Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menilai revisi undang-undang Penyiaran sangat mendesak untuk segera dilakukan, terutama terkait tentang pengaturan bagi penyiaran berbasis pada internet. Hal ini dikarenakan kepentingan publik harus dilindungi atau diproteksi, selain juga terkait keadilan berusaha dalam ekosistem penyiaran. Ketua KPI Pusat Agung Suprio menyampaikan sikap KPI tersebut dalam Webinar yang diselenggarakan Inews TV secara virtual, dengan tema “Menyoal UU Penyiaran dan Penyiaran Berbasis Internet”, (24/7). 

Revisi undang-undang penyiaran memang tidak lagi masuk dalam program legislasi nasional di tahun 2020. Namun menurut Wakil Ketua Komisi I Abdul Kharis Almasyhari yang turut hadir sebagai narasumber, Komisi I tetap mengagendakan pembahasan revisi tersebut pada Oktober 2020. Harapannya, ujar Kharis, dapat disahkan pada awal tahun 2021 mendatang. 

Bicara soal substansi, Komisi I telah menyiapkan revisi untuk mengantisipasi ketidakadilan dalam dunia penyiaran. Investasi yang sudah dilakukan media mainstream saat ini dengan effort yang cukup besar tiba-tiba harus berhadapan dengan pendatang baru yang tidak terikat dengan aturan sama sekali. “Tapi mampu meraup keuntungan yang sangat besar,” ujarnya. Selain itu, Komisi I juga melihat adanya potensi penerimaan negara yang demikian besar tapi hilang tanpa mampir sama sekali di keuangan negara, di sektor media baru ini. Padahal, keuntungan tersebut didapat dari potensi yang ada di masyarakat Indonesia. “Inilah yang menjadi concern Komisi I,” tegas Kharis. 

Ketidakadilan ini juga sangat dirasakan oleh pelaku industri penyiaran. Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Syafril Nasution mengatakan televisi saat ini selain harus tunduk pada aturan yang ketat terhadap konten siaran, juga memiliki kewajiban membayar pajak kepada negara. Sementara media baru dapat bersiaran tanpa sensor, tanpa kewajiban tunduk terhadap P3 & SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) juga tidak perlu membayar pajak. "Kita mendapat teguran, surat peringatan, sampai ada masalah kita dihentikan tayangannya, begitu ketatnya. Sementara dari sisi televisi yang berbasis internet tadi tidak ada," ujar Syafril. Penyiaran berbasis internet ini, tambahnya, tidak memberikan sumbangan apapun ke negara. Padahal ada pendapatan iklan yang diperoleh dari dalam negeri, tapi tidak membayar pajak kepada pemerintah. 

Terkait pengawasan konten untuk media baru, kekosongan regulasi yang ada saat ini berdampak pada kepentingan publik yang terabaikan. Agung mengatakan, jika televisi berbuat salah dan melanggar P3 & SPS, maka yang dipanggil KPI adalah lembaga penyiarannya. Mereka harus bertanggungjawab terhadap setiap konten yang disiarkan. Sementara di media baru saat ini, kontennya sangat bebas. “Jika di media baru ada konten pornografi yang diciduk adalah pembuat konten, penyelenggara platformnya tidak terjangkau hukum sama sekali,” ujarnya. 

Terkait pengawasan penyiaran, Kharis menegaskan pada dasarnya semangat Komisi I melakukan revisi undang-undang penyiaran dan mengikuti perkembangan teknologi, tidak akan mengubah secara mendasar infrastruktur pengawasannya. “Tetap ada KPI dan KPID,” ujarnya. Pada prinsipnya, tambah Kharis, bunyi pasal yang mengatur KPI itu tetap dan dipertahankan, hanya saja cakupan pengawasannya yang ditambahkan. 

 

 

 

 

 

Jakarta -- Efektifitas pendidikan politik bagi kalangan milenial maupun pemilih pemula di zaman sekarang sangat bergantung dengan isi materi yang akan diberikan. Pemilih seperti ini cenderung memilih info yang cepat dan tidak bertele-tele. Karenanya, pesan yang disampaikan ke mereka harus efisien, kreatif, inovatif serta kekinian. 

Hal itu disampaikan Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, saat didapuk menjadi pembicara utama (keynote speech) dalam peluncuran channel youtube TV Bawaslu Kota Yogyakarta dan Diskusi secara daring yang diselenggarakan untuk memperingati Hari Anak Nasional 2020 di Kota Yogyakarta, Kamis (23/7/2020).

Menurutnya, pendidikan politik bagi pemilih pemula dan kalangan milenial penting disampaikan secara efektif dan efisien. Apalagi dalam waktu dekat akan berlangsung Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada tanggal 9 Desember 2020.

“Pendidikan politik merupakan kebutuhan mendasar untuk menyiapkan generasi yang peduli terhadap dinamika demokrasi bangsa. Oleh karenanya perlu diredesign dengan mengikuti perkembangan zaman dan teknologi. Penyajian informasi yang kaku dan membosankan dengan menggunakan cara-cara konvensional sudah tidak cocok untuk pendidikan politik di era revolusi industri 4.0. Di era ini para pemilih pemula lebih banyak mengakses informasi dengan menggunakan media digital. Pendidikan politik harus dikemas dengan memanfaatkan media digital yang ada, baik televisi, radio, portal berita, platform sosial media lainnya. Karena jika dilaksanakan secara optimal akan menjangkau masyarakat dalam jumlah yang banyak,” kata Nuning di awal acara tersebut.

Selain itu, lanjutnya, karena pemilih pemula dan milineal memiliki bermacam karakter. Ada yang masuk kelompok pemilih ragu-ragu, kelompok pemilih yang telah menentukan pilihan, kelompok yang memilih atas pilihan orang terdekat bahkan ada juga yang berkarakter apatis. Bermacam karakter ini harus disiasati dengan penyampaian informasi yang sesuai dengan karakter tersebut.

“Ketika mereka ragu-ragu yang harus dipikirkan adalah bagaimana membuat pesan atau konten yang tepat buat kalangan tersebut. Ini butuh kreatifitas supaya mereka mau jadi vocal poin dan penyambung informasi tersebut,” tambah Nuning.

Kelompok yang ragu memiliki kecenderungan lebih rentan terpapar informasi palsu (hoax), ujaran kebencian dan politisasi SARA yang akan menjadikan keraguannya beralih menjadi apatis.

“Berdasarkan data dari kementerian komunikasi dan informatika, temuan berita hoax tentang politik pada 2019 adalah yang paling tinggi. Ini artinya harus dijaga dan perlu diantisipasi di tahun ini karena akan diselenggarakan pemilihan kepala daerah yang bisa jadi akan memiliki potensi produksi hoax sebagaimana terjadi di tahun 2019 dengan menyajikan informasi yang akurat dan benar bagi pemilih,” usul Nuning. 

Di akhir pemaparannya, Nuning menyampaikan bahwa memanfaatkan media digital untuk melakukan pendidikan politik melalui media digital akan menjawab problematika sosialisasi, dan kampanye di masa pandemi covid 19. Dan lahirnya TV Bawaslu Yogya adalah salah satu upaya pemanfaatan media digital yang diharapkan dapat menjadi media informasi tentang Pemilu yang terverifikasi bagi masyarakat Kota Yogya.

Sementara itu, Ketua Bawaslu Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Bagus Sarwono, berharap lahirnya media TV Bawaslu Yogya dapat menghadirkan informasi yang berkesinambungan tentang sosialisasi dan edukasi pendidikan politik untuk warga Kota Yogyakarta dan juga daerah lain. “Media seperti ini dibutuhkan masyarakat dan menjadi penyeimbang informasi dari media serupa yang melulu soal gossip atau lainnya,” katanya secara daring.

Bagus juga menyatakan kehadiran TV Bawaslu Yogya dapat memfasilitasi kalangan milineal agar terbentuk pemahaman politik yang baik. “Ini juga kalau bisa menjadi media pembelajaran yang kontinu khususnya bagi pemilih pemula,” tandasnya. ***

Jakarta - Dinamika perkembangan teknologi yang berimbas pada perubahan ekosistem penyiaran harus disikapi pelaku penyiaran dengan ikut melakukan konvergensi siaran agar dapat tetap  bertahan. Media penyiaran konvensional masih menggunakan analog terrestrial harus mulai melakukan replikasi ke berbagai platform media digital, sebagai usaha untuk mempertahankan dan meningkatkan jumlah pendengar dan pemirsa. Hal tersebut disampaikan Hardly Stefano Pariela selaku Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bidang kelembagaan, dalam Webinar Nasional yang bertajuk Prospek Bisnis Penyiaran Era Digitalisasi di Daerah: Peluang dan Tantangan yang diselenggarakan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Institut Agama Islam Daarud Da’wah Wal Irsyad (FEBI IAI DDI) Polewali Mandar, Sulawesi Barat secara virtual, (21/7).

Data yang dikeluarkan oleh Hootsuite menunjukkan pola konsumsi media di Indonesia paling banyak mengakses internet, menggunakan sosial media dan selanjutnya menonton televisi. Berangkat dari data ini, ujar Hardly, televisi dan radio harus bergerak menyesuaikan dengan perubahan ekosistem, yakni memanfaatkan seluruh platform media digital untuk menjangkau pasar yang lebih luas. Artinya, ujar Hardly, televisi dan radio dapat tetap bersiaran seperti sekarang dan juga melakukan siaran di berbagai platform media lain.

Perubahan signifkan pada ekosistem penyiaran ini, sebenarnya menjadi peluang yang sangat besar bagi lembaga penyiaran di daerah untuk bergeliat maju. Hardly melihat banyak peluang yang harus ditangkap lembaga penyiaran di daerah di era konvergensi media ini. Beberapa opsi disampaikan Hardly serta konsekuensi yang muncul terkait model keleluasaan aturan dalam konten ataupun pendapatan.

Hardly menegaskan, kini sudah tiba masanya semua orang dapat membuat konten media, baik secara visual, audio ataupun audio visual, tanpa ada hambatan ataupun sekat ruang dan waktu. “Istilahnya adalah information on demand,” ujar Hardly. Jika sebelumnya televisi dapat ditonton berdasarkan jadwal dari pengelola siaran, maka hari ini kita dapat mengambil siaran kapan pun sesuai kebutuhan. Sekaranglah eranya internet of thing, semuanya sudah ada di cloud, tegasnya.

Secara prinsip penyiaran hari ini terbagi menjadi dua, yakni penyiaran analog yang bicara terkait wilayah layanan, ijin penyelenggaraan penyiaran (IPP), atau pun peluang usaha. Sedangkan yang satu lagi adalah penyiaran digital yang sudah meruntuhkan segala batas dan sekat, borderless. Siaran yang diproduksi di Mamuju sekarang sudah dapat diterima di daerah lain, lintas pulau bahkan manca negara. Konvergensi menjadikan media terrestrial  yang disupport internet dapat menjaga pemirsa sesuai dengan wilayah layanan siar, sementara di saat bersamaan dapat menjangkau wilayah baru di luar wilayah layanan siarnya. Peluangnya konten-konten lokal di daerah dapat dijangkau publik lebih luas, termasuk masyarakat diaspora yang tinggal di luar daerah asalnya.

Hardly menilai, ini juga menjadi sebuah kesempatan bagi penyiaran di daerah melawan dominasi informasi yang Jakarta centris seperti saat ini. Kekuatan penyiaran daerah adalah pada lokalitas, ujarnya.  Maka penyiaran daerah pada era digital harus mampu mengangkat isu lokal yang berdampak global dan mengangkat isu global yang memiliki dampak lokal.

Ditegaskan oleh Hardly, harus ada dukungan pengembangan bisnis penyiaran daerah dari ekosistemnya, yakni pemerintah daerah lewat regulasi dan kebijakan afirmatif, masyarakat daerah dan juga KPI Daerah yang memberikan dukungan besar agar penyiaran di daerah berkembang. Hal lain yang menjadi perhatiannya adalah kehadiran concern group atau kelompok pemerhati penyiaran di daerah. Kelompok ini yang kemudian dapat bersinergi dengan KPI dalam menghadirkan konten-konten penyiaran yang selaras dengan kepentingan publik. Di satu sisi, menurut Hardly, KPID juga harus hadir membuat kebijakan yang menstimulasi perkembangan penyiaran di daerah. Dia juga menyampaikan pentingnya edukasi publik terhadap konten siaran berkualitas yang juga butuh support agar dapat berkesinambungan hadir di lembaga penyiaran. Hal ini sudah digagas KPI Pusat melalui Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa dan Bicara Siaran Baik. Sebagai perwakilan kepentingan publik, KPID juga diharapkan selalu tanggap terhadap dinamika penyiaran yang terjadi, agar setiap kepentingan publik dapat terakomodir dan medium penyiaran memberikan manfaat yang maksimal bagi kesejahteraan masyarakat di daerah.

 

Jakarta -- Meskipun pola konsumsi masyarakat terhadap media penyiaran mengalami penurunan akibat massifnya informasi dan juga hiburan yang disajikan lewat media baru atau internet. Namun, dalam kondisi pandemi Covid-19, tingkat kepercayaan publik pada media seperti televisi dan radio justru makin tinggi. Penyebabnya, informasi yang berasal dari media penyiaran telah terverifikasi jadi dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

“Berdasarkan riset dari IDN Research Institute menunjukkan konsumsi televisi untuk usia 21-36 ini masih relatif tinggi. Dari data tersebut, 89 Persen masyarakat lebih percaya informasi dari televisi dibanding dari internet,” kata Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, pada saat literasi daring bertajuk “Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa” yang diselenggarakan KPI Pusat, Rabu (22/7/2020) 

Menurut Mulyo, kepercayaan tinggi masyarakat pada siaran televisi terutama pada televisi berita karena informasi yang disajikan telah melalui tahapan verifikasi yang berlapis, cek dan ricek sehingga dapat dipertanggungjawabkan. “Bicara hari ini, konsumsi media oleh masyarakat lebih banyak waktu nonton TV dan kisarannya hampir tiga jam empat menit dan dari data Nielsen terbaru di bulan Juni itu sekitar empat jam,” katanya.

Namun begitu, Mulyo mengingatkan pentingnya masyarakat pengakses internet untuk dibekali literasi media yang baik. Sebab, jika tidak, dapat berdampak buruk bagi pengetahuan masyarakat dan dapat menimbulkan kegaduhan. 

“Hari ini kita bicara tentang klepon yang di mana status Facebook itu banyak yang menyebut klepon, kemarin itu menyebut tentang pohon cemara, banyak hal yang kemudian bisa dibuat dan menimbulkan kegaduhan,” kata Mulyo. 

Dia menambahkan, banyaknya informasi yang beredar di internet yang tidak terkonfirmasi justru kontraproduktif dengan kondisi saat ini. “Kemarin saya sempat lihat ada sebuah tayangan youtube yang menginformasikan bahwa thermo gun itu sangat berbahaya bagi otak kita karena ditembakkan ke otak, itu dipakai untuk mengukur suhu logam misalnya karena logam itu benda keras maka tidak pantas atau tidak tepat untuk kemudian digunakan di kepala kita. Ini kan peringatan yang sangat tidak bisa dipertanggungjawabkan itu kemudian malah justru kontraproduktif dengan kondisi yang sekarang ini,” kata Mulyo.

KPI belum dapat awasi media baru

Sementara itu, menjawab pertanyaan peserta bagaimana posisi KPI dalam pengawasan media baru, Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis menjelaskan, pihaknya belum memiliki kewenangan tersebut.Saat ini, KPI hanya bisa mengawasi radio dan televisi. “Platform Youtube dan Netlfix disebut bukan wewenangnya lantaran tidak menggunakan frekuensi publik,” katanya dalam literasi yang sama.

Disampaikan juga, kewenangan pengawasan KPI terhadap media penyiaran ada dalam Undang-undang Penyiaran tahun 2002. Sementara, untuk mengawasi konten yang ada di media baru, seperti Netflix atau YouTube, harus menunggu UU baru. 

Namun begitu, jika ke depan KPI diberikan mandat oleh undang-undang untuk mengawasi media baru, maka pihaknya akan siap melaksanakan. "Misalnya maju ke depan platform apapun definisi broadcasting asal ada audio dan visual apapun salurannya diserahkan kepada Komisi Penyiaran Indonesia, baru KPI bekerja. Tapi kalau ruang itu enggak ada, berarti melanggar undang-undang," ucap Yuliandre.

Andre juga menyampaikan bahwa regulasi penyiaran di Indonesia cukup tertinggal dalam menghadapi percepatan teknologi. Dia mencontohkan, tampilan TV yang semakin jernih di negara lain, sementara di Indonesia belum merasakannya.

"Kita itu selalu telat dalam regulasi. Ketika teknologi sudah maju ke depan, negara sahabat sudah menikmati, tetapi kita baru proses karena ada infrastruktur yang harus kita bereskan dan termasuk regulasi," tambah Andre.

Siapkan UU baru

Anggota Komisi I DPR RI, Mukhlis Basri, menyatakan pihaknya berjanji akan membahas penyelesaian Revisi UU Penyiaran pada 2021 mendatang setelah sebelumnya dikeluarkan dari program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2020. 

Dia juga berharap regulasi yang ada nanti dapat menyentuh seluruh platform media yang pada saat ini belum dapat dijangkau. Menurut Mukhlis, perkembangan media baru sangat cepat dan luar biasa, namun hal itu juga dibarengi dengan maraknya beredar berita hoax. “Jadi, hal ini harus diiringi dengan adanya peraturan termasuk sanksi. Ini jadi prioritas. Akibat sanksi kurang tajam para penyebar hoax itu jadi luar biasa melakukan hal ini,” tegas Mantan Bupati Lampung Barat tersebut. 

Praktisi penyiaran sekaligus presenter berita Kompas TV, Riko Anggara, menyampaikan pentingnya sebuah regulasi yang ketat. Agar ada acuan yang sanksi yang tegas dan jelas. ***

 

Denpasar - Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi periode pertama tahun 2020 telah digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di dua belas kota di Indonesia yang bekerja sama dnegan dua belas perguruan tinggi negeri, dengan menggunakan metode diskusi kelompok terpumpun atau focus group discussion (FGD). Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan, Yuliandre Darwis mengatakan, FGD ini merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam menghadirkan isi siaran yang berkualitas. KPI sendiri, ingin mendapatkan pemetaan perilaku informasi di masyarakat dalam menghadirkan keberagaman isi, sebagaimana yang menjadi syarat terwujudnya demokratisasi penyiaran. Demikian disampaikan Yuliandre saat membuka FGD Informan Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi periode pertama tahun 2020 di Denpasar. 

Hasil riset yang telah dilakukan KPI selama lima tahun, sudah mendapatkan perhatian serius di kalangan stakeholder penyiaran. Para pengiklan misalnya, ujar Yuliandre, mulai berpikir ulang untuk memasangiklan pada program-program siaran yang mendapat nilai rendah dari Riset ini. Untuk itu pula dirinya berharap dalam FGD riset ini, para informan memberikan penilaian yang obyektif sesuai dengan kapasitas dan keilmuannya masing-masing. Secara khusus, Yuliandre berharap Universitas Udayana yang menjadi pelaksana Riset di Denpasar, dapat menjadi role model guna menyuarakan diversity of content. 

Dalam pelaksanaan FGD, masing-masing informan menyampaikan penilaian beserta argumentasi atas nilai yang diberikan tersebut. DIskusi menarik muncul saat membahas penilaian atas program berita dari masing-masing televisi. Catatan atas program berita adalah sebagian besar masih “Jawa centries” atau “Jakarta centries”. Banyak berita berasal dari Jakarta yang dinilai kurang penting, namun disiarkan. Sedangkan berbagai kejadian penting di daerah, yang terkait dnegan kepentingan publik justru luput disampaikan. Catatan lain yang menjadi sorotan informan adalah kemunculan iklan dalam program siaran jurnalistik dinilai cukup mengganggu. Iklan diakui memang memiliki peran penting dalam kelangsungan program siaran, namun diharapkan kemunculannya dapat disesuaikan dengan ketentuan yang ada dalam regulasi. 

Pada hari yang sama, FGD Riset juga dilaksanakan bersama dengan Universitas Tanjung Pura, Pontianak. Komisioner bidang kelembagaan KPI Pusat, Nuning Rodiyah mendapatkan kesempatan untuk memberi sambutan dan membuka FGD. Dalam FGD tersebut, informan menyampaikan masukan untuk program wisata budaya.  Ada baiknya pada program tersebut mengikutsertakan bahasa daerah dengan terjemahan bahasa Indonesia. Selain itu  disuarakan pula pentingnya kehadiran bahasa isyarat dalam program wisata budaya. 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.