Jakarta -- Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Agung Suprio, mengatakan gugatan materil terhadap UU Penyiaran berkaitan dengan pengaturan penyiaran berbasis internet bukan untuk mengebiri kebebasan berkreasi (kreatifitas) warga negara. Pengaturan ini justru akan memberikan perlindungan terhadap konten lokal serta industri kreatif di tanah air untuk terus berkembang.
“Gugatan ini justru sebuah terobosan agar media baru masuk dalam konteks hukum Penyiaran di Indonesia,” tambah Agung saat menjadi narasumber acara Indonesia Bicara dengan tema “Polemik Gugatan UU Penyiaran” yang disiarkan langsung TVRI, Jumat (11/9/2020) malam.
Selain itu, lanjut Agung, arah pengaturan ini akan menyasar kepada platform medianya dan bukan pada pemilik akun yang bersangkutan. “Ketika ada pelanggaran konten, jika berdasarkan aturan yang ada dalam UU Penyiaran serta pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran KPI maka yang akan dipanggil itu platformnya. Jadi bukan artis atau pemilik akun yang dipanggil,” katanya.
Menurut Agung, harus ada perlakuan yang sama antara media penyiaran dengan media baru yang bersiaran. Jika berlandaskan konstruksi UU Penyiaran, setiap perusahaan penyiaran harus memiliki izin dari negara. Hal ini juga berlaku untuk perusahaan platform media baru jika mereka berusaha atau bersiaran di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Mereka juga harus tunduk pada regulasi dan pedoman penyiaran di Indonesia. Karena di dalam siarannya tidak boleh ada unsur kekerasan, pornografi, body shaming, SARA dan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku di tanah air. Intinya, regulasi dan pedoman KPI agar siaran itu ramah dan melindungi anak dan remaja. Jika media baru tersebut tidak ramah anak, maka akan kami panggil medianya. Di sini akan ada proses dialog,” jelas Agung Suprio.
Pengaturan terhadap media baru juga telah diterapkan di Eropa. Pengaturan ini, kata Agung, cenderung memberi perlindungan dan pengembangan keberadaan konten lokal di Eropa. Berdasarkan ketentuan yang dibuat pada 2016 itu, Eropa mewajibkan platform seperti Netflix untuk memberikan 30% dari keseluruhan katalog video on demannya adalah konten lokal.
“Mereka ingin melindungi kebudayaan Eropa. Makanya, jika aturan ini ada di Indonesia akan melindungi konten lokal kita. Angka 30% ini juga bisa diberlakukan di Indonesia. Bahkan, di dalam UU Penyiaran tahun 2002 sudah ditetapkan jika porsi konten lokal harus 60% dan sisanya boleh dari luar. UU Penyiaran sudah sangat progresif soal ini,” ujar Agung.
Sementara itu, di ruang diskusi yang sama, Advokat sekaligus Musisi, Kadri Mohamad, menyampaikan bahwa UU Penyiaran memberikan kebebasan berekspresi dalam konteks penyiaran. Namun begitu, kebebasan itu harus juga menghormati hak orang lain. ***/Foto: Agung Rahmadiansyah