- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 1797
Solo - Usaha Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjaga kualitas siaran di televisi dan radio, tidak hanya terpaku pada penindakan dan penjatuhan sanksi. Pada sisi pencegahan, KPI terus melakukan pembinaan pada lembaga penyiaran termasuk melalui kegiatan Bimbingan Teknis Sekolah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Selain itu, KPI juga melakukan literasi dalam rangka meningkatkan selera masyarakat terhadap siaran di televisi dan radio. Hal tersebut disampaikan Tulus Santoso, selaku Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat dalam kegiatan Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa degan tema Menjaga Kemuliaan Ramadan Melalui Kualitas Program Siaran, (14/3).
Dua hal tersebut merupakan langkah intervensi KPI dalam supply dan demand atas program siaran. Pada aspek supply, intervensi dilakukan dengan terus membangun pemahaman pada lembaga penyiaran agar menjadikan P3SPS sebagai panduan produksi siaran. Pada aspek demand, KPI melakukan intervensi selera masyarakat agar terbiasa hanya menonton atau mendengar program siaran yang baik dan positif saja.
Di satu sisi literasi yang merupakan salah satu usaha intervensi ini, tidak mungkin mengesampingkan konten di media baru atau media dengan platform internet. “Dalam berbagai kesempatan literasi, kami juga menyinggung konten yang muncul di media baru, sebagai bentuk eskalasi literasi,” ujar Tulus. Pertimbangannya adalah konsumsi masyarakat pada media baru saat ini sudah melampaui media konvensional seperti televisi, radio dan koran. Karenanya literasi atas konten media baru juga menjadi kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi.
Selama ini, negara, melalui KPI telah melakukan pengawasan terhadap konten di televisi dan radio, tapi untuk konten di media baru, justru kita kecolongan. “Kalau kita lihat media sosial di malam Minggu, trendingnya adalah perempuan yang hanya mengenakan BH. Open BO, istilahnya,” ungkap Tulus. KPI banyak menerima aspirasi agar televisi berkualitas, sinetronnya diharapkan lebih baik, variety show juga demikian. Namun di Tiktok, misalnya, yang menonton orang joget sangat banyak. Padahal, kontennya hanya joget-joget dari malam sampai pagi, agar dapat koin dan juga gift. Belum lagi ada konten perang koin, dengan konsekuensi yang kalah dikerjain diguyur tepung dan sebagainya. “Yang menonton konten seperti ini ribuan, sedangkan ada yang main musik sambil menyanyi dengan lagu yang enak, tapi penontonnya minim,” ujarnya. Konten seperti ini di media baru, tidak ada aturannya. Sedangkan di televisi dan radio, aturannya sangatlah ketat, tidak bisa sembarangan menyiarkan asal-asalan. Hal seperti ini, ungkap Tulus, harus jadi bahan literasi bagi masyarakat di setiap daerah.
Ketua Panitia Kerja Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran DPR RI Abdul Kharis Almasyhari mengungkap, pengaturan media baru akan menjadi pembeda signifikan antara undang-undang penyiaran yang baru dan yang eksisting. Saat ini, perkembangan RUU Penyiaran tahapannya sedang ada di Badan Legislasi. Abdul Kharis optimis, aturan ini dapat disahkan di akhir masa bakti anggota DPR periode 2019-2024.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI ini menerangkan, semangatnya, dalam revisi yang tengah dibahas itu, kita menginginkan ada perlakuan yang sama bagi semua platform media, agar prinsip keadilan dapat terjaga. “Bagaimana mungkin televisi dan radio yang terselenggara dengan modal yang besar, pengurusan izin yang panjang, serta pengawasan yang ketat terhadap konten, harus berhadapan dengan pembuat konten di media baru yang hanya bermodalkan kamera handphone, langsung melakukan siaran seenaknya tanpa ada pengawasan sama sekali,” urainya. Ironisnya, tayangan di media baru itu banyak ditonton oleh masyarakat karena tidak ada pengawasan sama sekali. “Jadi konten di media baru akan diatur,”tegasnya.
Pada prinsipnya, pengaturan konten media bertujuan agar hadirnya program siaran yang berkualitas dan juga bermanfaat bagi publik. KPI mengharapkan, penganugerahan yang diberikan pada program siaran yang dinilai berkualitas, dapat menjadi rujukan bagi masyarakat saat menikmati siaran. “Meskipun kami sadar, tayangan berkualitas belum tentu berbanding lurus dengan iklan dan penghasilan yang didapat pengelola televisi dan radio,” ujarnya.
Namun jika ada satu program berkualitas yang dapat menghasilkan rupiah secara signifikan, seharusnya hal tersebut juga dapat dilakukan rumah produksi atau lembaga penyiaran yang lain. Misalnya, sinetron Para Pencari Tuhan (PPT) yang sudah belasan tahun hadir di layar kaca. “Kenapa hanya PPT yang bisa, sedangkan sinetron lainnya tidak,” tanya Tulus.
Di akhir diskusi Tulus menerangkan, pada era liberalisasi sekarang, kalau siaran tidak baik itu tidak ditonton, maka angka kepemirsaannya berkurang dan ujungnya tidak akan diproduksi lagi. Demikian juga sebaliknya, kalau tayangannya masih muncul, berarti penontonnya masih ada dan angka kepemirsaannya menunjukkan bahwa kelayakan untuk terus diproduksi.