamnya,” tegasnya.

KPI telah menyampaikan masukan kepada pemerintah terkait hal itu dalam regulasi turunan dari UU tersebut di RPP (Rencana Peraturan Pemerintah) Cipta Kerja kluster Penyiaran. Dalam salah satu masukan, KPI meminta tetap terlibat dalam proses perizinan, sebagai wujud kedaulatan masyarakat dalam penyiaran. “Ketiadaan kewenangan KPI dalam proses perizinan, berarti menghilangkan kedaulatan dan peran publik dalam proses tersebut,” kata Hardly. 

Nantinya, berdasarkan mekanisme yang ditawarkan KPI di RPP dalam hal akan diterbitkannya izin penyelenggaran penyiaran (IPP) baru adalah dengan menerbitkan IPP dua tingkat. Pertama, IPP Prinsip, yang berlaku selama 1 tahun sebagai masa percobaan siaran. Hal ini berbeda dengan konsep IPP Prinsip sebelumnya, tawaran KPI adalah dalam periode 1 tahun tersebut, Lembaga Penyiaran sudah bisa bersiaran secara komersial, termasuk menayangkan iklan. 

“Keberadaan masa percobaan 1 tahun ini adalah sebagai masa sanggah dan kontrol publik atas komitmen konten siaran. Apabila dalam masa satu tahun percobaan tersebut, Lembaga Penyiaran melakukan akumulasi pelanggaran atas ketentuan konten yang diatur dalam P3SPS, maka publik dapat menyampaikan evaluasi, dan KPI dapat menyampaikan keberatan untuk diterbitkannya IPP tetap,” tuturnya.

Keberadaan masa percobaan 1 tahun ini, tambah Hardly, adalah untuk meneguhkan kewenangan KPI dalam mewakili publik mengawasi konten siaran, sekaligus mengingatkan dan menertibkan Lembaga Penyiaran sejak awal, bahwa ada ketentuan-ketentuan tentang konten siaran yang harus dipenuhi. Diantaranya, tentang prosentase konten lokal, prosentase tayangan asing, prosentase iklan komersial, komitmen perlindungan anak dan remaja, kualitas konten dan lainnya. 

Hal itu tentu harusnya menjadi perhatian lembaga penyiaran sejak awal diberikannya izin. Argumentasi bahwa KPI akan memiliki kewenangan melakukan evaluasi, dan kapan pun dapat menyampaikan rekomendasi pencabutan izin, seharusnya tidak menghilangkan kewenangan KPI dalam tahapan perizinan. Karena setelah izin diberikan, untuk mencabutnya, rekomendasi KPI harus terlebih dahulu diuji dan diputuskan oleh pengadilan. Maka diperlukan mekanisme untuk sejak awal mengingatkan komitmen Lembaga Penyiaran atas pemenuhan konten berkualitas kepada masyarakat. 

Kedua tentang pemberian IPP Tetap, yang berlaku selama 10 tahun sebagaimana draft RPP. Menurut Hardly, IPP ini diterbitkan jika tidak ada keberatan publik melalui KPI selama masa percobaan 1 tahun tadi. Apabila terdapat keberatan dari masyarakat terhadap konten siaran, yang disampaikan secara terukur dan proposional oleh KPI kepada pemerintah, maka perlu mekanisme evaluasi sebelum diterbitkannya IPP tetap. 

Terkait dengan proses perpanjangan IPP, Hardly mengusulkan ada masa sanggah atau keberatan yang disampaikan berdasarkan hasil pengawasan KPI selama 9 tahun yaitu enam bulan sebelum diterbitkannya IPP perpanjangan. 

“Perlu dipahami bahwa usulan terkait posisi KPI dalam proses perizinan ini tidak dimaksudkan untuk menghambat proses perizinan, karena KPI sangat setuju proses perizinan dilakukan secara cepat, transparan, akuntable melalui sistem yang saat ini disebut Online Single Submission atau OSS. Kewenangan KPI untuk melakukan evaluasi di awal perizinan adalah untuk meneguhkan kedaulatan publik dalam penyiaran, khususnya dalam hal pengawasan konten siaran,” tegasnya.

Meskipun begitu, Hardly memahami bahwa dihapusnya ketentuan perizinan penyiaran dalam UU Omnibus Law, karena perlu desain perizinan yang compatible atau sejalan dengan skema penyiaran digital. Alasannya, dalam penyiaran analog hanya dikenal 1 entitas bisnis yaitu Lembaga Penyiaran, sedangkan pada penyiaran digital terdapat 2 entitas bisnis yaitu Lembaga Penyiaran dan Lembaga Pengelola Multipleksing. 

Hardly juga menyampaikan pentingnya digitalisasi dan manfaat yang menyertainya diantaranya efisiensi dan optimalisasi penggunaan frekuensi radio sebagai medium komunikasi (digital deviden). Kemudian, peningkatan kualitas teknis siaran (gambar dan suara yang diterima semakin jernih). Makin banyak pilihan saluran siaran televisi, yang diharapkan dapat mendorong keragaman konten, termasuk menumbuh-kembangkan konten siaran lokal serta mendorong kompetisi yang diharapkan akan meningkatkan kualitas konten siaran. 

“Siaran digital akan membuat kualitas teknis siaran digital yang lebih stabil dan ini diharapkan dapat mengurangi blankspot area siaran televisi, pada wilayah yang saat ini telah menerima siaran televisi analog. Selain itu, dengan model bisnis siaran digital, akan terjadi efisiensi biaya investasi (capex) infrastruktur penyiaran, sehingga diharapkan akan semakin banyak antena pemancar yang dapat dibangun sehingga seluruh wilayah Indonesia dapat menikmati siaran televisi digital secara gratis,” jelasnya.

Sementara itu, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Prof. Widodo Muktiyo, mengatakan lahirnya UU Cipta Kerja merupakan sesuatu yang luar biasa yang memutus kesulitan dari revisi UU Penyiaran yang tak kunjung selesai. UU ini menjadi pintu masuk Indonesia untuk melakukan analog switch off atau ASO pada 2022 mendatang. 

Menurut Widodo, perpindahan ini pun harus diikuti dengan pembangunan infrastruktur penyiaran yang memadai. Dan kerja ini harus dilakukan secara bersama semua stakeholder. “Bagaimana industri menyambut ini untuk kepentingan bersama termasuk soal SDM dalam spectrum frekuensi. Sektor ini memiliki nilai yang sagat strategies untuk memasukan 5.0. Kebiasaan baru ini menjadikan ekonomi digital jadi tulang punggung baru,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Widodo menyatakan pihaknya bersama dengan KPI dan industri penyiaran sedang melakukan sosialisai tentang siaran digital. Menurutnya, hal yang perlu dipahami masyarakat mengenai siaran TV digital adalah ini bukan TV streaming lewat digital atau satelit. 

“TV digital ini adalah melalui free to air (FTA) dan tidak perlu berlangganan dan penerimaannya bisa lewat antena rumah. Dan jika masyarakat belum punya TV digital bisa menggunakan set top box  atau decoder digital. Gambarnya jadi bersih, teknologinya canggig, suaranya jernih dan mengenakkan panca indra kita untuk menikmati produk  siaran. Tidak perlu biaya untuk siaran digital ini,” tegasnya.

Selain itu, lanjut Widodo, migrasi siaran ini diharapkan dapat mengejar ketertinggalan Indonesia dari negara lain yang sudah terlebih dahulu melaksanakan siaran digital. “Ini menjadi tantangan kita dengan UU baru tersebut memberikan dampak positif dan konstruktif menyambut masa depan yang baik,” tandasnya.  ***

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyampaikan usulan terhadap materi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Sektor Pos Telekomunikasi dan Penyiaran (Postelsiar) kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). RPP Postelsiar ini merupakan peraturan turunan dari Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja untuk Klaster Penyiaran. 

Ketua KPI Pusat Agung Suprio menjelaskan, masukan untuk RPP Postelsiar merupakan respon KPI atas terjadinya beberapa perubahan dalam aturan penyiaran pada Undang-Undang Cipta Kerja. KPI sendiri mendukung semangat penyederhanaan sistem perizinan penyiaran yang ada dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Secara prinsip, KPI mendukung adanya jalur administrasi yang lebih pendek dan lebih simpel bagi pemohon izin penyelenggaraan penyiaran. 

Dalam kesempatan pertemuan terbatas yang dilaksanakan secara virtual antara KPI dengan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (Dirjen PPI) Kemenkominfo (22/12/2020), Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan Irsal Ambia memaparkan langsung usulan KPI terhadap RPP Postelsiar. Dalam proses perizinan, KPI mengusulkan untuk sedapat mungkin terlibat dalam proses lembaga penyiaran mendapatkan izin. Setidaknya, ujar Irsal, KPI mengusulkan adanya kewajiban lembaga penyiaran untuk menginformasikan tentang program siaran apa saja yang akan ditayangkan. Hal ini menjadi penting, ujar Irsal, dalam upaya KPI menjaga diversity of content. Secara teknis, ujar Irsal, ini adalah masukan KPI untuk pasal 68 RPP. Yakni untuk memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran, pelaku usaha harus mengajukan uji laik operasi penyiaran, memperoleh surat keterangan laik operasi penyiaran, dan mencantumkan format siaran dengan mempertimbangkan minat, kepentingan, dan kenyamanan publik.

Selanjutnya masukan KPI terkait Pasal 70 RPP Postelsiar yang mencantumkan kewajiban siaran konten lokal sebanyak dua puluh persen dari seluruh waktu siaran yang ditayangkan pada waktu siaran produktif sesuai dengan daerah yang dilayaninya. Menurut KPI, selayaknya aturan tersebut didasarkan pada waktu siaran keseluruhan per hari yang ditayangkan sesuai dengan daerah yang dilayani. Masih tentang pasal 70 ini, Irsal mengingatkan bahwa ketentuan yang menyebutkan lembaga penyiaran dengan cakupan wilayah siaran meliputi seluruh Indonesia wajib memiliki cabang, tidak sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Penyiaran yang menyebutkan sistem penyiaran nasional dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal. Yang patut diingat adalah, dalam Undang-Undang Cipta Kerja, pasal ini tidak ada perubahan sehingga masih berlaku. 

Masukan lain dari KPI adalah untuk Pasal 78 tentang ketentuan persentase pembagian slot multipleksing. KPI menilai harus ada perimbangan dalam format siaran umum dan khusus dalam layanan dalam pembagian saluran di multipleksing. Hal ini diturunkan dengan ketentuan tentang kuota maksimal untuk format siaran umum dan kuota minimal untuk format siaran khusus. 

Catatan lain dari KPI disampaikan pula oleh Wakil Ketua KPI Pusat Mulyo Hadi Purnomo. Menurutnya evaluasi atas program siaran yang sudah berlangsung sangat penting. KPI harus juga memastikan bagaimana program siaran yang hadir inin tidak memberikan dampak buruk bagi masyarakat. Dalam Undang-Undang Cipta Kerja dan RPP Postelsiar, ujar Mulyo, masih belum nampak dengan jelas pengaturan ini.  Selain itu, Mulyo juga menyoroti pendirian lembaga penyiaran yang terkonsentrasi di wilayah tertentu. “Perlu disebutkan dalam RPP, ketentuan yang memperhatikan keberimbangan cakupan wilayah layanan agar lembaga penyiaran tidak terkonsentrasi di wilayah tertentu saja yang secara ekonomi menarik,” ujarnya. 

Dirjen PPI Kemenkominfo, Prof Ahmad Ramli yang turut hadir dalam pertemuan tersebut mengaku senang dengan masukan yang disampaikan langsung oleh KPI. “Kami senang KPI dapat menyampaikan secara langsung, sehingga kami bisa mendapatkan “tone” nya seperti apa,” ujar Ramli. Direktur Penyiaran Dirjen PPI Kemenkominfo, Geryantika Kurnia menyatakan, masih ada beberapa pembahasan teknis terkait peraturan di bidang penyiaran. Gery memastikan akan mengundang KPI guna mendapatkan masukan lebih rinci, terutama soal sanksi administratif dan penjatuhan sanksi denda.

 

 

Pasal 72 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah menambahkan norma baru dalam regulasi penyiaran. Yaitu penyelenggaraan penyiaran dilaksanakan dengan mengikuti perkembangan teknologi, termasuk migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital. Ini merupakan dasar hukum dimulainya proses migrasi pemancaran siaran khususnya televisi dari modulasi analog menjadi modulasi digital. 

Indonesia sebenarnya telah tertinggal dalam penerapan teknologi siaran digital. Berdasar kesepakatan International Telecommunication Union (ITU) di Jenewa pada 2006, batas akhir dihentikannya siaran analog (analog switch off/ASO) kemudian penyiaran digital dilaksanakan sepenuhnya oleh seluruh negara anggota ITU adalah 17 Juni 2015. Karena itu, UU 11/2020 memberikan tenggat waktu paling lambat dua tahun. Artinya, seluruh siaran televisi harus sudah dipancarkan dengan modulasi digital pada November 2022.

Alih teknologi modulasi penyiaran ini merupakan keniscayaan agar terjadi efisiensi penggunaan frekuensi yang merupakan sumber daya alam terbatas. Pada modulasi analog, setiap pemancaran siaran televisi membutuhkan lebar pita frekuensi sebesar 8 Mhz. Dengan menggunakan modulasi digital, pita frekuensi 8 Mhz dapat digunakan untuk memancarkan sekaligus 5 siaran TV dengan kualitas gambar high definition (HD) atau 13 siaran TV dengan kualitas gambar standard definition (SD). Sehingga, penggunaan frekuensi siaran analog dibandingkan siaran digital adalah minimal 1:5 dan maksimal 1:13.

Dalam penyiaran digital, frekuensi akan digunakan oleh 5 sampai 13 stasiun TV secara bersama-sama melalui sistem siaran multipleksing. Lembaga penyiaran tidak perlu lagi melakukan investasi untuk membangun infrastruktur pemancar. Sebab, hal tersebut akan dilakukan oleh penyelenggara multipleksing. Lembaga penyiaran dapat fokus pada proses produksi konten siaran, yang proses pemancarannya akan dilakukan melalui sewa saluran multipleksing.

Dengan mekanisme seperti itu, biaya investasi (capex) infrastruktur penyiaran akan semakin murah karena pada dasarnya ditanggung secara bersama-sama oleh beberapa lembaga penyiaran. Diharapkan pembangunan infrastruktur penyiaran akan semakin masif dan dapat menjangkau daerah yang selama ini belum dapat menerima siaran televisi tidak berbayar (free to air/FTA).

Beberapa kelebihan siaran televisi digital, menurut Oktariza dkk (2015), adalah: 1) Kualitas siaran yang lebih stabil dan tahan terhadap gangguan (interferensi, suara dan/atau gambar rusak, berbayang, dsb). 2) Memungkinkan siaran dengan resolusi HDTV secara lebih efisien. 3) Kemampuan penyiaran multichannel dan multiprogram dengan pemakaian kanal frekuensi yang lebih efisien. 4) Kemampuan transmisi audio, video, serta data sekaligus.

Melalui siaran digital, masyarakat akan mendapat manfaat berupa kualitas gambar dengan resolusi tinggi dan suara yang lebih jernih. Selain itu, akan lebih banyak pilihan saluran televisi yang bisa dinikmati. Semua manfaat tersebut akan dinikmati masyarakat secara gratis karena proses digitalisasi penyiaran ini dilakukan pada penyiaran tetap tidak berbayar (free to air/FTA).

Walaupun sama-sama menggunakan teknologi digital, siaran televisi digital bukanlah siaran televisi melalui internet atau streaming. Sebagaimana diketahui, untuk mengakses informasi dan hiburan melalui siaran streaming, masyarakat harus memiliki layanan data internet. Sementara itu, untuk dapat menikmati siaran televisi digital, hanya diperlukan antena ultra high frequency (UHF) serta perangkat televisi yang selama ini digunakan untuk menerima siaran televisi analog.

Televisi yang belum memiliki saluran penerimaan siaran digital juga tidak harus melakukan penggantian perangkat dengan televisi baru. Cukup dengan menambahkan alat bantu penerima siaran digital berupa kotak decoder yang disebut set top box (STB). Kabel dari antena UHF terlebih dahulu disambungkan dengan STB. Lalu, kabel dari STB dikoneksikan pada perangkat televisi analog. Maka, masyarakat sudah dapat menerima siaran modulasi digital, sepanjang siaran digital telah dipancarkan.

Meski siaran televisi digital menjanjikan berbagai kemanfaatan, dibutuhkan perencanaan yang meliputi berbagai aspek agar dapat membawa kemanfaatan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Jika siaran televisi digital hanya dipahami sebagai proses menambahkan STB pada perangkat televisi, hal tersebut dapat dilakukan dengan mudah di wilayah-wilayah yang selama ini telah menerima siaran televisi analog dengan baik. Bagaimana dengan wilayah yang hingga saat ini belum dapat menerima sama sekali siaran televisi FTA? Bagaimana dengan kelompok masyarakat kurang mampu yang tidak dapat membeli STB?

Selain sosialisasi teknis penyiaran digital, pemerintah perlu memublikasikan secara transparan berbagai rancangan regulasi, tahapan perencanaan, maupun kemajuan implementasi di berbagai wilayah. Bahkan, pemerintah perlu membentuk tim kerja atau gugus tugas agar dapat merespons dengan cepat berbagai masukan dari masyarakat. Dalam proses transisi sistem penyiaran, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai perwujudan peran serta masyarakat dalam bidang penyiaran perlu memberikan pemahaman yang komprehensif agar masyarakat dapat memahami kemanfaatan maupun tantangan siaran televisi digital.

Masyarakat harus didorong untuk berpartisipasi. Mulai proses perencanaan, mengawasi setiap tahapan pelaksanaan, hingga memberikan masukan kepada pemerintah. KPI pusat maupun daerah perlu berkolaborasi dengan berbagai pihak dan menjadi ruang publik (public sphere) di mana seluruh pemangku kepentingan dapat menyampaikan masukan terkait proses digitalisasi penyiaran.

Efisiensi pengelolaan infrastruktur dan berbagai kemanfaatan penyiaran digital harus disertai dengan kebijakan yang memungkinkan industri penyiaran tumbuh dan berkembang di seluruh wilayah Indonesia. Dengan begitu, semua masyarakat dari Sabang sampai Merauke dapat menikmati informasi dan hiburan yang berkualitas melalui siaran televisi secara gratis.

 

*Hardly Stefano Fenelon Pariela, Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan

(Opini ini sudah diterbitkan pada: https://www.jawapos.com/opini/16/12/2020/manfaat-dan-tantangan-siaran-tv-digital/?amp)

Jakarta - Lembaga penyiaran, baik itu televisi ataupun radio, harus dapat dimanfaatkan sebagai sarana menyebarkan kebaikan dan da’wah Islam yang menyejukkan ke seluruh Indonesia. Apalagi di masa pandemi seperti sekarang yang mengharuskan berkegiatan lebih banyak di rumah, menyebabkan akses masyarakat pada televisi dan radio tentu semakin meningkat. Diharapkan televisi dan radio Islam yang tergabung dalam Asosiasi Radio dan Televisi Islam Indonesia (ARTVISI) dapat menyajikan konten siaran yang tidak saja menghibur dan bermanfaat, namun juga menambah khazanah wawasan keislaman yang lebih baik.  Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Kelembagaan Irsal Ambia menyampaikan hal tersebut dalam pembukaan Musyawarah Nasional (MUNAS) ke-dua ARTVISI tahun 2020 yang digelar secara virtual, (19/12). 

Dalam kesempatan tersebut Irsal mengingatkan tetang tujuan terselenggaranya penyiaran sebagaimana yang disebut dalam regulasi yakni memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat mandiri, demokratis, adil dan sejahtera serta menumbuhkan industri penyiaran. Di sisi lain, ujar Irsal, media penyiaran juga memiliki fungsi sebagai sarana informasi yang layak dan benar, pendidikan bagi masyarakat, Hiburan yang sehat, Kontrol dan perekat sosial, sarana kebudayaan dan ekonomi.

Berangkat dari nilai-nilai yang telah disematkan undang-undang ini, Irsal menyampaikan, segenap anggota ARTVISI diharapkan tetap menjaga keragaman bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). KPI sendiri, ujar Irsal, siap membantu anggota ARTVISI untuk dapat meningkatkan profesionalismenya lewat pemahaman atas regulasi yang ada, khususnya Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3&SPS). 

Menyambut penyiaran digital yang secara serentak akan terselenggara pada November 2020, Irsal berharap anggota ARTVISI dapat ikut bagian dalam siaran digital. “Peluang penyelenggaraan penyiaran di era digital menjadi lebih terbuka luas,” ujarnya. Selayaknya anggota ARTVISI ikut memenuhi saluran dari berbagai multiplekser yang ada dengan konten siaran religi yang berkualitas. 

Bicara tentang siaran religi, Irsal menyinggung pula hasil Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi yang digelar oleh KPI Pusat di thaun 2020. “Tayangan religi di televisi mendapat apresiasi dengan nilai indeks yang tinggi,”  ujar Irsal. Selain itu, KPI juga menggelar Anugerah Syiar Ramadhan yang menjadi ajang adu kualitas program siaran televisi yang membawakan muatan keislaman dan da’wah ke tengah masyarakat. Irsal berharap, televisi dan radio yang tergabung dalam ARTVISI dapat meningkatkan kreativitas dan pengemasan konten siaran yang lebih professional, agar siaran yang dihadirkan mampu menarik minat pemirsa dan pendengar yang lebih luas. “Dengan demikian nilai-nilai da’wah yang disyiarkan pun dapat diterima lebih banyak orang,” pungkasnya. 

 

 

 

 

 

Makassar - Koordinator Bidang PS2P KPI Pusat, Mohamad Reza, didampingi Ketua KPID Sulawesi Selatan, Muhammad Hasrul Hasan, Minggu (20/12/2020) bertemu Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah, di Rumah Jabatan Gubernur, Jalan Jenderal Sudirman, Makassar. Pertemuan ini membicarakan persiapan Analog Switch Off (ASO ) pada November 2022 mendatang.

Di awal pertemuan, Mohamad Reza menjelaskan proses transformasi televisi analog ke digital. Dimana kualitas siaran televisi makin jernih dan lembaga penyiaran swasta digital akan tumbuh. Dia mencontohkan, jika di Makassar saat ini ada 24 televisi analog, nantinya akan bisa bertambah hingga tiga kali lipat.

“Ke depan konten siaran akan lebih beragam saat digitalisasi penyiaran. Selain itu jumlah lembaga penyiarannya juga akan bertambah pula. Bahkan, konten kreator bisa berkolaborasi dengan penyelenggara siaran digital," ujar Reza.

Terkait itu, lanjut Reza, Pemerintah Provinsi khususnya Sulsel harus menangkap peluang itu dengan membentuk kurator konten dimana daerah dapat menjadi penyelenggara, baik itu melalui perusahaan rumah produksi lokal Sulsel atau pun dikelola oleh perusahaan milik daerah.

Sementara itu, Gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah, antusias menyambut rencana Pemerintah Pusat tersebut. Menurutnya, dengan digitalisasi penyiaran konten-konten terkait daerah bisa lebih dimaksimalkan dan Sulsel siap mendukung penuh KPI dan Pemerintah dalam proses transformasi tersebut.

"Kita tentu mendukung penuh rencana digitalisasi tersebut. Karena dengan digitalisasi tentunya biaya operasional teknologinya jadi lebih murah dan Sulsel saat ini sudah mulai melakukan proses digital di sejumlah sektor," ujar Gubernur.

Dalam kesempatan itu, Reza mengingatkan, digitalisasi sektor penyiaran, khususnya digitalisasi televisi Indonesia di sistem terestrial akan menjadi tantangan tersendiri di Sulawesi Selatan. Saat ini, lanjutnya, Pemerintah Pusat sedang mengupayakan percepatan digitalisasi penyiaran nasional dengan sangat serius. 

Saat ini, jumlah penyiaran televisi analog di Sulawesi Selatan ada 24 lembaga penyiaran, baik swasta maupun lembaga penyiaran publik. Dan, saat analog switch off (ASO) pada 2 November 2022 nanti, ke 24 stasiun TV  ini menjadi prioritas utama untuk beralih teknologi ke siaran digital.

Reza juga mengingatkan, bahwa disrupsi teknologi nantinya menuntut pelaku industri untuk menyesuaikan pola bisnis agar selaras dengan perkembangan pada era digital.

Hal ini penting, untuk menjaga keberlangsungan usaha pelaku bisnis dan investor bidang penyiaran khususnya media lokal di Sulawesi Selatan dan digitalisasi televisi secara signifikan akan meningkatkan efisiensi dalam industri penyiaran tanah air. (*)

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.