Jakarta - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma`ruf Amin mengatakan pihaknya akan melakukan pemantauan terhadap stasiun televisi dan radio selama bulan suci Ramadhan.

"MUI akan melakukan pemantauan terhadap tayangan televisi dan radio. Kemudian akan diberi nilai," ujar Ma`ruf dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, 8 Juli 2013.

Pemantauan tersebut, lanjut dia, sebagai salah satu bentuk tanggung jawab ulama dalam mengawal dan menjaga akhlak bangsa.

Dia menyampaikan bahwa MUI memberikan apresiasi kepada stasiun televisi dan radio yang telah mengisi siaran Ramadhan yang sesuai dengan nilai akhlakul kharimah atau akhlak yang baik sehingga tercipta situasi Ramadahn yang khusyuk dan khidmat.

"MUI tetap mengharapkan agar media massa tidak menyiarkan tayangan yang bermuatan ramalan, kekerasan, lawakan berlebihan, serta cara berpakaian yang tidak sesuai dengan akhlakul kharimah," kata Ma`ruf Amin menegaskan.

MUI juga menyerukan kepada masyarakat untuk meningkatkan ibadah dan amal saleh.

"Untuk seluruh organisasi atau lembaga Islam khususnya lembaga pendidikan untuk mengisi Ramadhan agar lebih bermakna dengan melakukan pengayaan nilai dan program keutamaan seperti tadarus Al Quran, pesantren kilat, kursus keagamaan dan lainnya," kata Ma`ruf Amin ditulis antara.

Jakarta - Direktur Eksekutif Lentera Anak Indonesia, Hery Chariansyah, mengatakan mayoritas anak menjadi perokok lantaran terpengaruh iklan di televisi.

"Iklan rokok begitu massif melakukan promosi di media penyiaran yang bertujuan menjerat anak menjadi perokok pemula," kata Hery dalam diskusi di kantor Yayasan Kanker Indonesia, Kamis, 4 Juli 2013.

Menurut Hery promosi rokok di media penyiaran seperti televisi dan radio sering mengasosiasikan rokok dengan citra keren, gaul, percaya diri, setia kawan dan macho. Hal ini dinilainya merupakan rangkaian diseminasi pesan sistematis dan taktik pemasaran yang menyesatkan.

Tak adanya larangan iklan rokok di media penyiaran, menurut Hery, membuat anak dan remaja secara terus menerus mendengar kampanye-kampanye dari industri rokok. Penyampaian pesan yang berulang-ulang membuat individu anak dan remaja mengingat isi pesan dalam iklan.

"Anak dikondisikan untuk menganggap rokok sebagai hal biasa yang mampu merepresentasikan dirinya sesuai dengan citra dalam iklan yang diinginkan."

Berdasarkan data Lentera anak, 70 persen lebih perokok mulai merokok pada usia 19 tahun. Ada kecenderungan jumlah perokok anak meningkat dua kali lipta dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun.

Akhir 2012 lalu, Komisi Nasional Perlindungan Anak telah melakukan penelitian dampak iklan rokok di televisi terhadap minat anak untuk merokok. Dari 10 ribu anak usia Sekolah Menengah Pertama di 10 kota ditemukan bahwa 93 persen anak mengetahui dan tertarik iklan rokok di media televisi. Sebanyak 34 persen dari 10 ribu anak mengaku merokok karena tertarik saat acara musik.

Tingginya pengaruh media televisi dan radio terhadap minat anak merokok ini, menurut Hery, harus segera dihentikan. "Membiarkan iklan rokok patut disebut tindakan menjual generasi muda pada industri rokok."

Padahal menurut Hery, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 sudah mengamanahkan negara untuk melindungi anak termasuk dari bahaya rokok. Alasannya sesuai Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan rokok dengan tegas disebut sebagai zat berbahaya karena bersifat adiktif.

Lentera kata Hery mendesak pemerintah untuk mengeluarkan aturan yang melarang iklan rokok di media penyiaran. Momen ini bisa diambil dari revisi Undang-Undang Nomor 32 tentang Penyiaran yang tengah dibahas di Komisi Penyiaran Dewan Perwakilan Rakyat. Hery menyatakan Lentera kecewa lantaran larangan iklan rokok ini belum masuk dalam draft revisi yang tengah dibahas. Red dari Tempo

 

Jakarta - Konglomerasi media penyiaran adalah sebuah pelanggaran atas undang-undang dasar 1945 pasal 33 yang menyebutkan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Karenanya, frekuensi sebagai kekayaan alam yang ada di wilayah udara Indonesia, tidak boleh dimonopoli oleh siapapun. Hal tersebut disampaikan Iswandi Syahputra, saat ditanya oleh anggota Komisi I DPR RI tentang konglomerasi media, pada hari kedua uji kepatutan dan kelayakan calon anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat periode 2013-2016 di Komisi I DPR-RI (3/7).

 

Pada hari kedua ini, sebanyak 17 orang calon anggota KPI Pusat menyampaikan visi dan misi mereka di hadapan anggota Komisi I DPR RI. Ke-17 orang tersebut dibagi dalam tiga sesi yang dimulai pada pukul 10.00. Sesi pertama di hari kedua ini, diikuti oleh Fakhri Wardani, Freddy Melmambessy, Idy Muzayyad, Irvan Senjaya dan Iswandi Syahputra. Sesi kedua diikuti oleh: Iwan Kesumajaya, Judhariksawan,  Komang Suarsana, Nina Muthmainah, Muhammad Zein Al Faqih, dan Muhibbudin. Sedangkan untuk sesi ketiga diikuti oleh Mutiara Dara Utama Mauboi, Ririt Yuniar, Rommy Fibri, Rusdin Tompo, Syamsul Rani dan Sujarwanto Rahmat Arifin.

 

Pada hari kedua, anggota Komisi I DPR banyak menyoroti tentang pelaksanaan digitalisasi penyiaran. Hal ini dijawab oleh Judhariksawan bahwa pelaksanaan digitalisasi penyiaran adalah sebuah keniscayaan yang akan dijalani oleh masyarakat.  Namun demikian pelaksanaannya harus menunggu undang-undang penyiara yang baru. Mengingat dalam undang-undang saat ini tidak dikenal Lembaga Penyiaran Penyelenggaran Program Siaran (LP3S) dan Lembaga Penyiaran Penyelenggaran Penyiaran Multiplexing (LP3M).

 

Bahkan, dalam pandangan Judha, pelaksanaan digitalisasi penyiaran saat ini berpotensi menumbuhkan pemusatan kepemilikan.  Dalam catatan Judha, syarat yang diajukan pemerintah dalam tender penyiaran digital adalah harus memiliki Izin Penyiaran Prinsip (IPP). Menurutnya, hal ini justru membatasi masyarakat untuk ikut serta dalam keberagaman kepemilikan. Apalagi kenyataan saat ini, dalam beberapa zona yang sudah dilaksanakan tender digitalisasi, sebagian besar dikuasai oleh lembaga penyiaran yang telah exist.

 

Evita Nursanti, anggota Komisi I DPR-RI dari Fraksi PDI Perjuangan mempertanyakan tentang kewenangan yang seharusnya diberikan kepada KPI. Menurut pendapat yang masuk padanya, seharusnya, perizinan penyiaran tetap di tangan negara, dalam hal ini pemerintah. Mengingat anggota komisi bersifat sementara, sedangkan pengelolaan negara permanen.  Jawaban dari beberapa calon anggota KPI Pusat masih sepakat bahwa KPI tetap harus diberikan kewenangan dalam hal perizinan. Sementara ada pula yang mengusulkan pembagian kewenangan berupa izin siaran di tangan KPI, sementara izin alokasi frekuensi di tangan negara.

 

Hal lain yang mengemuka pada hari kedua ini adalah mekanisme penjatuhan sanksi yang diusulkan secara berjenjang. Sanksi pada lembaga penyiaran hanya dikeluarkan oleh KPI Daerah, sedangkan KPI Pusat hanya memberikan sanksi bila ada banding dari lembaga penyiaran. Hal ini dianggap memberikan ruang mendapatkan keadilan bagi lembaga penyiaran untuk menyampaikan keberatannya atas sanksi yang dijatuhkan.

 

Secara umum, komisi I DPR-RI menekankan kembali soal pemanfaatan media penyiaran oleh pemilik. Hal tersebut disampaikan Max Sopacua dari Fraksi Partai Demokrat sambil menunjukkan artikel di surat kabar yang menyebutkan, “Televisi Ditunggangi”, dengan gambar tiga pemilik media penyiaran. Sekali lagi, KPI diminta bersikap tegas atas pemanfaatan media penyiaran ini. Bahkan Helmy Fauzi, dari Fraksi PDI-Perjuangan meminta KPI memilki perangkat untuk melakukan content analysis atas program-program jurnalistik, untuk dapat diketahui keberimbangan dan kenetralan programnya.

 

Sebelum keputusan untuk menentukan sembilan nama anggota KPI Pusat periode 2013-2016, Komisi I DPR-RI meminta komitmen dari anggota yang akan terpilih untuk tidak melakukan rangkap jabatan, bahkan diminta berhenti dari kewajiban mengajar sebagai dosen. Evita mengatakan, tugas sebagai komisioner KPI dalam mengurus dunia penyiaran sangat berat, tidak mungkin dilakukan optimal jika membagi perhatian dengan tanggung jawab yang lain.

 

Ketua Komisi I DPR-RI, Mahfudz Siddiq, sebelum menutup sesi penyampaian visi misi, meminta anggota Komisi I mempertimbangkan komposisi anggota KPI periode 2013-2016. Mahfudz mengingatkan kesepakatan Komisi I untuk memasukkan unsur petaha minimal tiga orang demi menjaga  kesimbungan kerja KPI serta keberimbangan gender.

 

 

 

Jakarta - Sejumlah pihak amat berharap akan keberadaan payung hukum yang melarang iklan rokok. Harapan ini sempat membuncah tatkala muncul butir larangan iklan rokok dalam draf revisi UU Penyiaran yang tengah digodok DPR. Namun belakangan diketahui larangan tersebut urung dicantumkan.

Jika disetujui, draf ini akan menggantikan UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran karena mengikuti perkembangan hukum dan norma terbaru. Sebenarnya, pelarangan iklan rokok secara menyeluruh sudah dimuat dalam draft awal revisi UU yang disiapkan oleh Komisi I DPR.

Namun menurut Direktur Eksekutif Lentera Anak, Hery Chariansyah, ketika draft RUU ini masuk dalam pembahasan di Badan Legislatif (Baleg) DPR sekitar bulan Oktober 2012, terjadi perubahan norma. "Yang awalnya melarang (iklan rokok) menjadi pembatasan. Sehingga tidak berbeda dengan norma pada UU Penyiaran yang lama," kata Hery dalam acara Media Briefing Menyoal Isu Iklan Rokok dalam RUU Penyiaran yang diselenggarakan di Yayasan Kanker Indonesia, Jl Dr. Sam Ratulangi No.35, Jakarta Pusat, Kamis, 4 Juli 2013.

Hal tersebut disampaikan Hery berdasar salinan draf revisi UU Penyiaran yang diperolehnya.

Menanggapi hal itu, Kartono Muhammad, ketua Tobacco Control Support Center - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) menyebut Baleg tidak konsisten. "Apalagi Undang-undang Kesehatan menyatakan bahwa rokok itu adiktif," kata Kartono.

Pemerintah sebelumnya telah melakukan pembatasan iklan rokok, yaitu hanya membolehkan penayangannya di media penyiaran mulai pukul 21.30 sampai 05.00. Tujuannya untuk memberi perlindungan kepada anak-anak, dengan asumsi anak-anak sudah tertidur pada jam-jam tersebut.

Sayangnya, pembatasan jam penayangan tersebut dirasa tidak efektif. Global Youth Tobacco Survey tahun 2006 menunjukkan bahwa 83 persen anak dan remaja melihat iklan rokok di televisi. Demikian juga hasil penelitian Komnas Perlindungan Anak pada tahun 2007 yang menemukan bahwa 99,7 persen anak-anak melihat iklan rokok di televisi.

"Kalau alasannya karena belum ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa rokok boleh diiklankan, itu kan sebelum ada UU Kesehatan. Sekarang sudah ada keputusan MK bahwa rokok adalah zat adiktif, jadi harusnya diikuti," tegas Kartono.

Sebelumnya, uji materi mengenai pasal 113 dan 116 Undang-undang Kesehatan mengenai tembakau sebagai zat adiktif telah ditolak oleh MK. Dengan demikian, tembakau tetap digolongkan sebagai zat adiktif. Kartono lantas menyoroti bahwa berbagai zat adiktif lain di Indonesia sudah dilarang iklannya, kecuali rokok.

"Mengapa industri miras dan susu formula dilarang beriklan, tetapi rokok tidak? Padahal susu formula saja bukan zat adiktif. Mengapa Badan Legislatif mengurusi iklan rokok? Mengapa rokok diistimewakan dalam hal ini?" ucap Kartono mempertanyakan. Red dari detikhealth

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus bisa tegas pada lembaga-lembaga penyiaran yang melanggar regulasi dengan memberikan sanksi berefek jera. Posisi KPI ini seharusnya bisa seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang powerfull  dan berwibawa. Sebagai sebuah lembaga ad hoc, KPK yang diberikan kewenangan melakukan pencegahan, justru mampu lakukan penindakan yang tegas. Harusnya KPI dapat bersikap sama, sekalipun berakibatkan sepinya pemberitaan di media televisi. Hal tersebut disampaikan Chandra Tirta, anggota Komisi I DPR-RI, dalam acara Uji Kepatutan dan Kelayakan calon anggota KPI Pusat periode 2013-2016 di DPR, hari pertama (2/7).

Dalam kesempatan hari pertama itu, sebanyak sepuluh orang calon anggota KPI Pusat menyampaikan visi dan misinya yang dibagi dalam dua sesi. Mereka adalah, Agatha Lily, Anom Surya Putra, Amiruddin, Azimah Subagijo dan Bekti Nugroho pada sesi pertama. Selanjutnya, Dadang Rahmat Hidayat, Danang Sangga Buwana, Effy Zalfiana Rusfian, Ezki Tri Rezeki, Fajar Arifianto di sesi kedua.

Secara umum pada hari pertama, anggota Komisi I meminta komitmen anggota KPI terpilih nanti, untuk tegas atas segala bentuk pelanggaran aturan. Baik itu berupa pelanggaran atas isi siaran, perpindahan kepemilikan ataupun pemanfaatan penyiaran untuk kepentingan politik pemiliknya.   Selain itu, Tantowi Yahya dari Fraksi Golkar menyampaikan realitas dari lembaga negara bernama KPI ini. Di mata Tantowi, KPI adalah lembaga dengan otoritas yang minim, namun yang diatur oleh KPI adalah institusi yang sangat powerfull baik secara finansial, kekuasaan ataupun politik. Kenyataan inilah yang menjadikan anggota KPI terpilih nanti harus berjuang mengangkat marwah lembaga ini, dan untuk itu dibutuhkan komisioner yang berintegritas tinggi.

Diamputasinya otoritas KPI juga menjadi bahasan yang ditanyakan oleh anggota Komisi I DPR. Secara umum, calon anggota KPI meminta kewenangan pemberian izin siaran pada lembaga penyiaran diberikan pada KPI. Sedangkan penyediaan frekuensi tetap menjadi kewenangan negara. Pengembalian kewenangan KPI ini menjadi penting, agar wibawa KPI di hadapan lembaga penyiaran tetap terjaga.

Ketua Komisi I DPR-RI, Mahafudz Siddiq memberikan pertanyaan singkat tentang wajah penyiaran di Indonesia saat ini. Menurut calon anggota KPI, wajah penyiaran saat ini masih mengkhawatirkan, karena eksploitasi seksual, kekerasan, intimidasi dan hiburan yang tidak sehat masih mendominasi. Hal ini berdampak pada buruknya wajah Indonesia di mata negara-negara lain di dunia.

 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.