- Detail
- Dilihat: 9969
Jakarta - Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) atau biasa disebut televisi berlangganan dinilai masih banyak masalah yang perlu diselesaikan. Terkait hal ini, anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Danang Sangga Buwana mengakui adanya problematika yang melingkupi televisi berbayar ini.
“Kami menilai bahwa LPB kini masih mengidap banyak masalah yang harus diselesaikan, baik di tingkat internal yang menyangkut infrastruktur dan perizinan, isi siaran maupun pada aspek persaingan usahanya. Karena itulah KPI Pusat kini mengadakan Diskusi Publik bertema Quo Vadis LPB di Indonesia, yang tujuannya adalah mengurai masalah yang mengitari televisi berbayar ini dan sekaligus mencari solusi alternatif mengatasinya,” kata Danang yang juga menjadi penanggungjawab Diskusi Publik LPB.
Diskusi publik yang digelar di Mercure Convention Center Hotel, Taman Impian Jaya Ancol (17/9) ini, menghadirkan narasumber dari beragam elemen diantaranya, Agnes Widiyanti (Direktur Penyiaran kemenkominfo), Agung Sahidi (Operation Direktor Telkomvision), Muharzi Hazril (Head of Regulatory Affair and Corporate Support Sky Vision), dan Azimah Subagijo (Komisioner KPI Pusat). Diskusi juga diawali dengan Keynote Speaker oleh Mahfudz Siddiq Ketua Komisi I DPR RI.
Danang menggarisbawahi dua permasalahan yang diidap oleh televisi berbayar. Pertama, problematika di domain infrastruktur. Banyaknya televisi berlangganan ilegal yang kini beredar di Indonesia menjadi kendala serius LPB yang harus dijawab. Menggarisbawahi data dari Asosiasi Penyelenggara Multimedia Indonesia (APMI), terdapat lebih dari 2.000 TV berlangganan di Indonesia ilegal. Pada saat bersamaan, problem LPB pada aspek infrastruktur dan perizinan terjadi karena hal ini berkaitan dengan problematika sistem penyiaran satelit yang kini masih dalam dilema hukum.
“Masalah kedua ada pada aspek isi siaran. Secara yuridis, ketentuan isi siaran bagi televisi berlangganan ditegaskan pada UU No. 32/2002 Pasal 26 ayat 2 poin a menyebutkan bahwa dalam menyelenggarakan siarannya, Lembaga Penyiaran Berlangganan harus: melakukan sensor internal terhadap isi siaran yang akan disiarkan dan/atau disalurkan. Namun secara faktual, sensor internal disinyalir belum memenuhi standar, mengingat beragam program siarannya sarat dengan nuansa kekerasan dan seksualitas,” tegas Danang.
Fakta ini, menurut Danang, menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi KPI. Karena KPI sendiri belum memuat mekanisme teguran terhadap LPB. Padahal sebagaimana pedoman pada isi siaran, LPB juga berkewajiban mematuhi standar dan prosedur isi siaran yang ada pada Pedoman Perilaku penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) Pasal 18 dan Pasal 23.
“Karena itu, Diskusi Publik ini nantinya diharapkan menjadi pintu masuk untuk pembenahan televise berlangganan, karena acara ini akan kami follow up dengan FGD untuk merumuskan konsep pengaturan televise berbayar ini oleh KPI Pusat,” pungkas Danang. ***