- Detail
- Dilihat: 13003
Bali - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sepakat mencabut izin dari lembaga penyiaran yang menunggak pembayaran biaya hak penggunaan frekuensi Izin Stasiun Radio (ISR) dan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP). Hal tersebut disampaikan Azimah Subagijo, Koordinator Bidang Perizinan dan Infrastruktur KPI Pusat dalam acara Pra Forum Rapat Bersama (Pra-FRB) untuk wilayah layanan di sepuluh provinsi (Nusa Tenggara Barat, Bali,Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Bengkulu, Riau, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Tengah), di Bali (2/9).
Dalam Pra FRB yang juga dihadiri oleh jajaran Ditjen Sumber Daya Penyelenggaraan Pos dan Informatika (SDPPI) dan Ditjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kemenkominfo tersebut, diketahui beberapa lembaga penyiaran yang mengajukan perpanjangan izin, ternyata sudah lama menunggak pembayaran IPP yang seharusnya dilakukan setiap tahun. Padahal surat peringatan ataupun teguran telah dilayangkan oleh Ditjen PPI dan KPID setempat kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan. Karenanya, KPI dan Kemenkominfo akan melakukan tindakan tegas atas penunggakan-penunggakan ini, yakni berupa penolakan perpanjangan izin ataupun pencabutan izin siaran.
Menurut Azimah, lembaga penyiaran seharusnya memiliki kesadaran penuh bahwa frekuensi yang digunakan untuk bersiaran adalah milik negara yang dipinjamkan. Konsekuensi dari peminjaman frekuensi tersebut, lembaga penyiaran harus membayar kepada negara sebagai salah satu bentuk kontribusinya pada negara.
Azimah menyadari bahwa kehadiran lembaga penyiaran di tengah masyarakat membantu pemerintah baik dalam penyebaran informasi serta pelayanan publik bagi masyarakat. Namun, lanjut Azimah, lembaga penyiaran pun mendapatkan keuntungan financial atas bisnis mereka yang menggunakan frekuensi tersebut. Sesuai ketentuan berlaku, seharusnya lembaga penyiaran taat dengan menunaikan kewajiban financial pada negara. “Dalam undang-undang penyiaran sudah disebutkan bahwa negara menguasai spectrum frekuensi radio yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, ujarnya. Sehingga sikap dari lembaga penyiaran yang menunggak tersebut tidak sejalan dengan amanat undang-undang penyiaran.
Ke depannya, Azimah menjelaskan, KPI Pusat akan melakukan penataan terhadap mekanisme perizinan untuk lembaga penyiaran. Saat ini frekuensi yang tersedia sedemikian terbatas, sedangkan pemohon atas izin penyiaran terus bertambah. Sehingga terjadi defisit frekuensi di beberapa daerah yang memang memiliki banyak peminat untuk menyelenggaran penyiaran. Di sisi lain,ujar Azimah, di tengah defisit frekuensi ini ada pula frekuensi yang dimiliki lembaga penyiaran namun tidak digunakan untuk bersiaran, atau digunakan namun tidak membayar iuran ke negara baik dalam bentuk biaya ISR ataupun IPP. Karenanya, penataan mekanisme perizinan ini, menurut Azimah, akan memberikan data riil atas lembaga penyiaran yang benar-benar beroperasi sesuai dengan regulasi yang ada. Dirinya berharap dengan penataan ini, seluruh frekuensi yang tersedia dapat dimanfaatkan optimal oleh lembaga penyiaran untuk memberikan kemaslahatan bagi negara dan bangsa Indonesia.
I