Jakarta - Memasuki pertengahan bulan Ramadhan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) masih mendapati adanya tayangan program Ramadhan di televisi yang bermuatan kekerasan secara verbal, pelecehan, pelanggaran atas perlindungan anak dan remaja, serta pelanggaran atas norma kesopanan. Hal itu dapat dilihat dari teguran yang dikeluarkan oleh KPI Pusat kepada Sahur Itu Indah (Trans TV), Alhamdulillah Kita Sahur (Trans 7), dan Ngabuburit (Trans TV), pada 30 Juni 2015 lalu. Sedangkan surat peringatan juga dilayangkan KPI pada program Assalamualaikum D’ Terong (Indosiar) dan Pesbukers (ANTV) karena adanya kekerasan verbal.
Agatha Lily melihat, ke-lima program yang ditegur KPI tersebut didominasi dengan candaan yang bersifat menghina dan mencela orang lain. Komisioner KPI Pusat yang juga Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran ini menyayangkan muatan-muatan seperti ini masih saja tampil di bulan Ramadhan. “Kami khawatir, muatan yang penuh dengan kekerasan verbal ini dapat mengurangi kekhusyukan bulan Ramadhan,” ujar Lily.
Terkait perlindungan anak dan remaja, pelanggaran tersebut berupa adegan menyiram kepala dengan air, memasukkan tisu ke mulut orang yang sedang bicara, serta menjepit mulut dan telinga dengan penjepit jemuran. Adegan-adegan seperti ini, ungkap Lily, berpotensi untuk ditiru oleh anak-anak dan remaja. Padahal, hal tersebut menunjukkan minimnya sikap hormat terhadap orang lain, tambahnya.
Lebih jauh, Lily mengingatkan pada lembaga penyiaran untuk lebih ketat lagi menjaga kualitas siarannya dalam bulan Ramadhan ini. Pada bulan Ramadhan ini KPI telah melakukan pemantauan secara khusus, bekerja sama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI)untuk menilai sejauh mana kepatuhan lembaga penyiaran terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standa Program Siaran (P3 & SPS).
KPI berharap, penghormatan lembaga penyiaran pada kesucian bulan Ramadhan ini dapat ditunjukkan dengan meminimalkan program-program siaran yang berpotensi menodai kekhusyuan masyarakat menjalankan ibadah Ramadhan.
Program Ramadhan tahun ini secara keseluruhan jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. KPI mengapresiasi televisi yang telah berupaya keras untuk menyuguhkan program Ramadhan yang inspiratif, menghibur dan sesuai dengan nafas Ramadhan.
Jakarta - Jelang pelaksanaan Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang akan berlangsung 9 Desember 2015, KPI menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) “Pengaturan dan Pengawasan Penyiaran Pilkada Serentak”. Diskusi fokus terarah itu membahas seputar aturan pengawasan kampanye yang ditayangkan atau disiarkan oleh Lembaga Penyiaran sesuai dengan Undang-undang Penyiaran, bahasan peraturan siaran kampanye yang termuat dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2015 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati Dan/Atau Walikota dan Wakil Walikota, dan pencarian formula pengawasan dengan lembaga terkait.
Peserta diskusi dihadiri oleh tiga komisioner KPI Pusat Bidang Isi Siaran, yakni Idy Muzayyad, Agatha Lily, dan Sujarwanto Rahmat Arifin. Hadir juga dalam pertemuan itu Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah, Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Daniel Zuchron, dan perwakilan dari berbagai lembaga terkait seperti Perludem, Lembaga Penyiaran, Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI). Diskusi berlangsung di Ruang Rapat KPI Pusat, Senin 30 Juni 2015.
Komisioner Isi Siaran KPI Pusat Sujarwanto Rahmat Arifin mengatakan pengawasan siaran dalam Pilkada serentak nanti harus benar-benar menjadi perhatian bersama. Menurutnya, dari pengalaman Pemilu 2014 kondisi masyarakat atas dampak siaran politik dan kampanye mengalami dinamika yang luar biasa. Dari segi regulasi pembiayaan iklan, Peraturan KPU (PKPU) Tahun 2015 menanggung pembiayaan iklan bakal calon di Lembaga Penyiaran melalui KPU Provinsi masing-masing.
"Dalam Pilkada tahun ini dari sisi iklan kampanye misalnya merupakan hal yang baru yakni jika sebelumnya iklan ditanggung parpol kini iklan kampanye ditanggung provinsi KPU. Siapa media yang akan ditunjuk KPU untuk melakukan itu? Di luar jatah KPU, masih boleh tidak kontestan memasang di media lain? Terus apakah di luar masa kampanye layak tidak dipersoalkan?" kata Rahmat.
Hal senada juga dikemukakan Agatha Lily, sepanjang pelaksanaan Pemilu 2014 KPI memiliki catatan dan pertanyaan tentang iklan di luar masa kampanye. "Waktu Pileg dan Pilpres 2014 cukup merepotkan, KPI menemukan sejumlah fenomena bahwa frekuensi yang tidak sepenuhnya digunakan untuk kepentingan publik. Padahal frekuensi digunakan untuk kepentingan publik, misalnya dalam Pasal 11 SPS KPI. Semoga pertemuan ini akan memperjelas berbagai persoalan tersebut," ujar Lily.
Sedangkan Idy menilai pertemuan itu sebagai acara lanjutan pihak-pihak terkait penyiaran dan pelaksana pemilu dalam mencari rumusan formula untuk dilanjutkan menjadi kesepakatan bersama. Menurutnya, lembaga atau perwakilan yang datang dalam FGD pasti memiliki pandangan yang berbeda akan Pilkada serentak.
"Usai pertemuan ini pasti akan ada pertemuan lain untuk mengayakan pandangan. Pilkada serentak akan dilaksanakan di 269 kabupaten kota, bagaimana pengaturannya? KPI menyoroti aspek penyiarannya, pengawasan pelaksanaan pilkada oleh Bawaslu, dan regulasi Pilkada dalam PKPU 2015," kata Idy.
Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah menjelaskan Pilkada serentak 2015 adalah sejarah dan pertama kali dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Menurut Ferry terkait penyiaran, pemberitaan, dan iklan Pilkada 2015 dijadwalkan sejak 27 Agustus 2015 sampai 5 Desember 2015. Dengan rentang waktu yang panjang itu, diharapkan bisa memberikan pendidikan politik pada masyarakat.
Menurut Ferry hal yang perlu dibahami oleh peserta Pilkada dan masyarakat, bahwa siaran iklan kampanye semua pasangan calon dilakukan oleh KPU melalui KPU Provinsi dan dilaksanakan pasangan calon. Ada sejumlah mekanisme iklan kampanye yang akan berlaku dalam Pilkada serempak.
Untuk mekanisme iklan memiliki beberapa ketentuan yang diatur dalam PKPU Nomor 7 Tahun 2015 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati Dan/Atau Walikota dan Wakil Walikota., menurut Ferry, di antaranya: Materi iklan dibuat dan dibiayai sendiri oleh pasangan calon; Penayangan iklan difasilitasi oleh KPU selama 14 hari sebelum masa tenang; Setiap pasangan calon mendapat jatah penayangan iklan kampanye paling banyak kumulatif 10 spot, berdurasi paling lama 30 detik untuk setiap stasiun televisi setiap hari; Setiap pasangan calon mendapat jatah penayangan iklan kampanye di radio untuk paling banyak 10 spot, berdurasi paling lama 60 detik, untuk setiap stasiun radio setiap hari; KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan media massa cetak dan elektronik dan/atau lembaga penyiaran untuk menetapkan jadwal tayang iklan kampanye setiap paslon; KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota menetapkan jumlah penayangan dan ukuran atau durasi iklan kampanye setiap pasangan calon.
Sedangkan unsur pemberitaan dan penyiaran kampanye, menurut Ferry, setidaknya memiliki empat unsur: Aktivitasnya adalah penyampaian berita atau informasi; Salurannya adalah media massa cetak, elektronik dan lembaga penyiaran; Informasinya berbentuk tulisan, gambar, video dan bentuk lain; Informasinya berisi pasangan calon dan/atau kegiatan kampanye.
Menurut Komisioner Bawaslu Daniel Zuchron, pelaksanaan pengawasan Pilkada serentak itu memiliki perbedaan dengan pengawasan Pemilu 2014 lalu. Menurutnya karena pelaksanaannya di daerah. "Kita harus ketemu lagi untuk membicarakan hal ini karena konteksnya lokal dan otoritasnya di daerah, kewenangan pejabat lokal, dan hal-hal lain," ujar Daniel.
Usai pemaparan pandangan semua pihak, Idy berharap setelah pertemuan FGD itu akan ada tindak lanjut pertemuan pihak-pihak terkait untuk pembahasan lebih lanjut. "Semoga setelah pertemuan ini akan ada pertemuan Gugus Tugas Pengawasan Pemilu lalu bisa dilanjutkan," kata Idy yang diiyakan sejumlah pihak dalam pertemuan itu.
Tanggung jawab sosial industri media, khususnya televisi, perlu terus diingatkan. Selain lewat peringatan lisan, tertulis, apabila perlu sanksi hukum.
Selain itu lewat penyadaran tentang kewajiban etis (deontologi) media.
Kita diyakinkan hasil survei Komisi Penyiaran Indonesia belum lama ini. Dari 45 program acara dalam 15 stasiun televisi di Indonesia selama Maret-April 2015, diperoleh nilai indeks kualitas secara keseluruhan 3,25, di bawah angka standar baik 4,0. Televisi cenderung mempertontonkan tayangan sensasional dan kualitas rendah.
Hasil itu membenarkan keluhan banyak orang tentang minimnya perhatian industri televisi sebagai pendidik. Industri media sebagai usaha ekonomi didahulukan. Sisi idealisme, di antaranya memberikan informasi yang benar dalam isi benar dan cara, dikesampingkan. Hasil survei KPI perlu dilanjutkan, pelatuk menggulirkan gerakan menjauhkan televisi jadi alat pembodohan dan perusak moral. Dalam media televisi, tingginya rating ukuran keberhasilan, sementara dalam media cetak besarnya oplah dan iklan. Rating, oplah, dan iklan memang merupakan faktor kepercayaan publik. Yang terjadi, kepercayaan diperoleh dengan cara tidak etis, pembodohan, sensasional, dan irasional. Kewajiban etis media dilanggar demi kepercayaan pasar dan kepentingan ekonomi.
Televisi memiliki ”kemewahan” lebih dibandingkan dengan media cetak dan digital. Budaya menonton kebiasaan masyarakat memberikan kesempatan besar media televisi berbuat semaunya. Menonton televisi dan mendengarkan radio tidak menuntut persyaratan sesulit membaca. Prinsip komunikasi yang searah dalam televisi, cenderung jadi sepihak sehingga tidak merangsang sikap kritis.
Dengan ”kemewahan” itu, beban kesalahan yang ditanggungnya secara etis lebih besar dibandingkan dengan media cetak dan digital. Upaya kuratif perlu lebih digiatkan. Eksistensi KPI perlu lebih diberi gigi. Tak hanya peringatan, tetapi juga kewenangan membawanya ke ranah hukum, termasuk menutup program siaran. Penguatan posisi KPI jadi keniscayaan. Kenikmatan membawa tanggung jawab.
Untuk mengingatkan deontologi industri televisi yang memasuki ruang-ruang privat dalam proses pembusukan dan pembodohan publik, perlu lebih digencarkan di tengah masyarakat semakin lebih terbuka dan permisif. Kita atur kembali agar industri media, dalam hal ini televisi, kembali ke peranan idealnya sebagai pendidik masyarakat.
Rating yang jadi ukuran keberhasilan perlu dilandasi proses dan cara yang tidak merusak. Survei KPI kita jadikan pelatuk gerakan bersama, termasuk lewat penguatan kedudukan KPI yang jauh dari motivasi kecurangan dan pengawasan apalagi kepentingan sempit.
Survei itu jangan kita sia-siakan sebagai sekadar data, tetapi data yang bicara mengingatkan perlunya penyadaran bersama tentang fungsi edukatif dan kewajiban etis industri televisi.
Cipayung – Andy Flores Noya akrab disapa Andy presenter acara penuh inspiratif “Kick Andy” berbagi pengalaman dengan kru monitoring isi siaran KPI Pusat dalam kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) Monitoring Isi Siaran tahun 2015 di Cipayung, Bogor, Jumat lalu, 26 Juni 2015.
Mengenakan pakaian casual dengan ciri khas kepala plontosnya, Andy bercerita dengan santai bagaimana perjalanan program acara “Kick Andy” dimulai hingga mencapai sukses di mata pemirsa tanpa harus mengikuti arah rating yang berimpact terhadap penyeragaman program. Selain bercerita tentang perjalanan karir Jurnalistiknya, Andy juga menyoroti bagaimana etika jurnalistik atau pemberitaan berubah dari waktu ke waktu karena tuntutan persaingan.
Saat menjadi Pemred di salah satu stasiun televisi berita, Andy pernah begitu marah kepada redaksinya karena menayangkan demo anak-anak sekolah dasar yang melemparkan bangku-bangku sekolah. “Saya juga marah ketika ada tayangan tentang seorang ibu yang di garuk dalam razia PSK ketika sedang menunggu angkot untuk pulang ke rumah padahal ibu tersebut bukanlah PSK. Ini jadi perdebatan kita. Kenapa hal ini bisa masuk,” katanya menggusarkan dampak pemberitaan tersebut terhadap anak-anak dan ibu tersebut.
Menurut Andy, persaingan antar media khususnya televisi tanpa disadari atau tidak mengabaikan etika yang pernah diajarkan pada saat dirinya sekolah Jurnalistik. Pelanggaran etika sudah menjadi hal biasa dan massif pada saat ini. “Nilai-nilai yang kami perjuangkan dulu sudah bergeser karena tuntutan rating,” keluh pria yang semasa duduk di bangku kuliah lebih mengutamakan membeli buku ketimbang jajanan.
Idealisme Andy terus terpelihara meskipun dirinya tidak lagi menjabat pemimpin redaksi. Salah satu buktinya dengan membuat seciamik mungkin program acara “Kick Andy” yang pernah menyabet penghargaan Anugerah KPI untuk program talkshow terbaik.
Andy membuka rahasia sukses program “Kick Andy”-nya kepada peserta Bimtek berjumlah enam puluh orang tersebut. Menurutnya, sebuah program acara harus memberi impact positif bagi pemirsanya. Karenanya Dia begitu menekankan pentingnya pembahasan di awal produksi untuk meraba bagaimana dampak dari tayangan tersebut, apakah positif atau sebaliknya.
Andy sangat jeli memilih ide-ide yang akan dimunculkan dalam “Kick Andy” dan bahkan tidak segan membuangnya jika ide tersebut tidak sesuai dengan konsep acaranya yang mengutamakan mutu dan etika meskipun harus mengorbankan tawaran yang mengiurkan. “Sebuah program acara itu harus memiliki nilai manfaat bagi masyarakat. Dan, kami selalu melakukan pembicaraan mengenai hal ini sebelum memproduksi program Kick Andy berikutnya,” katanya yang angguki penuh khidmat moderator acara Raden Guntur Kertapati.
Di tengah kondisi bangsa saat ini, keberadan program acara yang bermutu dan inspiratif sangatlah perlu. Andy mengusulkan adanya gerakan untuk mendorong orang melahirkan program-program yang laik dan prositif. “Nilai-nilai itu sangat penting untuk bangsa kita dan ini harus ada dalam setiap program,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Andy berpesan kepada para pemantau agar dapat melihat persfektif program-program mana yang memiliki nilai-nilai tersebut. “Semua orang sudah menganggap KPI sebagai lembaga yang kredibel. Jadi, jika KPI sudah menilai sebuah program apakah program itu jelek atau baik, mereka akan percaya. Espektasi masyarakat terhadap KPI semakin tinggi,” tambah Andy.
Menurutnya, setiap manusia itu harus memiliki arti dan manfaat bagi setiap orang. “Dan itu bisa dilakukan melalui propesi masing-masing,” papar Andy disambut riuh tepuk tangan peserta Bimtek Pemantauan Isi Siaran siang itu. ***
Jakarta – Penerapan sistem stasiun jaringan (SSJ) oleh lembaga penyiaran swasta belum terimplementasi sepenuhnya. Jam tayang program lokal yang belum sesuai, komposisi waktu siaran lokal yang kurang dari 10%, tidak terakomodasinya SDM lokal hingga isi konten yang tidak sesuai adalah masalah-masalah yang muncul dalam penerapan sistem ini.
Danang Sangga Buana, Komisioner KPI Pusat di dalam presentasinya menilai, penerapan SSJ belum terimplementasi secara keseluruhan, karena minimnya komitmen LPS atas siaran program lokal. Posisi rating share sebagai ‘dewa’, menyebabkan siaran lokal yang rendah rating dianggap tidak begitu penting bagi LPS. Bahkan, lanjut Danang, belum adanya implementasi SSJ pada waktu yang serentak (seragam), membuat LPS satu dengan LPS lain masih saling iri.
Seharusnya, kata Komisioner bidang Pengelolaan Infrastruktur dan Sistem Penyiaran ini, waktu siaran program lokal harus seragam dan waktu siaran program lokal itu pada saat pagi dan sore, bukan tengah malam. Lembaga penyiaran mestinya menyiarkan program lokal yang dekat dengan masyarakat atau sesuai dengan kebutuhan mereka. “Dan, upaya ini harus juga selaras dengan komitmen untuk memberdayakan potensi dan sumber daya lokal,” katanya pada saat diskusi bertajuk Bimtek tentang SSJ di kantor KPI Pusat, Kamis, 25 Juni 2015.
Sementara itu, Koordinator bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran yang juga Komisioner KPI Pusat, Azimah Subagijo, memunculkan sejumlah usulan terkait penerapan 10% konten lokal dalam sistem tersebut. Menurutnya, untuk melengkapi evaluasi pemenuhan 10% konten lokal pada Televisi SSJ dengan parameter aspek program yang berkoordinasi dengan Kemenkominfo yakni sistem relay maksimal hanya 90% dari total durasi perhari.
Azimah pun sepakat dengan Danang jika program lokal yang minimal 10% dari total durasi per hari disiarkan pada waktu produktif penonton. Selain itu, program lokal harus sesuai P3SPS dan dekat atau relevan bagi masyarakat.
Adapun Amirudin yang juga Komisioner KPI Pusat bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran, mengetengahkan bagaimana fungsi “cermin budaya lokal” 10%. Menurutnya, lembaga penyiaran jangan terjebak pada pemahaman penayangan “budaya lokal” semata-mata pada budaya material (tarian, debus, wayang, arsitektur), tetapi juga budaya non-material (gagasan, ide, pengetahuan lokal, metode, dll).
Menurut Amir, sapaan akrabnya, pemahaman tersebut terakomodasi oleh tenaga lokal. “Itulah gunanya SDM lokal yang bukan saja paham teknis atau keterampilan penyiaran tetapi juga sebagai pemegang otoritas kebudayaan, dan memiliki kemampuan imajinasi yang cukup,” katanya yang juga dituliskan dalam presentasinya.
Selain itu, lanjut Amir, sistem ini wajib dilakukan dan untuk melaksanakannya dapat memanfaatkan dana CSR perusahaannya sendiri untuk produksi tayangan budaya lokal, atau kerjasama dengan pemerintah daerah dan funding, CSR perusahaan laiannya di daerah.
Penerapan SSJ adalah amanat yang dituangkan dalam UU Penyiaran tahun 2002. Sistem jaringan ini mengandung semangat terhadap aspek keberagaman kepemilikan (diversity of ownership), keberagaman isi siaran (diversity of content), dan kearifan lokal. ***
Illan ini kurang pantas dilihat. Menampilkan busana yang ketat dan tidak sopan, sangat tidak baik dilihat anak-anak.
Pojok Apresiasi
Dwi E N
Tayangan ini menampilkan pernikahan anak usdia dini (dan juga secara paksa). Hal tersebut melanggar UU yang telah menetapkan batas minimal usia pernikahan 19 tahun (UU No. 16 Tahun 2019). Kemudiam cerita poligami tokoh pria (39) tahun dan tokoh anak jelas melanggar UU Perlindungan Anak terkait denfan isu pedofilia (UU No. 23 Tahun 2002). Oleh karena itu program/tayangan ini tidak layak ditayangkan di saluran TV Nasional.