Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk lebih memaksimalkan pelaksanaan metode kampanye di ruang penyiaran dan on line (internet) guna meminimalisir pertemuan tatap muka yang berpotensi menjadi klaster penyebaran Covid-19. Permintaan ini memperhatian asumsi opini yang tengah berkembang terkait pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang rencananya tetap berlangsung pada 9 Desember 2020 mendatang.

“Pemanfaatan lembaga penyiaran dan jaringan internet untuk berkampanye di masa pandemi sekarang menjadi salah satu opsi paling aman ketimbang harus mengizinkan kampanye secara tatap muka atau bertemu. Kita harus mengutamakan keselamatan dan kesehatan masyarakat di atas segala-galanya apabila Pilkada harus tetap dilaksanakan akhir tahun nanti,” kata Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza, di Kantor KPI Pusat, Selasa (22/9/2020).

Selain aman, lanjut Reza, kampanye melalui dua jaringan media ini dinilai efektif, efisien serta menghindari kerumunan masal. Namun begitu, ada sejumlah hal yang harus diperhatikan KPU jika kampanye Pilkada sepenuhnya melalui lembaga penyiaran dan internet. 

Menurut Reza, KPU harus memperhatikan keterjangkauan wilayah layanan siaran Free To Air (FTA), Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) dan Lembaga Penyiaran Publik/Lokal (LPPL) di daerah atau saluran siaran  di Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB), di daerah yang melaksanakan Pilkada. Selain itu, KPU mesti melihat peta jangkauan atau ketersediaan jaringan internet di daerah tersebut.

“Untuk Informasi tentang data ini, KPU bisa melakukan koordinasi dengan KPI dan Kementerian Komunikasi dan Informatika,” ungkap Koordinator bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran (PS2P) KPI Pusat ini.

Dalam kesempatan itu, Reza mengungkapkan fakta di beberapa daerah yang ada Lembaga Penyiaran masih terdapat daerah blankspot yang tidak terjangkau oleh siaran dan internet. Kondisi ini, kata dia, membutuhkan strategi lebih lanjut agar informasi pemilihan kepala daerah tersebut dapat sampai ke masyarakat. ***

 

 

Jakarta -- Sebagai satu-satunya televisi khusus anak di Indonesia. RTV telah banyak meraup penghargaan dan apresiasi dari KPI atas sajian program acara anaknya yang baik, edukatif juga berkualitas. Namun begitu, ada sejumlah catatan KPI untuk RTV pada saat proses Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) perpanjangan izin penyelenggaran penyiaran (IPP) yang berlangsung Sabtu (19/9/2020) lalu, yakni soal tingginya ketergantungan pada konten atau program animasi asing dalam siaran. 

Harapan agar RTV bisa menekan ketergantungan tersebut dengan meningkatkan produksi konten lokal atau dalam negeri mengemuka dalam EDP tersebut. Pasalnya, jika merujuk aturan penyiaran (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) KPI tahun 2012, porsi program asing dibatasi 30% dan relay siaran asing 10 %, artinya jika digabung tidak boleh lebih 40% dari total waktu bersiaran sehari. 

Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia, mengingatkan proporsi tayangan asing harus diperhatikan karena ini berkaitan dengan aturan penyiaran. Menurutnya, memang tidak mudah membangun konten anak yang diproduksi dalam negeri, tapi konsekuensi ini harus dijalankan.

“Ini jadi catatan dalam proses perpanjangan izin penyiaran ini. Ke depan porsi animasi anak dalam negeri kami harap bisa meningkat. Saya juga banyak dapat catatan soal konten lokal RTV yang belum berjalan dengan baik. Ini jadi poin dan ini jadi catatan evaluasi tahunan yang belum ada peningkatan yang signifikan. Harusnya dari catatan ini, di tahun berikutnya, masalah ini sudah berkurang. Khususnya dalam sektor koten lokal,” kata Irsal.

Persoalan konten asing di RTV juga disampaikan Ketua KPI Pusat, Agung Suprio dalam EDP tersebut. Menurutnya, porsi konten asing tidak boleh lebih banyak dari konten dalam negeri. Hal ini terjadi karena biaya membuat konten atau animasi anak lokal sangat mahal. 

“Saya mendengar bahwa untuk produksi tayangan animasi lokal membutuhkan biaya yang cukup mahal karenanya mengapa kita lebih memilih untuk membeli tayangan asing karena harganya lebih murah. Tayangan asing lebih murah karena mereka memproduksi untuk juga dijual ke negara lain dan memang laku, selain karena kualitasnya juga bagus,” ujar Agung.

Agung mengusulkan dibuat format kerjasama dengan pemerintah untuk produksi konten dalam negeri. Seperti yang dilakukan Malayasia dan Korea Selatan. “Pemerintah Malaysia sangat mensupport Upin Ipin. Begitu halnya dengan KPOP. Pemerintah Korea Selatan ikut mendukung perkembangan musiknya agar lebih dikenal dunia internasional, selain juga hal ini bagian dari promosi wisata dan strategi ekonomi mereka. Dan ini yang tidak dilakukan di Indonesia,” katanya. 

Ketua KPID Provinsi DKI Jakarta, Kawiyan, mengakui mengelola stasiun televisi dengan segmentasi anak seperti RTV tidaklah mudah. Banyak hal-hal dan ketentuan yang harus diikuti RTV salah satunya pada pedoman P3SPS. Ini supaya RTV tetap menjadi televisi yang ramah anak.

“Sebenarnya lembaga penyiaran harus mampu menggeser tayangan anak produk asing lebih kepada tayangan anak Indoensia. Memang membutuhkan waktu dan proses yang panjang, namun ke depan lembaga penyiaran harus mampu mewujudkannya,” kata Kawiyan.

Pujian untuk RTV atas konsistensi menjadi TV anak dan baik disampaikan Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo. Berdasarkan catatan KPI Pusat, temuan pelanggaran siaran di RTV sangat rencah. Menurut Mulyo, catatan baik ini harus dapat dipertahankan sekaligus konsisten menjadi televisi untuk anak Indonesia.

Dalam kesempatan itu, Mulyo mengusulkan tayangan anak tidak semata soal bagaimana isi dan kemasannya saja, tetapi harus mempunyai dan memberikan nilai empowering (pemberdayaan) terhadap munculnya potensi dan bakat anak-anak. “Saya juga minta agar berhati-hati dengan pengemasan program lain agar jangan sampai ada adegan kekerasan,” pintanya.

Sementara itu, perwakilan RTV berupaya akan meningkatkan produksi konten  anak lokalnya. RTV menargetkan dalam waktu dekat komposisi konten lokalnya dapat mencapai angka 50% dari angka maksimal yang ditetapkan dalam aturan. 

“Harus kami akui untuk produksi konten animasi lokal sangat mahal, maka sementara yang kami lakukan adalah membeli tayangan animasi luar karena biayanya murah. Tapi akan kami usahakan ke depannya,” kata RTV. ***

 

Surabaya - Kapasitas literasi masyarakat Indonesia harus ditingkatkan dalam rangka mempersiapkan bangsa ini memasuki sebuah peradaban digital. Kemampuan ini juga harus disertai dengan  kapasitas inovasi dan kolaborasi serta dukungan kepastian regulasi, sehingga masyarakat Indonesia dapat berkontribusi dalam peradaban digital tersebut. Hal ini ditegaskan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Bidang Kelembagaan, Hardly Stefano Pariela, dalam Webinar tentang “Komunikasi Kepemimpinan dan Literasi Media Digital ditengah Pandemi” yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Program Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya (19/9).

Dalam kesempatan tersebut Hardly memaparkan beberapa permasalahan aktual terkait media, khususnya media baru. Dari data yang disampaikan Hardly, setidaknya saat ini terdapat 175 juta pengguna internet di Indonesia yang setara dengan 64% dari jumlah penduduk di negeri ini. Selain memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk bebas  berekspresi, media baru juga harus dipahami sebagai sebuah proses bisnis. Jika pada media konvensional konglemerasi media dilakukan oleh perusahaan berskala nasional, maka pada media baru ada transnasional corporation yang beroperasi lintas batas wilayah negara secara virtual. “Sehingga, kalau bicara keuntungan bisnis dan agenda setting, di media baru juga ada,”ujarnya.

Hardly menjelaskan masyarakat sebagai end user, seringkali menjadikan konten di media baru sebagai hobi dan rekreasi. Tapi hal tersebut dikapitalisasi pengelola aplikasi dan platform untuk mendapatkan keuntungan dengan menjualnya pada pemasang iklan. Pengguna internet di Indonesia yang mencapai 175 juta orang ini telah menjadi komoditas dari konglomerasi korporasi media transnasional yang beroperasi secara virtual. “Yang juga perlu disadari, konglomerasi media ini juga punya agenda setting”ujar Hardly.

Untuk itu, dirinya menilai perlunya realisasi pengaturan dan pengawasan terhadap media baru, sebagai bentuk perlindungan pada masyarakat, baik itu sebagai pembuat konten ataupun konsumen media. “Media baru memungkinkan adanya kebebasan berekspresi. Namun tentu kita berharap sesuai dengan koridor norma dan budaya Indonesia. Sehingga Masyarakat mendapatkan konten positif, hiburan yang sehat dan informasi berkualitas,”ujarnya.

Lebih jauh lagi Hardly menekankan, di era disrupsi informasi, regulasi saja tidak cukup. Diperlukan kapasitas literasi yang baik di masyarakat. Menurutnya, kapasitas literasi masyarakat dalam bermedia akan menentukan kualitas informasi dan hiburan yang diproduksi, direproduksi dan disebarkan. “Kalau ingin tayangan yang baik, maka kita harus punya kapasitas literasi yang baik,”ujarnya.

Bagaimana pun juga televisi dan radio dalam membuat konten ukurannya sederhana, yakni jumlah penonton dan pendengar.  Kalau banyak yang menonton, maka akan terus diproduksi dan terus hadir di tengah masyarakat. Maka, kalau kapasitas literasi di masyarakat baik, tentu yang dipilih juga konten-konten yang baik. Sehingga konten tersebut juga terus diproduksi.

Dalam era disrupsi sekarang, menurut Hardly, literasi tidak hanya sekedar bagaimana publik dapat memilih. Namun juga punya kemampuan memproduksi, mereproduksi dan menyebarkan konten-konten yang baik dan berkualitas. Dengan demikian, di tengah disrupsi ini, dapat terjadi ledakan informasi yang lebih banyak mengandung konten yang baik dan berkualitas untuk masyarakat.

Untuk itulah, Hardly berharap agar mahasiswa tidak lagi sekedar sebagai agent of change, atau agen perubahan. Mahasiswa harus terus mengembangkan intelektualitas, meningkatkan kapasitas literasi serta mengasah kemampuan digital. Di era disrupsi ini mahasiswa harus menjadi agent of transformation dan agent of disruption. “Sehingga dapat memandu masyarakat di era disrupsi untuk bertransformasi ke arah yang lebih baik, pungkasnya.

 

Jakarta -- Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis, mengatakan membangun komunikasi lintas generasi, khususnya untuk Generasi Z, membutuhkan pengertian dan ketepatan komunikasi. 

Generasi Z biasa disebut generasi digital native, memiliki kedekatan dengan teknologi dan menurut hasil riset Hoffman generasi ini dapat menghabiskan waktu hampir 9 jam per hari menggunakan telepon pintar. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, disampaikan 1 dari 4 penduduk Indonesia adalah pemuda berumur 16-30 tahun sehingga total pemuda di Indonesia kurang lebih 64,19 juta jiwa atau sekitar 24,1%.

“Fakta ini telah kita rasakan dengan maksud generasi milenial menang karena kolaborasi. Sebuah pemahaman bagaimana membangun komunikasi secara global melalui teknologi,” ungkap Yuliandre saat menjadi pemateri dalam diskusi berbasis daring yang diselenggarakan oleh Genzi dengan tema “Membangun Komunikasi Lintas Generasi, Lintas Agama dalam Menghadapi Tantangan Global” di Jakarta, Minggu (20/9/2020).  

Presiden OIC Broadcasting Regulatory Authorities Forum (IBRAF) periode 2017-2018 ini mengatakan, Indonesia telah memasuki fase golden time. Generasi muda yang produktif diharapkan mampu memanfaatkan usia produktifnya dengan melakukan kegiatan yang memiliki nilai jual agar Indonesia mampu dan bersiap menuju masa keemasanya di tahun 2045. 

Andre melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia dari total 64 juta jiwa pemuda Indonesia, kurang lebih 60 persennya adalah pemuda yang berumur 16-24 tahun atau masuk ke Generasi Z yang mampu dengan mudah membangun komunikasi generasi Z. 

Lebih lanjut, ia mengungkapkan, dengan pola komunikasi baru di Indonesia, dimana saat ini penetrasi media sosial dengan angka 80 persen menjadi bagian yang menarik. Hal ini juga bisa menjadi salah satu cara membangun komunikasi pada generasi Z yakni melalui media sosial sehingga fakta hari ini segelintir orang bisa menjadi pilihan untuk beraktualisasi di ruang komunikasi berbasis digital.

“Influencer dan Buzzer menjadi cara komunikasi di sosial media. Mereka memiliki pengaruh yang sangat besar untuk memberikan kepercayaan dan mengubah perilaku masyarakat melalui sosial media, khususnya generasi Z yang menghabiskan waktu yang banyak di sosial media,” ungkapnya.

Sebagai regulator penyiaran di Indonesia, lanjut Andre, tugas dan fungsi KPI menjadi salah satu yang vital. Apalagi melihat fenomena bermacam media yang digunakan untuk berkomunikasi lintas generasi. “Mengawasi 3000 lembaga penyiaran di seluruh Indonesia tidaklah pekerjaan yang mudah,” katanya. 

Sementara itu, pendiri Genzi, Razak Mozin, menyatakan rasa syukur terlahir sebagai bangsa Indonesia yang berbeda namun satu dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika. Generasi Z saat ini harus peka dengan tanggungjawabnya di masa akan datang. 

Dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa, Razak berharap, lahirnya sikap kemandirian dalam hidup yang maju sehingga tidak lahir dari sikap yang biasa saja. Generasi Z wajib memiliki kemampuan sebagai generasi emas. 

“Saya menghimbau kepada generasi Z jangan pernah lelah dan berhenti untuk bekerja keras. Apa yang kita lakukan, khususnya generasi Z di seluruh Indonesia harus bergandengan tangan melahirkan generasi yang kuat dan berprestasi,” katanya. *

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meminta RTV (PT Metropolitan Televisindo) untuk melaksanakan sistem stasiun jaringan (SSJ) secara maksimal dengan memenuhi porsi konten lokal sebanyak 10% dalam siaran jaringannya. Ketersediaan siaran lokal 10% dalam setiap induk dan anak jaringan merupakan amanah yang harus dijalankan setiap lembaga penyiaran ketika ingin bersiaran secara jaringan di seluruh wilayah tanah air. 

Berdasarkan data di KPI Pusat dan hasil pengawasan SSJ oleh KPID, siaran lokal RTV di 33 Provinsi belum mencapai angka 10% dari yang diminta UU Penyiaran. Tercatat dari bulan Januari hingga Agustus 2020, hampir di seluruh wilayah jaringan RTV porsi konten lokalnya kurang dari 10 persen.

"Data ini kami jadikan catatan untuk RTV agar segera memenuhi porsi tersebut,” kata Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza, pada saat proses Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) permohonan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) PT Metropolitan Televisindo atau yang biasa dikenal dengan sebutan RTV, yang diselenggarakan secara daring dan tatap muka di Kantor KPI Pusat, Sabtu (19/9/2020).

Pada saat kunjungan ke RTV Gorontalo, beberapa waktu lalu, Echa, begitu dia biasa disapa, menemukan siaran RTV sangat minim program lokalnya. Jika dihitung, tidak sampai 10% dari batas yang diatur dalam UU Penyiaran atau di bawah 1 jam setengah.  

“Selain itu, banyak program lokal yang tidak up date. Hal ini harus menjadi catatan RTV pusat untuk memberi perhatian pada jaringan TV nya di daerah supaya dapat memaksimalkan potensi lokalnya. Siaran lokal ini penting karenanya saya meminta komimen dari RTV untuk perbaikan,” pintanya kepada pimpinan dan direksi RTV yang hadir dalam EDP tersebut. 

Hal yang sama juga ditemukan Komisioner KPI Pusat, Aswar Hasan, dalam siaran jaringan RTV di Sulawesi Selatan. Berdasarkan hasil koordinasinya dengan KPID Sulsel, dilaporkan bahwa siaran konten lokal RTV belum begitu maksimal. Karenanya, ia meminta RTV untuk segera memperbaikinya karena porsi siaran lokal sebanyak 10% merupakan amanah dari UU Penyiaran.

Menanggapi permintaan tersebut , perwakilan RTV, Ananto,  berjanji akan meningkatkan porsi konten lokalnya. “Kami akan coba ke depan untuk ditingkatkan. Ini PR kami berikutnya,” jawabnya yang disampaikan secara daring.

Sementara itu, Odi Solahudin, panelis EDP dari Pegiat Anak Indonesia, meminta RTV agar dapat melibatkan komunitas-komunitas untuk membuat konten lokal. Menurut dia, ikut sertanya komunitas akan menambah variasi dan juga kreatifitas. 

“Sebagai telegvisi anak tentu tantangannya cukup besar, bagaimana membuat program yang aman, baik, dan ramah anak. Oleh karena itu, perlu juga memperhatikan aturan-aturan yang orientasinya perlindungan kepada anak-anak,” katanya.

Selain itu, RTV dapat menjalin kerjasama dengan instansi yang bisa mengembangkan informasi untuk meningkatkan kualitas program yang ramah anak. Salah satunya dengan membuat program talkshow tentang anak, tetapi yang ditonjolkan adalah sisi potensi anak bukan dari sisi permasalahannya. “Contoh kasus bullying, bukan adegannya yang dibahas tetapi lebih kepada edukasi bahwa bullying tidak boleh dilakukan,” tandasnya. *** 

 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.