Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mendorong terciptanya penyiaran nasional yang ramah terhadap kelompok (penyandang) disabilitas di tanah air. Diskriminasi perlakuan dan segala bentuk pelecehan status dalam bentuk apapun tidak boleh dibiarkan muncul dalam isi siaran termasuk di lembaga penyiaran. Mereka memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya. 

Demikian disampaikan Anggota KPI Pusat Amin Shabana ketika menerima kunjungan pengurus besar Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas (KNOD) di Kantor KPI Pusat, Senin (16/10/2023) kemarin.

Menurut dia, setiap warga memiliki hak dan kesempatan yang sama dan dilindungi oleh negara, termasuk penyandang disabilitas. Persepsi ini harus ditanamkan di semua elemen termasuk di penyiaran. “Masalah ini sangat kompleks, baik terkait kebijakan sampai dengan penerimaan di masyarakat, jadi harus terus di edukasi. Jangan sampai ada kekeliruan termasuk dalam penggunaan diksi terhadap mereka,” kata Amin.

Perlindungan untuk kelompok disabilitas telah dituangkan dalam pasal di Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012. Aturan ini menegaskan larangan melecehkan (mengolok-olok) kelompok tertentu dalam isi siaran termasuk penyandang disabilitas. 

“Kami terus melakukan pengawalan terhadap konten siaran agar tidak ada siaran yang menyajikan hal yang diluar kondisi. Memang ini bukan pekerjaan yang mudah. Kita harus terus menerus lakukan edukasi terlebih pada konteks penyiaran, Supaya ada kesamaan persepsi akan kesadaran tersebut termasuk aksesibilitas, kesempatan berekspresi di ruang yang sama,” ujar Amin.

Di awal pertemuan, wakil dari koalisi, Ariani Soekarwo, mengeluhkan perihal masih terjadinya pelecehan dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas, baik di lingkungan rumah maupun di lembaga penyiaran. Kata “cacat” misalnya, termasuk salah satu bentuk pelecehan yang dimaksud. 

“Perlu ada strategi nasional untuk meningkatkan kesadaran di masyarakat tentang penghormatan terhadap penyandang disabilitas. Apakah ada peningkatan kesadaran seperti di omni buslaw yang masih ada istilah “cacat”. Kami suka istilah disabilitas. Kami memang tidak sempurna, tetapi kami harus difasilitasi. Ini kewajiban negara memfasilitasinya,” tutur Ariani. 

Ungkapan serupa turut disampaikan perwakilan koalisi lainnya, Mah Mud Fasa. Menurutnya, paradigma negatif terhadap disabilitas harus diubah termasuk di pertelevisian. Saatnya sekarang siaran TV menampilkan sisi positif dari disabilitas. 

“Jangan yang ditayangkan itu kelemahan kami. Jangan kami dijadikan bahan lelucuan yang negatif dan tidak produktif. Tayangkanlah yang dapat mendidik masyarakat dan bisa membangun kalangan disabilitas,” pintanya.

Dalam kesempatan itu, Mah Mud Fasa meminta KPI untuk membantu memberi penyadaran kepada lembaga penyiaran tentang disabilitas. “Kami berharap KPI terus lakukan perlindungan terhadap penyandang disabilitas. Kami harap komitmen ini dapat dilakukan,” tandasnya. ***/Foto: Agung R

 

 

Cirebon - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga negara yang memiliki mandat dari undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, kembali mengingatkan tentang tujuan diselenggarakannya penyiaran, yakni membentuk karakter bangsa. Lembaga Penyiaran, dalam regulasi penyiaran, disebut memiliki kewajiban membentuk karakter bangsa dengan norma-norma yang ada di masyarakat, baik itu norma kesusialaan, norma lokal dan juga norma ke-Indonesiaan. Untuk itulah KPI dan juga KPID melakukan pengawasan konten siaran, agar muatan yang dibawa oleh televisi dan radio mengutamakan pembentukan karakter bangsa. Hal tersebut disampaikan Ubaidillah selaku Ketua KPI Pusat saat menyampaikan sambutan dalam kegiatan Bimbingan Teknis Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) di Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC), 17/10.

Dalam melakukan pengawasan konten siaran, ujar Ubaidillah, KPI melakukan dua metode. Yakni lewat pemantauan langsung selama dua puluh empat jam dan juga melalui partisipasi masyarakat lewat pelaporan atau pun pengaduan. Bagi KPI sendiri, tambahnya, keikutsertaan publik dalam melakukan pengawasan konten siaran adalah sebuah sumber kekuatan yang besar. Artinya, publik juga memiliki kepedulian terhadap muatan yang dibawa televisi dan radio melalui konten siarannya. 

Jawa Barat sendiri, terang Ubaidillah, merupakan provinsi dengan jumlah lembaga penyiaran paling banyak. Jumlah ini berlipat lebih banyak ketika dilakukan migrasi sistem penyiaran dari analog ke digitak. “Tentu saja dengan postur anggaran KPID saat ini, sulit dilakukan pengawasan untuk semua lembaga penyiaran," ujarnya. Pada titik inilah, dibutuhkan partisipasi aktif dari publik untuk ikut mengawasi konten radio dan televisi. Termasuk juga partisipasi dari mahasiswa dan juga masyarakat dari sivitas akademika yang memang dalam kesehariannya berkecimpung dengan nilai ideal. 

Hadir pula dalam Bimtek P3 & SPS ini anggota Komisi I DPR RI Dave Akbarshah Laksono. Pada kesempatan tersebut Dave menyampaikan agenda revisi undang-undang penyiaran yang tengah dilakukan oleh Komisi I DPR RI. Diantara bahasan penting yang menjadi perhatian Komisi I, ujar Dave, adalah pengukuran indeks penyiaran. Selama ini, terangnya, siaran televisi dinilai oleh lembaga pemeringkatan dari luar negeri yang mengambel sample hanya dari 11 kota. “Sample ini kemudian dianggap mewakili seluruh provinsi yang ada di Indonesia, termasuk 416 kabupaten dan 98 kota,” ujarnya. Untuk itu, Komisi I tengah merumuskan pengaturan yang tepat untuk pemeringkatan konten siaran agar memiliki makna yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. 

Selanjutnya, Dave juga mengajak peserta Bimtek P3 & SPS yang didominasi mahasiswa dari UMC, untuk lebih memberikan concern pada aturan dan etika penyiaran. Sedangkan untuk pengaturan konten di media baru dan internet, Dave menyebut bahwa hal itu juga tengah dirumuskan dalam rancangan undang-undang penyiaran yang baru. Secara khusus Dave meminta agar para mahasiswa ikut serta memenuhi konten-konten di akun media sosialnya dengan muatan positif dan bermanfaat.

Bimtek P3 & SPS juga diikuti oleh perwakilan lembaga penyiaran yang ada di Jawa Barat. Anggota KPI Pusat Bidang Pengawasan Isi Siaran Aliyah menyampaikan materi tentang perlindungan kepentingan publik dan penghormatan terhadap hak privat, penghormatan terhadap nilai-nilai kesukuan, keagamaan, serta nilai dan norma kesopanan kesusilaan. Disampaikan juga materi tentang aturan siaran jurnalistik dan pemilu, oleh Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat Tulus Santoso. Sedangkan terkait program siaran lokal dan isu siaran lokal di Jawa Barat, materi disampaikan oleh anggota KPID Jawa Barat Sudama Dipawikarta. 

 

 

Jakarta -- Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Ubaidillah menyatakan bahwa KH Abdul Wahab Chasbullah merupakan ulama yang menjadi motorik berdirinya media-media Nahdlatul Ulama (NU). 

Hal ini ia sampaikan saat membacakan Manaqib KH Abdul Wahab Chasbullah dalam rangka Maulid Nabi Muhammad SAW & Haul Akbar 52 KH. Abdul Wahab Chasbullah Pehlawan Nasional, Inisiator, Pendiri dan Penggerak NU.

“Suatu peristiwa yang hemat saya juga tak kalah pentingnya adalah saat beliau menjadi motorik lahirnya media NU untuk pertama kali dan menjadikan kediamannya sebagai ruang percetakan,” tuturnya saat membacakan Manaqib di Masjid Istiqlal, Minggu (15/10/2023).

Ubaidillah menyebut salah satu media yang dimotori berdiri adalah Swara Nahdlatoel Ulama dan Berita Nahdlatoel Oulama. Kehadiran media di kalangan NU, menurutnya, mendorong Nahdlatul Ulama menjadi organisasi yang adaptif di tengah perkembangan dan diskursus keagamaan dan kebangsaan waktu itu.

“Mendudukkan NU adaptif dalam penyebaran Islam Aswaja An-Nahdliyah, pun pemikiran para kiai dan ulama berlatar pesantren menjadi dikenal banyak khalayak,” lanjutnya.

Adaptasi gerakan ini mendorong transformasi ide dan gagasan para kiai dan ulama kalangan pesantren termasuk NU secara organisasi.

“Hal ini, tentu saja tidak lepas dari prakarsa Kiai Wahab yang menghadirkan media NU untuk mentransformasikan pemikiran kiai dan ulama, termasuk NU secara organisasi itu sendiri,” ungkapnya. 

Gus Ubaid, sapaan akrabnya, berharap agar para penerus meneladani perjuangan dan nilai ulama yang hidup di tiga zaman tersebut untuk terus meneladaninya untuk kebaikan masa depan. 

“Dan harapannya, teladan dan nilai Kiai Abdul Wahab Chasbullah terus tersemat dan menyala dalam tiap diri penerusnya, untuk masa depan yang lebih bermartabat,” imbuhnya. *

 

Jakarta -- Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jambi dalam waktu dekat akan membentuk Tim Seleksi (Timsel) penerimaan Calon Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jambi periode 2024-2027. Kepengurusan KPID Jambi masa bakti 2021-2024 akan segera habis pada Februari tahun depan. 

Rencana itu disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPRD Provinsi Jambi, Faisal Riza, saat kunjungan kerja ke KPI Pusat, Senin (16/10/2023).

“Konsultasi ini dalam rangka untuk pembentukan timsel. Kami juga telah mempelajari peraturan KPI nomor 1 terkait proses seleksi anggota KPID. Namun kami perlu lebih jelas dan detail bagaimana mekanisme proses rekruitmennya,” kata Faisal.

Mewakili KPI Pusat, Anggota KPI Pusat Amin Shabana, menyatakan proses perekrutan Anggota KPID masih mengacu pada PKPI No.1 tahun 2014. Sedangkan untuk timsel semuanya tergantung kebijakan dari DPRD. Namun diharapkan anggota timsel terdiri atas perwakilan dari kalangan akademisi, KPI, pemerintah daerah dan tokoh masyarakat. 

“Tapi yang terpenting dari proses rekrutmen ini adalah bagaimana memilih calon-calon yang sesuai harapan atau key performance indicator antara lain menjamin hak masyarakat mendapatkan informasi. Kemudian, membantu mengawal tumbuh kembang penyiaran karena harus membangun iklim siaran yang sehat. Termasuk melakukan penelitian, menerima aduan dan sanggahan masyarakat,” pinta Amin Shabana.

Kepala Sekretariat KPI Pusat, Umri, mengingatkan beberapa hal terkait syarat umum dan khusus yakni calon Anggota KPID yang berstatus ASN (aparatur sipil negara) atau pejabat pemerintah jika terpilih harus mengajukan surat cuti atau berhenti sementara dari jabatannya/ASN. “Kami konsern soal ini karena ada kejadian sebelumnya. Karena ASN tersebut belum sehingga membuat molor pelantikan KPID yang terpilih,” tegasnya.

DPRD juga diminta agar proses rekruitmen KPID dilakukan secara transparan dengan diumumkan secara terbuka. “Pengumuman pendaftaran diumumkan ke publik. Calon yang sudah lengkap diumumkan di media atau website DPRD, agar jangan ketika tidak dijalankan menjadi salah satu protes dari peserta,” ujar Umri seraya mengusulkan agar pendaftaran calon KPID ditambah jika belum memenuhi kuota 21 orang. 

Di sela pertemuan itu, Amin Shabana menyampaikan apresiasinya untuk Komisi I DPRD Jambi yang telah menyokong tugas dan kinerja KPID. Terkait hal itu, dirinya berharap, DPRD dapat memberikan dukungan tambahan kepada KPID. 

“Harapannya KPID dapat melakukan pengembangan SDM yang profesional di bidang penyiaran. Saat ini, kami ada 33 KPID baru di level provinsi. Permasalahannya, kondisi industri penyiaran di setiap daerah berbeda. KPID masih menggunakan dana hibah, jadi masih bergantung komunikasi antara KPID, DPRD dan pemerintah daerah," tuturnya. ***/Foto: Agung R

 

 

Pangkalpinang – Pengaturan media baru dengan mencantolkannya dalam Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran dinilai sangat memungkinkan. Namun demikian, aspek-aspek yang juga krusial seperti penguatan siaran lokal jangan sampai ditinggalkan. Hal ini untuk memastikan tujuan dari demokratisasi penyiaran seperti keragaman konten. Keragaman kepemilikan dan pengembangan potensi daerah (alam dan manusia) berjalan baik. 

Dalam Diskusi Publik RUU Penyiaran yang berlangsung di Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), Selasa (12/10/2023), Ketua KPID Babel Muhammad Adha Al Khodri, mengingatkan hal tersebut. Menurutnya, penguatan konten lokal dalam revisi UU Penyiaran lebih difokuskan ke pelaksanaannya. “Ini menjadi sesuatu hal yang penting dalam revisi undang-undang penyiaran,” katanya di depan peserta diskusi.

Muhammad Adha beralasan, implementasi siaran lokal 10% yang mestinya dijalankan oleh induk jaringan tidak berjalan maksimal. Dia mencontohkan untuk jam tayangnya, rata-rata konten lokal disiarkan di waktu tidak produktif. 

“Itu kita baru bicara jam tayang saja. Permasalahan ini tidak hanya terjadi di Babel, tapi juga hampir di seluruh Indonesia. Tidak ada perubahan. Konten lokalnya disiarkan di jam-jam orang sedang tidur. Ini menjadi fokus kami untuk mendorong konten lokal dapat lebih konsisten dilaksanakan oleh lembaga penyiaran,” katanya. 

KPID menilai pengaturan konten lokal secara tegas ini akan berdampak positif pada pengembangan daerah. Potensi di daerah akan lebih dikenal, baik dari sektor alam maupun manusianya. “Ini sebuah spirit untuk mengangkat keunikan sumber daya di daerah untuk tujuan peningkatan ekonomi. Ini kunci penting bagi kita semua. Dan di era digital ini, jika fokus melaksanakan 10%, hal ini akan ikut membuka lapangan kerja di daerah,” jelas Muhammad Adha.

Kendati demikian, Adha juga mengingatkan relevensi dari angka 10% siaran konten lokal yang harus dijalankan dengan situasi saat ini. Ini untuk meminimalisir adanya lembaga penyiaran yang hanya main asal comot program untuk memenuhi kuota tersebut. “Harapannya jangan angka ini dimain-mainkan,” tegasnya. 

Sementara itu, Anggota KPI Pusat Tulus Santoso menyampaikan, kehadiran konten lokal merupakan salah satu bentuk dari perwujudan demokratisasi penyiaran. Ada porsi yang adil untuk masyarakat di daerah melalui keragaman konten tersebut. “Memang soal konten lokal ini sudah diatur. Tapi dalam praktiknya masih sulit diimplementasikan secara benar,” katanya.

Aspek bisnis menjadi kendala lembaga penyiaran untuk menerapkan keragaman konten. Hal ini juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh rating share (pemeringkatan program). “Saat satu TV menayangkan sinetron kemudian sinetron itu ratingnya bagus, maka semua TV akan berlomba-lomba memproduksi tayangan yang sama,” ungkap Tulus.

Karenanya, dia sependapat jika pengaturan konten lokal dan keragaman konten diatur secara tegas dalam RUU Penyiaran. Upaya ini akan ikut mendorong selera dan kecerdasan publik serta menciptakan tayangan yang mendidik. “Semangat revisi undang-undang penyiaran harus mampu mewujudkan demokratisasi frekuensi,” ujar Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat ini.    

Harus segera “digolkan”

Dekan Fakultas Hukum Universitas Pertiba Pangkalpinang, Safri Hariansyah mengatakan, kebutuhan UU Penyiaran yang baru sudah sangat mendesak. Ini untuk menjawab situasi terkini dari berkembangnya teknologi. 

“Hukum harus mengadopsi hal-hal yang terjadi di masyarakat. Jadi hukum itu harus adaptif. Undang-undang ini semestinya menjadi high priorty untuk perubahan. Jadi harus segera digolkan,” katanya. 

Safri menambahkan, saat ini konsumsi masyakat terhadap informasi dan hiburan tidak lagi bergantung dari media seperti TV dan radio. Mereka banyak yang beralih ke media baru. “Sayangnya, konten negatif di media ini tidak terawasi. Siapa yang berwenang mengawasinya,” ujarnya.  

Di akhir paparannya, Safri berharap perubahan dalam RUU Penyiaran dapat semua aspek seperti kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum. “Karena negara ini negara hukum dan biar tidak bingung. Jika hal ini tidak dapat menjangkau aspek kepastian akan sulit. Karenanya, revisi undang-undang ini harus benar-benar dipikirkan dan diukur secara tepat. Karena secara teori jika telah diundangkan maka akan berlaku secara universial,” tandasnya. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.