altJakarta – Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Riau, Zainul Ikhwan, meminta program literasi media dimasukkan secara khusus dalam perubahan UU Penyiaran. Permintaan ini disampaikannya di depan Komisi I DPR RI, Kamis, 15 Maret 2012.

Menurut Ikhwan, masih banyak masyarakat yang belum memanfaatkan media penyiaran dengan baik dan bijaksana. Literasi media dinilainya mampu memberikan pendidikan atau pencerdasan kepada publik dalam memanfaatkan media penyiaran. "Saya harap hal ini perlu diatur khusus dalam perubahan undnag-undang penyiaran ini," katanya. 

Ikhwan juga mendorong agar Komisi I memperkuat peranan dan kewenangan dari KPI. Pasalnya selama ini, keberadaan KPI  sebagai regulator utama dalam industri penyiaran di Indonesia kerap dipandang sebelah mata. Hal tersebut terlihat jelas dengan himbauan atau sanksi yang diabaikan oleh pelaku industri penyiaran khususnya televisi swasta. “Solusinya adalah dengan memperjelas KPI sebagai regulator tunggal dan menjadikan UU Penyiaran jadi acuan,” katanya di depan anggota Komisi I DPR RI.

Dalam kesempatan itu, Ikhwan menyebut UU Penyiaran yang ada sekarang sudah tidak sesuai dengan kondisi yang ada saat ini. Menurutnya, sudah sepantasnya UU Penyiaran dirubah.

"Undang-undang penyiaran yang ada sekarang bukan direvisi lagi, karena perombakannya lebih dari 50 persen, maka undang-undang ini dirubah. Ini dilakukan karena undang-undang penyiaran yang ada sudah tak sesuai lagi dengan kondisi yang ada," kata Zainul Ikhwan.

Ditambahkannya, KPID Riau meminta agar dalam undang-undang penyiaran nanti juga dimasukkan secara khusus tentang literasi media atau cara memanfaatkan media dengan baik.

Alnofrizal, Anggota KPID Riau bidang perizinan, yang turut hadir dalam pertemuan itu, mengharapkan persoalan perizinan juga diatur lebih jelas dalam perubahan ini. Sebab, selama ini proses perizinan lembaga penyiaran memakan waktu yang lama.

"kita berharap dengan perubahan undang-undang penyiaran nanti bisa membawa efisiensi untuk proses perizinan sehingga tak perlu memakan waktu lama dalam proses izin televisi dan radio," katanya.

Pimpinan rapat Komisi I DPR RI, Hayono Isman, berharap masukan dari semua stakeholder penyiaran termasuk KPID Riau dapat memperkaya masukan sehingga perubahan undang-undang penyiaran dapat lebih baik dari sebelumnya.

"semua masukan dari masyarakat akan menjadi bahan masukan bagi kami untuk melakukan perubahan undang-undang penyiaran sehingga menjadi lebih baik," kata Hayono Isman yang dari Fraksi Demokrat ini.

Selain KPID Riau, KPID Kalimantan Selatan dan KPID Papua turut diberikan kesempatan menyampaikan masukan dan pendapatnya mengenai perubahan UU Penyiaran. RG

(Jakarta) - Permintaan penguatan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terus bergulir. Salah satunya disampaikan dalam audiensi  KPI Pusat bersama Ketua KPI Daerah se-Indonesia dengan wakil rakyat di DPR-RI.  Ketua KPI Pusat Mochammad Riyanto menyatakan penting untuk menyampaikan kepada anggota DPR yang saat ini tengah membahas revisi Undang-Undang Penyiaran, tentang posisi KPI ke depan. Hal tersebut disampaikan Dadang saat bertemu dengan Fraksi PKS dan Fraksi Partai Demokrat di DPR RI kemarin, (14/3).

Mengingat proses legislasi saat ini masih berlangsung di DPR, KPI menilai penting bagi DPR mengetahui akibat kewenangan KPI yang  dipangkas. Saat ini, ujar Riyanto, KPI tidak lagi mengatur perizinan lembaga penyiaran. Padahal dalam Undang-Undang Penyiaran sebelum diuji materi ke Mahkamah Konstitusi, KPI memiliki wewenang mengatur perizinan penyiaran  bersama pemerintah. Namun karena uji materi dikabulkan oleh MK, wewenang pengaturan perizinan hanya diserahkan pada pemerintah. Akibatnya kenyataan di lapangan menunjukkan proses perizinan yang diatur pemerintah tidak berjalan baik dan memakan waktu yang lama.

Hal tersebut diamini, oleh Zainul Ikhwan Ketua KPID Riau. Pihak KPID di Riau telah memberikan rekomendasi lembaga penyiaran lokal, namun mekanisme perizinan tersebut harus melewati prosedur yang panjang dan tidak transparan. “Tidak ada kepastian yang bisa didapat untuk mengajukan izin siaran, jika semua di tangan pemerintah”, ujar Zainul.

Dari sisi lain, Komisioner KPI Pusat Dadang Rahmat Hidayat juga mengungkap, berkurangnya kewenangan KPI berdampak pula pada pengawasan isi siaran. Dadang menuturkan, saat ini pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran lokal tidak sebanyak lembaga penyiaran nasional. Penyelesaiannya pun jauh lebih mudah, ujar komisioner bidang isi siaran KPI Pusat ini.  Tapi saat KPI berhadapan dengan industri, sekalipun sudah melayangkan surat teguran ketiga, justru tidak dihiraukan. “Apalagi wewenang KPI pun tidak sampai menghentikan program”, tukasnya. 

Secara tegas Dadang menyatakan pula, KPI tidak minta dijadikan regulator tunggal masalah perizinan, tapi sebagai regulator utama.  Dengan wewenang regulator utama inilah, ujar Dadang, KPI akan punya power lebih besar untuk mengawasi isi siaran.

Permintaan penguatan kewenangan KPI juga disampaikan oleh Fajar Arifianto, Ketua KPID Jawa Timur. Dirinya meminta kepada anggota Komisi 1 DPR RI, agar revisi Undang-Undang Penyiaran yang sedang dibahas menunjukkan keberpihakan pada publik dan masyarakat. “Jangan sampai Undang-Undang tersebut menguntungkan pihak-pihak yang akan melemahkan KPI”, tutur Fajar.  Ia juga mengingatkan bahwa frekuensi adalah ranah publik dengan sumber yang terbatas yang butuh pengaturan ketat. Pengawasan terhadap penggunaan frekuensi inilah yang harus diserahkan kepada KPI. Karenanya, Fajar menegaskan harapannya agar Undang-Undang Penyiaran ini kembali menguatkan posisi KPI sebagai regulator penyiaran di Indonesia. Red/Ira



Jakarta - Tujuh Anggota KPID Bangka Belitung (Babel) yang baru saja dilantik beberapa waktu yang lalu melakukan kunjungan kerja ke KPI Pusat, Rabu, 14 September 2011. Kunjungan kali pertama KPID Babel ini dalam rangka perkenalan sekaligus mendapatkan bimbingan teknis dari KPI Pusat.

Diawal pertemuan itu, Mohammad Ridwan, Ketua KPID Babel, memperkenalkan satu persatu komisioner KPID Babel kepada anggota KPI Pusat, Judhariksawan, yang berkesempatan menerima kunjungan tersebut. Usai perkenal itu, masing-masing dari anggota KPID Babel menyampaikan berbagai pertanyaan dan permintaan masukan mengenai dunia penyiaran.

Sementara itu, Judhariksawan, menjawab dan menjelaskan semua pertanyaan dari masing-masing anggota KPID Babel. Dalam kesempatan itu, Judha juga didampingi Kepala Sekretariat KPI Pusat, Oemar Edi Prabowo. (Red/RG)

(Jakarta) -  Mekanisme pemilihan anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) banyak menjadi pertanyaan dari daerah. Terutama dari anggota DPRD yang dalam amanat Undang-Undang merupakan badan yang berhak memilih anggota KPID. Untuk itu, anggota Komisi 1 DPRD Provinsi Kalimantan Timur melakukan pertemuan konsultatif dengan komisioner KPI Pusat di kantor KPI Pusat, Senin lalu (12/3).

Rombongan dari provinsi yang kaya sumber daya alam ini dipimpin oleh Pendeta Yepta Berto yang juga Wakil Ketua Komisi 1. Azimah Soebagijo, sebagai komisioner bidang kelembagaan memberikan penjelasan mengenai mekanisme yang harus ditempuh oleh DPRD sebelum memilih anggota KPID yang baru. 

Enam bulan sebelum masa bakti KPID habis, maka KPID harus  berkirim surat pemberitahuan pada Gubernur tentang masa jabatan yang akan selesai ini.  Selain itu, KPID juga diminta mengajukan anggota tim seleksi untuk kemudian ditetapkan oleh DPRD. Azimah menekankan, pemilihan anggota seleksi sebaiknya mengikutsertakan kalangan akademisi yang mengerti dunia penyiaran. “DPRD dapat melakukan kerjasama dengan universitas setempat”, usul Azimah.

Setelah tim seleksi terbentuk, maka tim inilah yang membuka pendaftaran dan memberikan kesempatan orang yang memenuhi syarat untuk mendaftar.  Azimah mengusulkan, tim seleksi ini nantinya mempertimbangkan komposisi 7 orang anggota KPID dengan latar belakang, hukum, penyiaran, unsur perempuan dan juga tokoh yang memahami kearifan lokal.

Tentang kearifan lokal ini Azimah bertanya kepada anggota DPRD Kalimantan Timur ini,  kenapa tidak ada yang bersuara ketika disiarkan di televisi bahwa orang utan telah dibantai di Kalimatan? Seharusnya orang Kalimantan yang paling pertama mengajukan protes. Seperti KPID Bali melayangkan protes karena dikatakan dalam sebuah program televisi, kura-kura mengalami npembantaian di Bali untuk keperluan ibadah.

Dalam kesempatan lain, Azimah juga menegaskan bahwa tim seleksi KPID harus bebas dari unsur dunia industri. “Karena tugas KPI adalah mengawasi isi siaran yang menjadi produk industri, jadi sangat aneh kalau tim seleksi KPI dan KPID salah satunya merupakan perwakilan industri penyiaran”, tutup Azimah. Red/Ira

Jakarta - Menteri Agama (Menag), Suryadharma Ali menilai, gambaran dari visi dan misi program literasi media Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memiliki keselarasan dengan sejumlah program di kementeriannya. Dirinya pun sangat mendukung program tersebut dan menginginkan adanya kerjasama berkelanjutan dengan KPI. Hal itu disampaikan beliau ketika menerima kunjungan silahturahmi Ketua dan Anggota KPI Pusat di kantornya, Selasa, 1 Maret 2011.

Sebelumnya, di awal pertemuan, Ketua KPI Pusat, Dadang Rahmat Hidayat, memberikan gambaran mengenai riwayat KPI dan rencana program literasi media lembaganya. Program tersebut dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk menciptakan masyarakat yang cerdas, kritis dan religis. “Kami ingin mengurangi dampak-dampak negatif dari siaran yang tidak sehat. Karenanya kami ingin bersinergi terkait persoalan ini,” ungkapnya.

Salah satu program Kemenag (Kementerian Agama) yang dinilai Dadang memiliki kesamaan dengan program lembaganya yakni Magrib Mengaji. Pasalnya, waktu magrib merupakan jam buat belajar bagi anak-anak sekaligus juga waktu transfer  nilai-nilai keluarga dari orangtua ke anak. “Pada saat itu, sangat baik jika anak-anak atau remaja tidak menonton televisi dan memanfaatkan dengan pekerjaaan lain yang berefek positif.”

Hal tersebut langsung di amini anggota KPI Pusat, Iswandi Syahputra dan Idy Muzayyad. Alternatif ini harus dicoba untuk mengalihkan pandangan anak-anak pada televisi pada jam-jam sakral tersebut, katanya. Waktu tersebut merupakan waktu yang ideal untuk kumpul dengan keluarga. “Jangan anak-anak dibiarkan hanya menonton televisi dan menyiakan-nyiakan waktu transfer nilai dari orangtua ke anak,” tegas Idy.

Gerakan Magrib Mengaji, menurut Menag, merupakan satu upaya dari kementeriannya mengembalikan budaya mengaji yang dulunya begitu kental di masyarakat. Saat ini, budaya mengaji berangsur-angsur sudah mulai menghilang dari masyarakat. “Sekarang sudah berubah, sopan santun anak-anak pada orangtua dan guru mulai berkurang. Moral pun ikutan merosot. Ini akibat masuknya paham-paham yang tidak baik pada anak-anak,” ungkap Suryadharma.

Ketika Dadang menyampaikan adanya Gemes Pedas (Gerakan Media Sehat, Penonton Cerdas), Menag terlihat cukup tertarik. Dia pun menyimpulkan, gerakan media sehat artinya masyarakat menggunakan media yang sehat. Kemudian, media yang sehat itu adalah media yang menggunakan bahasa dan mengadung nilai yang baik. “Saya sangat setuju dengan gerakan ini. ”

Disela-sela pertemuan itu, Menag sempat menyoroti pentingnya koreksi pada konten acara televisi yang berimplikasi tidak baik buat penonton. Dirinya juga merasa sangat terganggu dengan penggunaan bahasa di sejumlah acara televisi yang dinilai tidak bagus dan tidak menunjukan peningkatan dari sisi presisi. Diakhir pertemuan, Menag meminta agar hal-hal yang dibahas tadi segera di formulasikan. Pihaknya pun setuju jika kerjasama kedua belah pihak sampai ke tahap penandatangan MoU. Red/RG

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.