Jakarta - KPI Pusat menggelar Bimbingan Teknis Sekolah P3SPS angkatan XXV yang terakhir di tahun 2017. Antusiasme praktisi penyiaran dan masyarakat untuk mengikuti kegiatan ini sangat tinggi sehingga melebihi kuota yang tersedia. Dengan ini panitia mengumumkan peserta Sekolah P3SPS angkatan XXV yang dilaksanakan pada Selasa-Kamis, 5 - 7 Desember 2017. Sekolah P3SPS berikutnya akan diumumkan di website KPI Pusat.

Kepada peserta yang lolos, diharapkan kedatangannya di Ruang Rapat KPI Pusat Gedung BAPETEN lantai 6 Jalan Gajah Mada No. 8 Harmoni Jakarta Pusat pada pukul 08.30 dan membawa foto ukuran 3x4, dua lembar (satu lembar ditempel di sertifikat, 1 lembar untuk arsip). Adapun peserta Sekolah P3SPS angkatan XXV adalah sebagai berikut:

1.    Taufik Angkasa (tv One)
2.    Ardiansyah (tv One)
3.    Cahyono Senoaji (Metro TV)
4.    Suparjana (Metro TV)
5.    Asep Bidin Rosidin (Radio ELSHINTA)
6.    Stella Budiarto (Univ Mercu Buana)
7.    Sri Devi (Univ Mercu Buana)
8.    Vincent Jeremia (Politeknik Negeri Media Kreatif)
9.    Achmad Buhaiki (GTV)
10.    Harry Yudhon (GTV)
11.    Albertus Sapto Pamungkas (Trans TV)
12.    Putu agus Chandra (Trans TV)
13.    Ricki Rahim (Radio JAK FM)
14.    Muhammad Firdaus Hidayatullah (Mostradio Jakarta)
15.    Tyas Adiningrum (PASFM)
16.    Budhi Widi Astuti (Radio ELISA SALATIGA)
17.    Dedi Sutisna (MNC TV)
18.    Bagus Andriansari (Indosiar)
19.    Muslikhin (Indosiar)
20.    Ronaa Permata (Univ Muhammadiyah Yogyakarta)
21.    Amanda Jesicha Nadia Putri (MNC TV)
22.    Depi Agung Setiawan (Masyarakat)
23.    Viora Tiffanisa Effendi (NET.)
24.    Antonius Andrue Trihapsoro (RTV)
25.    Arief Setyawan (Jawa Pos TV)
26.    Ari Koswara (Kompas TV)
27.    Irwansyah (Kompas TV)
28.    Syamsudin Noor (Masyarakat)
29.    Ady Permadi Hartawan (iNews TV)
30.    Achmad Akbar (iNews TV)

 

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) memutuskan menjatuhkan sanksi teguran tertulis kepada program “Pagi-Pagi Pasti Happy” di Trans TV. Berdasarkan pemantauan dan analisis KPI Pusat, program yang tayang pada 21 November 2017 mulai pukul 09.26 WIB kedapatan melanggar aturan P3 dan SPS KPI tahun 2012. Demikian ditegaskan KPI Pusat dalam surat teguran ke Trans TV, Kamis (23/11/2017).

Menurut keterangan Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, seperti di surat teguran, program siaran “Pagi-Pagi Pasti Happy” menayangkan perbincangan detail dengan Sarita terkait dengan konflik rumah tangga yang dialaminya disertai dengan beberapa foto untuk dikonfirmasi.

Selain itu, kata Andre, terdapat pula perbincangan dengan dua orang anak Sarita (SF dan SK) pasca konflik SF dengan Jennifer Dunn (wanita yang diduga terlibat dalam konflik rumah tangga dengan ayah SF). Beberapa kali para host mendorong SF untuk bercerita tentang kenangan bersama ayahnya sebelum konflik terjadi dan mengungkapkan perasaannya, namun beberapa kali pula SF tidak mampu menjawab sehingga ia menangis.

KPI Pusat menilai muatan privasi dan wawancara terhadap anak di bawah umur dalam kaitannya dengan isu privasi tersebut tidak dapat ditampilkan. Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas ketentuan tentang anak-anak dan remaja sebagai narasumber, penghormatan terhadap hak privasi, dan perlindungan anak.

KPI Pusat memutuskan bahwa tayangan tersebut telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 13, Pasal 14 Ayat (2) dan Pasal 29 serta Standar Program Siaran Pasal 13 Ayat (1) dan Pasal 15 Ayat (1).

Diakhir penjelasannya, Ketua KPI Pusat meminta Trans TV agar menjadikan P3 dan SPS KPI Tahun 2012 sebagai acuan utama dalam penayangan sebuah program siaran. ***

Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio, saat di Majalah Gatra.

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terus mendorong pemerintah dan swasta melakukan pembangunan infrastruktur dan pengembangan penyiaran di wilayah perbatasan. Upaya ini untuk mengantisipasi pengaruh buruk dari massifnya siaran negeri tetangga yang bisa mengakibatkan tergerusnya rasa nasionalisme dan ideologi kebangsaan masyarakat setempat.

Saat ini baru empat daerah di wilayah perbatasan telah mendapatkan jaringan siaran televisi lokal maupun nasional. Ke empat daerah tersebut yakni Sungai Pakning (Riau) , Balai Karangan (Kalimantan Barat), Nunukan (Kalimantan Utara) ketiga daerah yang disebutkan berbatasan dengan Malaysia, dan Atambua di NTT (berbatasan dengan Timor Leste).

“Siaran di perbatasan menjadi prioritas. Jangan lagi kita kehilangan wilayah-wilayah perbatasan masuk ke negara lain karena terpengaruh siaran dari negara tersebut. Selama ini, mereka banyak nonton siaran dari negara tetangga karena tidak sama sekali siaran nasional yang masuk di sana,” kata Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio, saat berkunjung ke Redaksi Majalah Gatra, Selasa (28/11/2017).

Hadirnya siaran nasional di wilayah perbatasan tidak hanya menjadi pemain bertahan dari siaran negeri tetangga tetapi juga bisa sebagai penyapu masuknya paham-paham radikalisme. Kekhawatiran itu sangat beralasan karena daerah-daerah tersebut tidak menjadi perhatian sehingga menjadi sasaran empuk mereka. “Selain itu, adanya siaran nasional maupun lokal bisa menjadi media pembanding,” jelas Agung.

Menurut Agung, ada banyak daerah di wilayah perbatasan belum terjaring siaran nasional maupun lokal. Padahal, fokus pembangunan pemerintah saat ini dimulai dari wilayah tersebut atau yang lebih dikenal dengan 3T (terdepan, tertinggal dan terpencil).

“Tahun 2018 KPI dan Pemerintah menargetkan bisa membanjiri lebih dari 30 daerah di wilayah perbatasan dengan siaran nasional,” paparnya di depan jajaran Redaksi Majalah Gatra. ***

Literasi Media di Kampus La Tansa Mashiro, Rangkasbitung bersama Komisioner KPI Pusat Dewi Setyarini, (23/11)

Rangkasbitung - Keberadaan televisi di tengah masyarakat hingga saat ini masih sangat signifikan. Hasil survey Nielsen Cross-Platform 2017 menunjukkan, meski keberadaan internet sebagai media yang dikonsumsi masyarakat semakin tinggi, namun belum menggeser keberadaan televisi yang masih memiliki pengaruh hingga 96%. Mengingat pengaruhnya yang sangat besar inilah, tentulah konten yang ada di dalam televisi harus dipastikan sesuai dengan arah dan tujuan terselenggaranya penyiaran. Dewi Setyarini, anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bidang pengawasan isi siaran menyampaikan hal tersebut dalam acara Literasi Media di kampus La Tansa Mashiro, Rangkasbitung, Banten, (23/11). 

Kepada peserta literasi media yang merupakan mahasiswa di kampus La Tansa Mashiro tersebut, Dewi menyampaikan pula urgensi hadirnya KPI di tengah masyarakat. Salah satunya untuk memastikan program siaran yang hadir pada televisi dan radio memiliki fungsi informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Namun demikian Dewi menjelaskan bahwa pada keenam fungsi penyiaran tersebut, memiliki syarat-syarat yang khusus. “Fungsi informasi haruslah yang layak dan benar, fungsi hiburan pun harus menjadi hiburan yang sehat”, ujar Dewi.

Secara khusus Dewi juga menjelaskan tentang pentingnya perlindungan anak dalam media penyiaran. “Jumlah anak Indonesia mencapai 87 juta jiwa atau setara dengan sepertiga penduduk Indonesia”, ujar Dewi. Karenanya sangat wajar jika tayangan televisi pun harus menjamin hak-hak anak untuk mendapatkan informasi yang sehat guna tumbuh kembangnya. “Apalagi anak-anak cenderung menirukan apa saja yang dilihat dan didengar dari lingkungan”, tambahnya. Sehingga, televisi yang memiliki pengaruh demikian besar dalam hidup masyarakat, tentulah harus memuat konten yang aman bagi anak-anak. 

Dewi menjelaskan tren muatan siaran saat ini yang banyak mengambil produk-produk luar negeri. “Berapa banyak sinetron asing yang ikut membuat populer artis-artis asing di Indonesia, sedangkan yang sebaliknya tidak terjadi? Masyarakat Indonesia kenal dengan artis-artis impor, mulai dari Tao Ming She, Shaheer Seikh, dan bintang Korea. Tapi berapa banyak artis sinetron kita yang dikenal di luar negeri?”tanya Dewi. Masuknya program-program asing melalui televisi juga berpengaruh pada gaya hidup yang berimbas pada motif ekonomi masyarakat. Padahal, Indonesia punya kekayaan budaya yang seharusnya dapat dieksplorasi sedemikian melalui program-program siaran. Mestinya, kekayaan suku dengan masing-masing budaya dan bahasa tersebut justru bisa menjadi modal besar industri media untuk menjual konten lokal ke internasional.

Dewi berharap, dalam mengonsumsi media, masyarakat dapat memilah dan memilih muatan yang sesuai dengan kebutuhan dan memang memberikan manfaat. “Pada hakikatnya, frekuensi yang digunakan untuk siaran adalah ranah publik yang seharusnya dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan publik,” ujarnya. Untuk itu, sekalipun penyiaran merupakan kegiatan bisnis, tetap saja harus muncul keseimbangan orientasi antara sosial dan profit, tutur Dewi menutup pembicaraan.

Komisioner KPI Pusat saat mengunjungi Kantor Majalah Gatra, Selasa (28/11/2017).

 

Jakarta – Desakan agar rancangan Revisi Undang Undang Penyiaran (RUU) disahkan terus digaungkan. Tak hanya kelompok masyarakat, akademisi maupun industri, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pun ikut mendorong agar UU Penyiaran baru  segera ditetapkan. Hal ini demi kepastian hukum di bidang penyiaran dan khususnya keberlangsungan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID). 

Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio mengatakan, penetapan UU Penyiaran baru akan menyelesaikan sejumlah masalah termasuk persoalan anggaran dan posisi KPID. Menurutnya, posisi KPID saat ini tidak sesuai harapan karena terbentur aturan baru dalam UU No.23 tahun 2014 dan Permendagri No.23 tahun 2016.

Di beberapa daerah, keberadaan KPID dianggap kurang menguntungkan karena tidak memberikan pemasukan terhadap pendapatan daerah. Padahal, posisi KPID sangat strategis terutama dalam menjaga moral bangsa, pengawasan konten lokal dan perizinan penyiaran.

“Faktor ini menyebabkan sejumlah pemerintah daerah kurang serius mengurus KPID. Padahal pajak yang dikenal menurut Kemenkominfo yakni ISR serta IPP dan itupun masuk ke kas Negara,” kata Agung pada saat diskusi dengan jajaran Redaksi Majalah Gatra di Kantor Majalah Gatra, di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (28/11/2017).

Komisioner KPI Pusat, Ubaidillah.

 

Komisioner KPI Pusat, Ubaidillah menambahkan, kondisi KPID sekarang sangat bergantung dari dana hibah pemerintah daerah setempat. Ironisnya, penggunaan dana hibah menimbulkan kekhawatiran di berbagai daerah karena takut mendapat masalah. “Sebelum UU No.23 yang menilai urusan penyiaran bukan urusan daerah ditetapkan, KPID masih banyak yang sehat. Sekarang sejak penggunaan dana hibah jadi banyak yang sakit,” jelasnya.

Selain itu, penggunaan dana hibah menimbulkan multitafsir yakni soal jangka waktu penggunaannya. “Ada yang bilang hanya satu tahun, tapi ada yang bilang dua tahun. Ini membingungkan dan berimplikasi terhadap kinerja KPID dalam melayani masyarakat. Proses perizinan beralih KPI Pusat dan kegiatan kami sangat dibatasi anggaran,” ujar Ubaidillah.

Belum lagi proses pemantauan lembaga penyiaran daerah atau TV lokal yang terhenti karena tidak adanya biaya. “Padahal, bukti tayang dari pemantauan sangat penting sebagai barang bukti jika terjadi pelanggaran, apalagi tahun depan akan berlangsungnya Pemilukada, peran KPID sebagai pengawas isi siaran sangat dibutuhkan,” kata Ubaidillah di depan Pemimpin Redaksi Majalah Gatra, Carry Nadeak.

Pertemuan KPI dan jajaran Redaksi Gatra yang berlangsung hangat dari pagi hingga tengah hari itu juga membahas peluang dan perkembangan media mainstream di tengah perubahan teknologi media saat ini. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.