Jakarta – Umpatan dan celaan yang merendahkan martabat orang lain dari segi fisik, status atau profesi tidak boleh lagi ada di layar kaca meskipun hal itu untuk program candaan atau komedi. Kreatifitas dan kreasi dari artis atau komedian harus lebih cerdas dan berkualitas agar dampak candaan yang buruk tidak menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat.
“Rasanya tidak pas jika bahan lawakan mengedepankan hal-hal yang sensitif seperti merendahkan orang lain, baik itu secara fisik, profesi maupun status. Cobalah bahan-bahan lawakan atau cadaan yang mucul itu lebih bernas atau cerdas,” kata Komisioner bidang Isi Siaran, S. Rahmat Arifin saat membuka dialog dengan perwakilan ANTV guna membahas dua program acaranya yakni Pesbukers dan Baal Veer, Rabu, 26 Agustus 2015 di kantor KPI Pusat, Jakarta.
Menurut Rahmat, membuat orang tertawa itu sulit karena butuh ide yang tidak mudah. Tapi, alangkah bijaknya jika ide lawakan yang dimunculkan tidak melulu hal yang sifatnya merendahkan martabat orang lain atau ngerjain.
Selain lawakan, Rahmat juga meminta supaya tayangan yang segmennya untuk anak-anak dan remaja tidak menonjolkan hal yang sifatnya ngebully. Tontonan seperti ini tidak baik efeknya bagi anak-anak karena mereka mudah untuk meniru.
KPI sangat peduli terhadap perlindungan anak dan remaja yang direfresentasikan di dalam P3 dan SPS. “Saya minta tolong agar intensitas dan kualitas dijaga betul. Konflik yang wajar saja. Kita pikirkan dampaknya pada anak-anak dan remaja,” kata Rahmat yang diikuti anggukan setuju Komisioner KPI Pusat bidang Isi Siaran, Agatha Lily.
Sementara itu, pihak ANTV yang hadir dalam dialog tersebut diberi kesempatan menyampaikan penjelasan terkait beberapa adegan dalam program tersebut yang dinilai melanggar. Sebelumnya, di muka dialog, KPI Pusat menyuguhkan klip tayangan yang melanggar dari kedua program tersebut. ***
Bukan rahasia jika banyak pihak geram dengan perilaku televisi yang menjadikan rating sebagai acuan utama memproduksi program. Kekerasan, seks, dan mistik kerap hadir di layar dengan alasan rating tinggi.
Mengejutkan, ketika Presiden Joko Widodo merasa perlu menyinggung peran media yang selama ini mengejar rating dalam pidato menyambut HUT Ke-70 RI di hadapan SU MPR 14/8/2015. Di mana tanggung jawab televisi?
Presiden Jokowi menyinggung media dan rating dalam pidato kenegaraannya beberapa waktu lalu, ”Ketika media hanya mengejar rating dibanding memandu publik untuk meneguhkan nilai keutamaan dan budaya kerja produktif, masyarakat mudah terjebak histeria publik. Terutama isu-isu yang berdimensi sensasional.”
Pernyataan Presiden ini dipandang keras, bahkan ia mengulangnya sampai dua kali. Bicara mengenai media yang mengejar rating, tentu sasarannya adalah media penyiaran. Media massa selain televisi menggunakan metode lain untuk mengukur daya serap produknya seperti surat kabar atau majalah menggunakan banyaknya eksemplar (oplag) yang laku di pasar.
Sementara media penyiaran (televisi/radio) menggunakan teknik rating untuk mengukur jumlah pemirsa yang menyaksikan suatu program pada waktu tertentu. Tapi, salahkah jika televisi menggunakan rating?
Rating: Antara Kuantitas dan Kualitas
Alat ukur kepemirsaan televisi dengan sistem rating sering menjadi pertanyaan publik. Mengapa tetap dipakai oleh televisi sebagai acuan, padahal program dengan rating tinggi isinya kerap bermasalah. Televisi menggunakan sistem rating karena metode ini yang dipercaya pemasang iklan untuk melihat berapa banyak penonton yang menyaksikan suatu program yang tayang.
Hal ini penting, mengingat televisi terutama yang swasta, merupakan industri padat modal dan mengandalkan pemasukan dari pengiklan untuk membiayai operasionalnya. Yang jadi masalah adalah lembaga konsultan pengukur rating yang digunakan televisi cenderung monopolistik. Alasannya, lembaga inilah satu-satunya yang dipercaya pemasang iklan sebagai alat ukur.
Banyak pihak sering menyangsikan metodologi dan pengambilan sampel dari pengukuran rating ini. Contoh sederhananya adalah pemakaian 2000 pemirsa televisi dari 10-12 kota besar di Indonesia yang menjadi sampel. Penduduk Indonesia lebih dari 250 juta jiwa, dan terdapat lebih dari 500 kabupaten/kota dari Sabang sampai Merauke.
Tentu penduduk dari kota-kota selain sampel tadi tidak akan pernah benar-benar terwakili aspirasinya. Perlu diingat juga bahwa rating ini hanyalah alat untuk mengukur jumlah (kuantitas) pemirsa televisi. Hanya mengukur berapa banyak penonton yang menyaksikan suatu program televisi di suatu waktu tertentu. Rating sama sekali tidak mengukur kualitas tayangan sehingga tidak dapat otomatis dikatakan bahwa pemirsa yang banyak atau rating yang tinggi menunjukkan bahwa program acaranya berkualitas.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tak jarang justru memberi sanksi mulai dari teguran hingga penghentian pada program yang memiliki rating yang tinggi. Semisal program YKS (Yuk Keep Smile), Smackdown (tarung bebas), dan Sexophone (talkshow).
KPI mendasarkan pengawasannya kepada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) sebagai upaya menjaga agar seluruh WNI dapat memperoleh informasi yang layak dari media penyiaran sebagai salah satu amanah Undang-Undang Penyiaran 2002/32.
Televisi Multistakeholder
Merujuk Robert Picard dalam Media Economics (1989), media televisi melayani keinginan/ kebutuhan dari empat kelompok. Pertama, pemilik, termasuk di dalamnya terkait tujuan ekonomi yaitu memperoleh pendapatan yang tinggi, pertumbuhan perusahaan, serta peningkatan nilai dan aset perusahaan.
Kedua, audiens atau pemirsa. Secara kolektif, audiens mencari produk dan pelayanan media yang bermutu tinggi dengan biaya rendah dan akses yang mudah. Ketiga, para pengiklan, yang mencari akses untuk menyasar target audiens dengan biaya yang rendah melalui pesan-pesan komersial dan pelayanan bermutu tinggi dari media pengiklan.
Terakhir, para pekerja dari organisasi media, yang tertarik untuk mendapatkan kompensasi berupa gaji yang baik, perlakuan yang adil dan sama, suasana kerja yang aman dan menyenangkan, serta segala penghargaan yang didapatkan dari pekerjaannya.
Maka itu, ketika industri pertelevisian di Indonesia cenderung menjadi sangat pragmatis, lebih mengedepankan untung rugi, mengabaikan nilai dan pendidikan publik, lebih mengutamakan hiburan dan berorientasi kepada pasar tanpa mempertimbangkan baik/ buruk efek yang ditimbulkannya, sesungguhnya televisi sudah mengabaikan paling tidak kepentingan dari kelompok stakeholder-nya yang utama yaitu masyarakat.
Padahal, sudah saatnya media televisi tidak sekadar menjadi unit bisnis dan media hiburan, tetapi juga menjadi institusi yang membawa kemaslahatan untuk masyarakat.
Menggugah Tanggung Jawab Sosial Televisi
Televisi yang mengutamakan rating dalam membuat program siarannya sering tidak peduli apakah program tersebut bermanfaat atau tidak bagi masyarakat. Padahal, dampak yang ditimbulkan program televisi buruk yang tetap terus diputar dengan alasan rating tinggi, akan sangat besar.
Sebagai media audiovisual dan menggunakan ranah publik, televisi masuk hingga ke ruang-ruang keluarga. Pemirsa, khususnya anakanak dan remaja, akan mudah terpengaruh dan meniru muatan yang disiarkan televisi. Beruntung jika muatannya baik. Namun, jika buruk, cenderung sensasional, memuat kekerasan, eksploitasi seks, dan mistik, tentu imbasnya juga negatif.
Masalah berlipat mengingat program televisi yang buruk, namun rating-nya tinggi tidak hanya diputar oleh satu televisi, tapi juga kerap ditiru televisi lain dengan program sejenis. Televisi memiliki suatu potensi strategis dalam membentuk karakter bangsa. Daya jangkau yang sangat luas dengan penetrasi tertinggi (95%) bila dibandingkan media lain membuatnya sangat efektif untuk menyebarkan informasi/ide.
Dengan tolok ukur ini, seyogianya tontonan yang ditayangkan harus mampu memberi nilai tambah bagi masyarakat. Televisi dapat berfungsi sebagai ”jendela” masyarakat untuk mengetahui lingkungan di luar dirinya dan mendasarkan informasi tersebut untuk meningkatkan kemakmuran. Itulah amanat dari Pasal 6 UU Penyiaran yang diharapkan mampu dijalankan televisi.
Selaras dengan ini, sesuai Bhinneka Tunggal Ika, tayangan televisi juga diharapkan membentuk karakter moral masyarakat. Bukan hanya agama, melainkan juga moral dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Misal dengan lebih banyak menyoroti bagaimana hidup secara toleran di dalam perbedaan demi memperkuat jati diri masyarakat sebagai bangsa Indonesia.
Dalam konteks demokrasi, tayangan televisi juga diharapkan mampu mempertajam kepekaan politik masyarakat. Bukan hanya ragam politik praktis, melainkan juga apa yang seharusnya menjadi hak dan tanggung jawab masyarakat sebagai warga negara demi mencerdaskan kehidupan politik masyarakat sehingga tidak ada lagi yang menjadi objek dan bulan-bulanan politik penguasa.
Kemanfaatan
Televisi sebagai media yang menggunakan ruang publik dengan leluasa dan simultan memunculkan konsekuensi bahwa bukan hanya pemilik perusahaannya yang berkepentingan terhadap isi siaran, melainkan juga seluruh masyarakat. Daya jangkau televisi yang dapat ditangkap di berbagai kota sampai pelosok, jika siarannya tanpa tanggung jawab sosial, bakal menjadi sesuatu yang kontraproduktif.
Tanggung jawab sosial media televisi setidaknya harus muncul dalam konteks memberi kemanfaatan bagi masyarakat berupa siaran yang mendidik, social control, dan agen pengubah. Utamanya dengan menyiarkan lebih banyak nilainilai positif yang menginspirasi masyarakat untuk lebih produktif dan berubah ke arah yang lebih baik serta mengembalikan ruang publik yang nyaman untuk semua.
AZIMAH SUBAGIJO Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat
*Terbit di Koran Sindo 25 Agustus 2015
Menumbuhkan (Kembali) Tanggung Jawab Sosial Televisi
Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengapresiasi pidato Presiden Joko Widodo yang menyebut soal rating di lembaga penyiaran dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR. Hal ini sejalan dengan pemikiran KPI bahwa menurunnya nilai-nilai budaya bangsa dalam siaran televisi berkaitan erat dengan penggunaan rating oleh lembaga penyiaran dalam menilai sebuah program siaran.
Ketua KPI Pusat Judhariksawan yang mendampingi Presiden Joko Widodo saat menemui pengelola media massa, (21/8), ikut menyampaikan secara khusus, beberapa hal penting pada Presiden tentang kualitas siaran televisi. Pada pertemuan dengan Presiden sebelum menemui pengelola media massa tersebut, Judha mengatakan bahwa rating telah menjadi momok terhadap kualitas isi siaran. Hal ini dikarenakan banyak program-program bermutu jelek namun memiliki rating tinggi, sehingga stasiun televisi memilih mempertahankannya. Sedangkan bagi program-program yang bermutu baik namun memiliki rating rendah, keberlangsungannya di televisi jadi ikut rendah.
Selanjutnya, tambah Judha, sering terjadi duplikasi program antar televisi pada program dengan rating tinggi, sekalipun kualitasnya jelek. Selain itu, KPI juga memberikan contoh-contoh kepada Presiden, tentang program-program televisi yang sudah mendapat sanksi dari KPI namun pengelola televisi selalu menyatakan bahwa program tersebut memiliki rating yang tinggi. “Ini juga yang menjadi alasan televisi untuk memilih mempertahankan program-program yang berulang kali mendapat sanksi KPI,” ujarnya. Karenanya Judha juga mengusulkan perlunya audit terhadap lembaga rating, agar kualitas siaran dapat lebih baik.
Namun demikian, ujar Judha, KPI menyampaikan apresiasi pada beberapa lembaga penyiaran yang sudah berusaha membuat program yang baik. “Kami sampaikan pada Presiden Joko Widodo, lembaga penyiaran mana saja yang muatan siarannya aman bagi publik,” ujarnya.
Judha juga menyoroti tayangan sinetron yang bermuatan kekerasan serta penggunaan atribut sekolahan untuk sinetron, namun dengan adegan yang tidak pantas. Dalam kesempatan tersebut, Judha juga berharap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan yang ikut mendampingi Presiden, memberikan perhatian khusus terhadap penggunaan atribut sekolah ini. Hal lain yang juga dilaporkan Judha pada kesempatan bersama Presiden, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Sekretaris Kabinet dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu adalah pelaksanaan survey indeks kualitas program siaran. “KPI telah menyampaikan pada Presiden Jokowi bahwa hasil survey yang dilakukan KPI terhadap program siaran televisi di 9 (sembilan) kota di Indonesia, masih belum memuaskan,” tambahnya.
Tak lupa Judha yang juga Doktor Ilmu Hukum ini mengingatkan tanggung jawab sosial lembaga penyiaran kepada masyarakat. Seharusnya, kalau televisi tahu program dengan rating bagus namun isinya banyak muatan negatif, misalnya kekerasan dan hedonisme, dengan teori hiper realitas seharusnya televisi dapat melihat masyarakat menyukai pula hal-hal negatif tersebut. “Kenapa justru televisi tidak membuat program yang meminimalisir nilai buruk dan mengedepankan nilai-nilai yang positif?”ujarnya.
Terakhir, dirinyamengingatkan penyelenggara media tentang tanggung jawab dunia akhirat yang mereka emban. “Dimana tanggung jawab sebagai manusia? Bagaimana peran dan kontribusi dalam membangun peradaban manusia, jika muatan siaran yang dihadirkan masih seperti ini?”pungkas Judha.
Jakarta - Pernyataan bernuansa kritikan dari Presiden Joko Widodo tentang media yang mengutamakan mengejar rating relevan dengan temuan dan tindakan KPI. “Memang ada kecenderungan rating itu menjadi tuhannya media, sehingga penyajian konten seringkali meminggirkan aspek kualitas dan positive impact bagi public,” papar Idy Muzayyad, Wakil Ketua KPI Pusat, Selasa (25/8).
Idy kurang sependapat dengan bantahan yang menyebutkan bahwa kritikan presiden itu akan menjadi preseden ke arah pengekangan kebebasan pers. Karena menurut Idy, arah kritikan presiden sebenarnya lebih banyak kepada program media dan konten nonjurnalistik.
“Kalau soal kebebasan pers, itu kan konteksnya untuk jurnalistik. Tidak compatible kalau untuk konten media nonjurnalistik memakai paradigma kebebasan pers. Jadi jangan dibiaskan hal ini,” papar Idy.
Temuan KPI berdasarkan survey indeks kualitas program siaran yang dilakukan di sembilan kota di Indonesia dengan melibatkan sembilan perguruan tinggi ternama, banyak program siaran khususnya televisi yang masih kurang berkualitas, misalnya sinetron, infotainment, variety show dan program anak. Untuk program berita, memang banyak juga kritikan dari masyarakat karena seringkali masih menyajikan kekerasan dan ada masalah dengan indepensi dan imparsialitas.
“Jadi saya kira, apa yang disampaikan presiden itu perlu menjadi bahan refleksi dan otokritik bagi media untuk meningkatkan kualitas dan pelayanannya bagi public. Dan rating yang bersifat kuantitatif itu jangan menjadi satu-satunya tujuan, karena perlu diimbangi dengan kualitas,” papar Idy.
Idy menduga pernyataan presiden itu juga dilatari pandangan bahwa media belum sepenuhnya sejalan dengan program revolusi mental yang dicanangkan. Sehingga presiden mengajak agar pekerja media melakukan revolusi mental untuk transformasi media sendiri dan sekaligus turut serta mengembangkan revolusi mental di tengah masyarakat melalui sajian konten media yang relevan.(*)
Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melakukan pemantauan siaran lagu kebangsaan dan lagu nasional lainnya di semua stasiun televisi yang bersiaran berjaringan secara nasional. Hasil pemantauan ini menunjukkan adanya stasiun televisi yang tidak menyiarkan setiap hari dan sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) KPI tahun 2012.
Berdasarkan P3 & SPS KPI tahun 2012 telah diatur mengenai ketentuan penayangan lagu kebangsaan dan lagu nasional tersebut. Bagi lembaga penyiaran yang tidak bersiaran selama 24 (dua puluh empat) jam penuh, lagu kebangsaan Indonesia Raya disiarkan pada waktu awal pembukaan siaran setiap harinya dan lagu wajib nasional disiarkan pada waktu akhir siaran setiap harinya. Sedangkan untuk lembaga penyiaran yang bersiaran selama 24 (dua puluh empat) jam penuh, maka lagu kebangsaan Indonesia Raya disiarkan pada pukul 06.00 waktu setempat setiap harinya dan lagu wajib nasional disiarkan pada pukul 24.00 waktu setempat setiap harinya.
KPI telah mengirimkan surat edaran kepada 15 (lima belas) stasiun televisi, yaitu: TVRI, RCTI, MNC TV, Global TV, SCTV, Indosiar, Trans TV, Trans 7, Metro TV, ANTV, TV One, Kompas TV, RTV, NET TV, dan I News TV, agar menjalankan P3 & SPS secara konsisten, salah satunya dengan menyiarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan lagu kebangsaan sesuai ketentuan. Selain itu, KPI mengingatkan bahwa lembaga penyiaran wajib menjalankan fungsinya sebagai perekat sosial serta sarana pemersatu bangsa dan memperkukuh integrasi nasional.
Untuk itu terhitung sejak surat edaran ini dikeluarkan, KPI Pusat akan melakukan pemantauan intensif terhadap seluruh lembaga penyiaran mengenai kepatuhan mereka dalam menyiarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan lagu wajib nasional. Apabila lembaga penyiaran tidak melaksanakan kewajiban tersebut, KPI akan menjatuhkan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
Tayangan ini menampilkan pernikahan anak usia dini secara paksa. Hal ini melanggar UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan: bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila wanita sudah mencapai 19 Tahun. Selain itu, dramatisasi poligami tokoh pria (39 Tahun) dengan tokoh anak perempuan jelas melanggar UU Perlindungan Anak yakni terkait Pedofilia diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2002. Oleh karena itu, program/tontonan ini TIDAK LAYAK DITAYANGKAN DI SALAH SATU SALURAN TV NASIONAL