- Detail
- Dilihat: 11229
Jakarta - Monopoli peringkat program acara televisi atau rating di Indonesia dikuasai oleh perusahaan Nielsen Media Research. Hasil rating di antaranya memuat peringkat program acara yang paling banyak ditonton.
Rating dijadikan acuan oleh lembaga penyiaran dalam pembuatan program acara. Selain itu memacu para produser untuk membuat program acara sesuai dengan rating Nielsen. Tapi semua itu dilakukan untuk mengejar target pasar yang berpengaruh besar pada pemasang iklan.
Itulah salah satu tema pembicaraan dalam audiensi pengurus Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berlangsung di Kantor KPI Pusat, Jakarta, Jumat, 19 September 2014.
Dalam Audensi itu, pengurus ISKI disambut oleh lima komisioner, yakni Ketua KPI Pusat Judhariksawan, Komisioner lainnya, Sujarwanto Rahmat Arifin, Agatha Lily, Fajar Arianto Isnugroho, dan Amirudin. Sedangkan dari pengurus ISKI hadir Ketua ISKI Yuliandre Darwis, Wakil Bendahara Umum Billy Pranata, Hubungan Media Cetak Irwan Setiawan, dan beberapa pengurus ISKI periode 2013-2017.
Dalam sambutannya, Judhariksawan meyampaikan ucapan terima kasih atas perhatian ISKI terhadap kondisi penyiaran saat ini. Selain itu, Judha menjelaskan tantangan penyiaran dan agenda KPI dalam beberapa tahun ke depan. Di antaranya masalah monopoli ratting dan mempengaruhi isi siaran lembaga penyiaran, penyusunan kompetensi untuk tenaga penyiaran yang akan memasuki Masyarakat ekonomi Asean 2015, penyiaran perbatasan, revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), dan pemenuhan 10 persen siaran lokal oleh lembaga penyiaran berjaringan.
"Untuk menyukseskan semua program itu, KPI juga butuh dorongan semua pihak dan penguatan ke publik. Mungkin dari seluruh program agenda KPI ada yang bisa sinergi dengan ISKI untuk mendukung dan mendorong agar terciptanya siaran yang semakin berkualitas," kata Judharikswasan.
Sementara itu Andre yang juga nama panggilan Ketua ISKI berharap, agar KPI secara lembaga bisa menjadi rumah besar komunikasi di Indonesia. Dia menuturkan bagaimana dalam era demokrasi saat ini pola komunikasi dalam penguatan opini publik kian mendapat posisi di era perkembangan teknologi informasi saat ini.
"Ada beberapa hal yang bisa disinergikan atau bisa dalam bentuk kerjasama dengan KPI, di antaranya tentang rating yang juga menjadi salah satu perhatian kami," ujar Andre.
Dukungan pembentukan rating alternatif yang akan dibuat KPI datang dari pengurus ISKI lainnya, yakni Iwan Setiawan. Menurut Iwan, konsep rating alternatif yang akan dikembangkan KPI yang menyertakan dunia kampus di daerah sebagai rating alternatif untuk lembaga penyiaran selain dari AC Nielson.
"Kalau bisa KPI bisa membuat alternatif rating kualtitatif dan kuantitatif. Apalagi sampelnya di seluruh wilayah Indonesia yang menyertakan pihak kampus di seluruh daerah," kata Iwan.
Untuk memfasilitasi semua itu, Andre mengatakan, untuk pembentukan dunia penyiaran yang sehat lembaganya siap membantu KPI dan bisa menyertakan asosiasi progarm studi komunikasi di seluruh kampus di Indonesia. Selain itu pakar ahli yang dimiliki ISKI baik yang berada di Jakarta maupun ISKI yang berada di daerah.