- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 987
(Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid bersama Anggota KPI Pusat Bidang Kelembagaan Amin Shabana)
Jakarta - Industri penyiaran di Indonesia yang tumbuh pesat harus disokong inisiatif memajukan kebudayaan di Indonesia. Paska dilaksanakannya Analog Swtich Off (migrasi dari sistem analog ke digital), telah tercatat tiga ribuan perusahaan media yang mengajukan Izin Prinsip Penyelenggaraan Penyiaran di Kementerian Konunikasi dan Informatika. Dengan potensi besar tersebut, selayaknya keragaman kebudayaan di Indonesia menjadi inspirasi bagi konten-konten siaran baik di televisi atau pun radio. Hal ini disampaikan Amin Shabana selaku anggota Bidang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, saat bertemu dengan Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Hilmar Farid (6/11). Selain mengupdate situasi terkini industri penyiaran, Amin juga mengungkapkan lembaga penyiaran sebagai ruang publik strategi bagi pemajuan kebudayaan Indonesia yang tengah menjadi prioritas program Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Dari Indeks Kualitas Program Siaran Televisi (IKPSTV) yang digelar KPI Pusat sejak sembilan tahun lalu, kualitas program siaran wisata budaya yang hadir di tengah masyarakat stabil di angka yang berkualitas. Namun demikian, kuantitas kehadiran program-program seperti ini masih minim. “Dalam IKPSTV ini, diketahui hanya ada lima stasiun televisi swasta yang memiliki program wisata budaya, dari 18 televisi swasta yang bersiaran secara jaringan,” ujar Amin. Padahal, selayaknya konten budaya dapat mewarnai muatan televisi dan radio, terutama pasca Analago Switch Off (ASO) yang memberi pilihan lebih banyak bagi publik dalam mengonsumsi televisi. “Sehingga keragaman konten siaran juga mewujud dalam ruang siar kita,” tambahnya.
Pada kesempatan tersebut, juga menjelaskan metode yang diambil KPI dalam menyusun IKPSTV. Jika dibandingkan survey kepemirsaan yang ada yang menggunakan metode kuantitatif, IKPSTV menggunakan metode kualitatif yang mengikutsertakan akademisi dari dua belas perguruan tinggi negeri di Indonesia. Selain itu, Amin juga menyampaikan agenda revisi undang-undang penyiaran yang masih dibahas oleh Komisi I DPR RI. Harapannya, revisi ini dapat menjangkau media-media lain di luar platform frekuensi, termasuk dalam rangka menjaga merawat kebudayaan Indonesia.
Perubahan regulasi ini diakui oleh Hilmar sebagai sebuah kemestian. Dalam pandangannya, banyak undang-undang yang sudah out of dated sehingga tidak relevan dengan perkembangan zaman, termasuk undang-undang perfilman yang dibuat pada tahun 2009 dan tengah menanti revisi. Hilmar juga menyinggung kebijakan sensor yang bertujuan melindungi publik dari ekspos konten bermasalah seperti pornografi, kekerasan atau pun intoleransi. “Namun sekarang, semua itu dapat diakses melalui saluran media lain yang belum ada aturannya sama sekali,” ujarnya.
Meskipun demikian, Hilmar menilai sensor tetap penting dalam rangka memberikan penilaian dari institusi yang berwenang. Yang juga lebih penting, ujarnya, memberikan literasi terutama pada orang tua tentang cara menghadapi banjir informasi yang saat ini tiada batasnya. “Pendekatan paling masuk akal untuk membekali orang tua dalam membentengi anak-anak atas serbuan muatan media adalah literasi,” tegas Hilmar.
Literasi dan membuat rating atas program siaran adalah sebuah investasi terbesar yang harus dilakukan KPI dalam mendampingi publik. Dia bahkan mengusulkan adanya sebuah platform untuk publik berkesempatan memberi komentar dan kritik yang efektif bagi setiap konten televisi. Hilmar juga menyinggung tentang daya cerna kebudayaan yang lemah di masyarakat saat atas serbuan konten dari luar negeri seperti Korea yang sedang hits saat ini.
Lebih jauh Hilmar mengungkap tentang strategi pemajuan kebudayaan yang regulasi turunannya sedang disusun. Dia berharap KPI dapat mengambil peran terkait posisi lembaga ini dalam ekosistem kebudayaan. “Sebagai institusi yang sangat terkait dengan pembangunan manusia dan kebudayaan, KPI harus mendapat dukungan sumber daya yang cukup dari negara,” ujarnya.
Terkait daya dukung ini, Amin menilai penting untuk menggagas dana abadi penyiaran sebagaimana dana Indonesiana yang mendukung kemajuan kebudayaan. Menanggapi usulan ini, Hilmar menilai hal tersebut sangat dimungkinkan. Apalagi, tambahnya, pengaruh penyiaran ini sangat besar dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari.
Ke depan, tambahnya, banyak hal yang dapat dikerjasamakan antara KPI dengan direktorat jenderal yang dipimpinnya tersebut. Harapannya kerja sama ini dapat direalisasi dan berkesinambungan sebagai usaha pemajuan kebudayaan melalui ekosistem penyiaran.