Serang - Kawasan perbatasan antarnegara dan daerah blankspot, harus diakui kurang begitu menarik untuk dikelola dalam rangka menunaikan hak informasi masyarakat melalui pemerataan siaran. Secara karakteristik, dua wilayah ini sulit dilayani lantaran adanya hambatan secara geografis dan ekonomis. Namun dengan adanya digitalisasi penyiaran, hambatan tersebut diharapkan dapat menemui jalan keluar. 

Menurut Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Mulyo Hadi Purnomo, digitalisasi penyiaran memiliki nilai strategis di wilayah perbatasan antarnegara. Siaran digital menjadi benteng penjaga ke-Indonesiaan di wilayah perbatasan, baik dalam konteks kebudayaan dan kemasyarakatan. “Dengan siaran digital ini, kita dapat menjaga kebudayaan Indonesia tetap eksis di wilayah perbatasan dan tidak diganggu oleh siaran yang meluber dari negara tetangga,””ujarnya. 

Hal ini disampaikan Mulyo dalam Sosialisasi dan Publikasi Menjaga Indonesia dan Perbatasan Melalui Penyiaran Digital, yang digelar KPI bekerja sama dengan Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo),(16/10). 

Digitalisasi ini pun, menurut Mulyo memberikan banyak kemanfaatan dengan terbukanya wilayah-wilayah baru untuk diakses televisi sebagai bahan liputan. Selama ini karena wilayah perbatasan tidak terjangkau dan masyarakat pun kesulitan mengakses  siaran televisi dan radio dalam negeri, maka masyarakat pun tidak terliput dan tidak hadir di ruang siar kita. “Sehingga seolah-olah melupakan wilayah perbatasan sebagai  bagian dari Indonesia kita, “ tegasnya. Padahal ada kekuatan ekosistem dan kekuatan ekonomi daerah di perbatasan yang dapat menjadi dimanfaatkan. Harapannya, dengan digitalisasi peluang di wilayah perbatasan ini dapat dioptimalkan. 

Migrasi penyiaran dari analog ke digital direncanakan dapat terealisasi pada tahun 2022. Tentunya migrasi secara serentak (Analog Switch Off) ini akan  membuahkan  digital deviden, atau keuntungan digital. Mulyo berharap kelebihan pemanfaatan frekuensi ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan informasi melalui internet. Apalagi di masa pandemi seperti sekarang, ketika sekolah tidak bisa dibuka, semua terbantukan dengan jaringan internet dan juga siaran televisi maupun radio. Internet juga diharapkan tidak saja berguna untuk pendidikan formal seperti penyediaan ruang-ruang belajar dari penyedia layanan,tapi  juga untuk pengembangan pengetahuan dan daya kritis masyarakat.  Selain itu, Mulyo meyakini,  pemanfaatan frekuensi internet ini dapat memacu pertumbuhan ekonomi kreatif. 

Mulyo berharap, dengan ASO ini, masyarakat dapat merasakan perubahan signifikan terhadap kualitas layanan siaran. Selain kualitas gambar yang  baik, konten siaran juga menjadi lebih beragam, sebagaimana hari-hari ini sudah mulai menunjukkan perkembangan keberagaman konten tersebut. 

Hadir pula secara daring Wakil Ketua Komisi X Agustin Wiljung Pramestuti. Dalam kesempatan ini Agustin menyampaikan pandangannya tentang penyiaran digital yang menempatkan KPI sebagai lembaga yang memiliki peranan penting menjaga konten siaran. Menurutnya yang harus ditekankan dalam menjaga Indonesia di Perbatasan adalah menyemangati masyarakat yang tinggal di perbatasan agar merasa sama sama dengan masyarakat Indonesia yang tinggal di ibukota kabupaten terdekat. “Harus kita akui wilayah perbatasan mebutuhkan perhatian besar dari pemerintah,”ujarnya. 

Dengan adanya kepastian Analog Switch Off, Agustin berharap  kita mulai memoles wajah di perbatasan. “Karena jika sudah masuk era digital di perbatasan, harus disadari akan terlihat jelas oleh dunia luar, bagaimana perbatasan antarnegara diurus selama ini,” tegasnya. 

Menjaga Indonesia dan perbatasan melalui penyiaran digital semestinya tidak hanya dimaknai pada perbatasan yang bersifat fisik, tapi juga perbatasan di dunia digital sendiri. Sebagai pimpinan dari Komisi X yang membidangi masalah pendidikan, Agustin menyoroti aktivitas anak-anak sekolah yang memegang gadget dengan kuota cukup untuk browsing internet tanpa pengawasan. Menurutnya, perbatasan ini juga sangat penting diperhatikan untuk selalu dijaga. 

Sementara itu narasumber dari kalangan industri yang hadir dalam sosialisasi dan publikasi tersebut adalah Wawan Julianto selaku Vice President Broadcast Operational Trans TV.   Secara rinci Wawan menyampaikan tiga tantangan besar bagi industri dalam melaksanakan siaran di wilayah perbatasan. Pertama adanya luberan atau spill over siaran asing di wilayah perbatasan. Secara teknis, ujar Wawan, tidak dapat dihindari karena frekuensi sifatnya merambat dari udara dan tidak mungkin diblok. Hal ini yang kemudian membuat masyarakat di perbatasan rawan terpapar propaganda ideology asing, yang juga berbahaya bagi keamanan nasional. Tantangan selanjutnya adalah potensi ekonomi yang kurang di wilayah perbatasan.  Yang terakhir belum optimaknya infrastruktur penunjang di wilayah perbatasan. Namun demikian, dengan segala tantangan besar tersebut, Trans Media punya komitmen kuat untuk tetap menyelenggarakan penyiaran di perbatasan sebagai wujud peran serta mendukung pemerintah dalam pemerataan informasi untuk publik. 

Narasumber lain yang juga memberikan materi adalah anggota Komisi I Helmy Faishal Zaini, Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran Mimah Susanti, serta Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kemenkominfo Prof Widodo Muktiyo, dengan moderator dari KPID Banten, Alamsyah. 

KPI sendiri, menurut Mimah, tetap membutuhkan support dari masyarakat dalam melakukan pengawasan konten penyiaran digital.  Mengingat jumlah lembaga penyiaran yang akan hadir nanti akan menjadi lebih banyak. Tentunya sinergi dengan publik menjadi salah satu kekuatan dalam kiprah lembaga ini menjaga konten siaran agar selaras dengan arah dan tujuan berbangsa dan bernegara. 

 

 

Jakarta -- Anggota DPR RI dari Komisi I, Fadli Zon, mengatakan teori globalisasi menuntut manusia membuat perubahan secara cepat. Dan, pada saat pandemi covid-19, teori tersebut terbukti dengan adanya pergeseran perilaku masyarakat. 

“Sebenarnya perubahan sosial ini lantaran pandemi corona covid-19 sejalan dengan perkembangan teknologi komunikasi melalui digitalisasi yang tanpa kita sadari sudah merealisasikannya,” kata Fadli.

Lebih jauh, Fadly melihat, selama masa pandemi, jejak komunikasi digital belakangan ini telah meningkat melampaui kebiasaan sebelumnya. Perubahan ini, tanpa disadari telah membentuk aktivitas baru semenjak berlakunya kebijakan Pemerintah terkait bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan beribadah di rumah.

“Perubahan perilaku dan gaya hidup masyarakat yang kian berkembang dan tidak mengenal tempat serta waktu menyebabkan digitalisasi mudah diterima masyarakat dunia. Kemudahan akses internet terbukti memudahkan masyarakat melakukan apapun, dimanapun dan kapanpun,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis mengatakan, saat ini kebutuhan masyarakat kebanyakan bukan hanya soal sandang, papan dan pangan saja tapi juga dukungan perangkat digital. Pandemi Covid-19 diyakini telah mempercepat era digitalisasi di Tanah Air. Hal ini membuka peluang bagi perusahaan rintisan untuk masuk ke berbagai sektor termasuk pemerintahan.

“Bahwa ada instrumen baru di generasi millenial dan situasi ini membuat kebutuhan tidak hanya sandang, papan dan pangan. Wifi atau sinyal internet juga sekarang memiliki peran seperti kebutuhan layaknya makan setiap hari,” ucap Andre dalam diskusi berbasis daring yang di selenggarakan oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) dengan tema “E-Learning: Pemanfaatan Digitalisasi di Masa Pandemi" di Jakarta, Kamis (15/10/2020).

Presiden OIC Broadcasting Regulatory Authorities Forum (IBRAF) periode 2017-2018 ini mengungkapkan sering kehidupan yang lebih banyak di rumah, kebiasaan pengguna gadget pun berubah, khususnya berkenaan dengan waktu pemakaian media sosial. Perkembangan teknologi dan digital membuat perilaku berinternet juga semakin meningkat. Namun hal yang perlu dipahami adalah penggunaan internet harus tetap bijak supaya pengguna tidak terlalu bergantung dari telepon pintar dan internet.

“Sadar atau tidak, perilaku baru akibat pandemi hari ini bahwa konten digital sudah mendominasi,” ungkap Andre.

Menurut dia, berdasarkan hasil penelitian dari Bank Indonesia, bahwa telah terjadi peningkatan transaksi berbasis daring per Mei 2020 sebanyak 17,31 persen. Adaptasi penjualan dengan daring juga menjadi salah satu upaya yang dilakukan oleh industri ekonomi kreatif. “Salah satu cara dan jangan sampai lewatkan moment ini. Anak muda harus gunakan kesempatan ini untuk lebih kreatif, tidak perlu yang mewah. Era digital ini memiliki dampak yang luar biasa,” katanya. Man/*

 

 

Jakarta -- Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis mengatakan, untuk meningkatkan kualitas siaran, KPI bersama 12 Perguruan Tinggi Negeri melakukan Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi. 

“Riset ini adalah semangat dan tujuan KPI dengan konsep kualitas. Kita mau tahu apakah tiap program yang ada itu layak untuk disiarkan,” ujar Yuliandre Darwis saat menjadi pemateri dalam diskusi berbasis daring yang diselenggarakan UIN Syarif Hidayatullah dengan tema “Berdakwah di Layar Kaca: Televisi dan Narasi Keagamaan di Indonesia” di Jakarta, Kamis (15/10/2020).

Lebih lanjut, pria yang ramah disapa Andre ini mengatakan, dengan beragamnya konten siaran, pihaknya merasa perlu melibatkan beberapa elemen para pakar terutama akademisi untuk memberikan kontribusinya dalam meningkatkan kualitas program siaran di Indonesia. Dalam konteks konten siaran keagamaan, konten di beberapa lembaga penyiaran sudah mencapai standart riset yang di tetapkan oleh KPI.  

Ada pun penilaian kualitas program siaran keagamaan berdasarkan indikator dengan relevansi alur perjalanan cerita. Kemudian dalam hal toleransi menjadi aspek utama yang menjadi tolak ukur dalam penilaian. Landasan kegiatan prioritas ini mencakup Pancasila dan menggambarkan kebhinekaan serta menghormati keragaman.

“Kami selalu melakukan evaluasi terhadat tayangan terjemahannya KPI merujuk fakta data kemudian ditabulasikan dengan para ahli dan kita transfer ke publik bahwa ada konteks keagamaan yang sehat di lembaga penyiaran,” katanya.

Sementara itu, Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Cholil Nafis menyampaikan, para tokoh agama yang nantinya akan tampil di lembaga penyiaran diharapkan memiliki kriteria dalam mengukur kompetensi dai yang ada. Konsepnya, MUI menginginkan adanya kemampuan mengkondisikan objek dakwah di Lembaga Penyiaran. 

“Kemampuan berkomunikasi dua arah dan memahami serta menyelesaikan masalah yang dialami oleh objek dakwah dan kemampuan membedakan karakter objek dakwah,” kata Cholil.

Cholil mengatakan standarisasi ini dibuat agar setiap dai memiliki paradigma yang sama. Menurut dia, standarisasi ini bukan bermaksud untuk membatasi dai berdakwah di lembaga penyiaran, tapi untuk dijadikan ambang kualitas para dai. "Tapi di saat bersamaan, kami juga tidak ingin lembaga atau publik disuguhi dengan ustadz yang tidak layak untuk menyampaikan dakwah di layar," ujar Cholil. Man/*

 

Serang – Hadirnya digitalisasi penyiaran diharapkan diharapkan dapat membuka kesempatan penunaian hak informasi dan pengembangan pendidikan di wilayah perbatasan.  Hal ini dikarenakan implementasi digitalisasi memberikan prioritas pengembangan penyiaran di wilayah perbatasan yang juga diiringi dengan meluasnya jangkauan internet sebagai konsekuensi didapatnya digital deviden. Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Mulyo Hadi Purnomo menyampaikan hal tersebut dalam Sosialisasi dan Publikasi Menjaga Indonesia dan Perbatasan Melalui Penyiaran Digital, yang digelar secara daring di Serang , Banten, (16/10).

KPI sendiri menyambut baik rencana analog switch off (ASO) pada tahun 2022 mendatang, sebagai sebuah transformasi teknologi siaran yang akan memberi banyak manfaat bagi publik, khususnya di wilayah perbatasan yang merupakan beranda terdepan negara, wilayah tertinggal dan wilayah terpencil. Menurut Mulyo, meningkatnya akses informasi tentu akan membantu terjadinya peningkatan kualitas pendidikan di wilayah tersebut. “Muara dari digitalisasi ini adalah meningkatnya kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat”, tegasnya.

Konsekuensi lain dari penyiaran digital adalah semakin beragamnya konten siaran yang hadir ke tengah publik. Selain itu, kesempatan menghadirkan kebudayaan lokal dalam penyiaran juga terbuka semakin luas. Hal ini dikarenakan digitalisasi membuka peluang yang lebih luas bagi pelaku industri penyiaran. Jika selama ini ada keterbatasan frekuensi untuk kiprah industri dalam dunia penyiaran, dengan diterapkannya digitalisasi maka kanal-kanal frekuensi yang dapat digunakan menjadi lebih banyak.

KPI berharap, digitalisasi penyiaran ini dapat dimanfaatkan untuk menghadirkan konten siaran yang edukatif dan informatif. Khusus untuk wilayah perbatasan, penyiaran digital ini diharapkan menjadi ruang untuk menyapa masyarakat di beranda terluar dari republik ini, ujar Mulyo. Karenanya siaran di wilayah perbatasan pun, diharapkan mampu meningkatkan rasa cinta tanah air, serta menguatkan integrasi nasional.

Pelaksanaaan digitalisasi penyiaran sebenarnya sudah mulai dilaksanakan secara bertahap sejak tahun 2017.  Kerja sama KPI dengan Kementerian Kominfo berhasil meluncurkan secara resmi siaran perdana TV digital di beberapa wilayah perbatasan antar negara, seperti Nunukan (Kalimantan Utara), Batam (Kepulauan Riau), dan Jayapura (Papua).  

Mulyo juga menjelaskan bahwa kegiatan sosialisasi dan publikasi penyiaran digital ini digagas KPI bekerja sama dengan Badan Aksesibilitas Komunikasi dan Informasi (BAKTI) Kemenkominfo yang digelar secara daring dengan peserta dari seluruh tanah air, khususnya dari wilayah perbatasan antar negara. Hadir sebagai pembicara dalam sosialisasi dan publikasi penyiaran digital ini, Wakil Ketua Komisi X Agustina Wilujeng Pramestuti, Anggota Komisi I DPR RI Helmy Faishal Zaini, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Widodo Muktiyo, Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran Mimah Susanti, dan VP Broadcast Operational Trans TV Wawan Julianto. 

 

 

Jakarta -- Industri televisi di tanah air mulai banyak diisi oleh perempuan. Mereka berperan sebagai pengisi program, jurnalis, news anchor, floor direktor bahkan sebagai direksi di lembaga penyiaran. Ketika perempuan sudah terjun dan mendominasi televisi, seharusnya ini mempengaruhi perspektif keadilan gender dan penghormatan perempuan pada seluruh program siaran. 

“Semakin banyak perempuan yang terjun ke industri penyiaran. Harapannya ada nilai-nilai pemberdayaan dan penghormatan terhadap hak-hak perempuan yang selama ini sedikit banyak ditampilkan di layar kaca dengan gambaran yang eksploitasi. Perempuan masih menjadi obyek berita maupuan obyek program siaran,” kata Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, saat mengisi acara webinar Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) dengan tajuk “Perempuan dan Media”, Rabu (14/10/2020).

Menurut Nuning, posisi perempuan di media penyiaran dibagi menjadi tiga peran yakni sebagai penonton, pengisi materi program acara dan tim produksi. Sebagai penonton, perempuan dapat memengaruhi seperti apa iklan yang akan tayang di televisi karena perempuan masih menjadi penentu konsumsi keluarga terhadap satu produk.

“Jika berdasarkan data kepemirsaan yang disampaikan, 56 persen penonton TV adalah perempuan. Menjadi  wajar jika yang jadi target iklan adalah perempuan. Ini menjadi catatan kami untuk mendorong agensi iklan agar beriklan di tayangan berkualitas dan tidak mendiskriditkan perempuan serta program-program yang tidak melecehkan perempuan,” katanya. 

Sedangkan perempuan sebagai pengisi dan menjadi materi program, menurut Nuning, dapat dilihat dari beberapa judul sinetron yang eksploitatif dan mendiskiriditkan perempuan. 

“Jika judulnya itu semakin wow dan diskriminatif akan makin diminati. Ini menjadi catatan kami dan menjadi tanggungjawab bersama untuk melakukan edukasi. Apabila masyarakat semakin cerdas, masyarakat semakin teredukasi untuk memilih program siaran berkualitas dan baik. Saya kira suatu keniscayaan industri penyiaran akan menghadirkan apa yang diinginkan masyarakat. Agar tidak ada lagi judul yang bombastik dan mendiskriditkan,” kata Nuning.

Berikutnya posisi perempuan pada tim produksi. Melihat data bahwa jajaran direksi di lembaga penyiaran sudah banyak dipegang perempuan. Menurut Nuning, kabar ini cukup menggembirkan dan diharapkan sangat berpresfektif perempuan. “Ketika perempuan menjadi decision maker atau penentu kebijakan akan menentukan arah program yang tentu jadi lebih melindungi perempuan, anak dan keluarga,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Nuning menyampaikan strategi KPI terkait perlindungan perempuan dalam siaran yakni dengan penengakan regulasi. Aturan menyangkut perlindungan perempuan menjadi prioritas dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012. Upaya lain yang dilakuan KPI yakni bersinergi dengan sejumlah stakeholder seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), lembaga penyiaran serta lembaga swadaya masyarakat seperti Maju Perempuan Indonesia.

“Kita mensinergikan program dan pijakan dalam hal meliterasi masyarakat agar lebih cerdas, masyarakat bisa memilih program siaran yang berkualitas. Tentu upaya ini dalam rangka mendorong perlindungan dan pemberdayaan masyarakat dari berbagai sektor kehidupan,” jelasnya.

KPI juga melakukan inovasi guna menegakkan kesetaraan gender di seluruh sektor. Karena itu, kata Nuning, perlu ada keterwakilan perempuan dalam setiap pengambil kebijakan dan hal ini tentu mengharuskan posisi perempuan tidak boleh hilang dalam sebuah tatanan organisasi seperti KPI atau KPID.

“Kami sangat terpukul ketika ada beberapa KPID yang tidak ada perempuannya. Dalam persfektif regulator, ini akan menghambat karena tidak ada persfektif perempuan dalam pengambil keputusan agar perempuan tidak lagi dieksploitasi, didiskriminasi dan lain sebagainya. Ini harus didorong untuk menghadirkan persfektif perempuan dalam konteks pengawasan siaran. Selain itu, KPI juga memberikan apresiasi kepada lembaga penyiaran yang telah memproduksi program siaran yang peduli kepada perempuan,” tegasnya. 

Ketidakadilan gender 

Di awal acara, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ( Menteri PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyampaikan, hingga saat ini ketidakadilan gender bagi perempuan masih terjadi di media penyiaran. Menurut dia, masyarakat Indonesia cenderung masih erat dengan pandangan patriarki yang mempersepsikan peran utama perempuan ada di ranah domestik, misalnya sebagai ibu rumah tangga. Gambaran tersebut dapat dilihat melalui media penyiaran. 

"Gambaran perempuan saat ini yang dapat kita lihat melalui media penyiaran masih lekat dengan ketidakadilan gender, di antaranya terletak pada stereotipe. Perempuan hanya diberikan peran pada sektor domestik serta isu kehamilan, pengasuhan dan pendidikan," kata Bintang saat membuka kegiatan literasi tersebut.

Bintang mengatakan, praktik eksploitatif juga terjadi pada perempuan di media penyiaran, contohnya, kasus prostitusi. Isi pemberitaan di media penyiaran dinilai cukup mengeksploitasi perempuan dari berbagai sisi. "Demikian juga kekerasan, di mana kasus-kasus perkosaan yang kerap menyalahkan dan menganggap perempuan sebagai pemicu perkosaan," ujarnya. 

Dia mengatakan, perempuan harus diberikan akses dan kesempatan lebih luas sehingga potensi dan kemampuannya pun berkembang maksimal. "Saya yakin pemberdayaan perempuan adalah kunci dari kesuksesan pembangunan bangsa, perjuangan perempuan untuk dapat didengar, dipertimbangkan, dan menempati posisi penting masih menjadi permasalahan bagi kita semua," tutur Bintang. 

Bintang mengatakan, dibutuhkan upaya serius untuk meminimalisir ketidakadilan gender pada media penyiaran. Diperlukan kesadaran dan komitmen dari para pelaku usaha di bidang penyiaran, salah satunya dengan menguatkan pedoman responsif gender yang telah ada maupun mendukung pengembangan pedoman yang sudah ada agar lebih efektif.

Sementara itu, Koordinator Maju Perempuan Indonesia, Lena Maryana, menyatakan keterwakilan perempuan di media penyiaran akan mewakili penonton perempuan. Menurut dia, menghadirkan perempuan dalam kehidupan bernegara sangat penting.

“Karena itu, kami mendorong adanya kesadaran gender di semua kalangan  termasuk dalam hal pemutusan kebijakan oleh negara. Ini tidak mudah karena penentu kebijakan mayoritas adalah laki-laki,” kata Anggota DPR RI Periode 2014-2019 ini.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Programing SCM, Harsiwi Achmad, mengatakan media tidak bisa berjuang sendiri jika tidak didukung semua aspek. “Perjuangan media tidak sampai di sini. Kami akan terus berupaya memperbaiki tayang-tayangan kami untuk dapat meninggikan derajat perempuan di industri media,” katanya. 

Harsiwi menyatakan komitmen lembaganya untuk penonton perempuan. Pertama, telah ada pembatasan terhadap penampilan perempuan yang hanya mengadalkan fisik bukan kualitas kemampuan. “Ini sudah kami batasi betul. Sehingga ketika nonton dangdut akademi misalnya, tidak ada penyanyi yang suaranya jelek atau hanya mengandalkan fisik. Dan pembatasan ini tentunya juga berlaku pada program lain,” tuturnya.

Sekarang, lanjut Harsiwi, pihaknya juga sudah mengubah image acara dangdut yang mengeksploitasi perempuan dengan goyangan menjadi berdasarkan kualitas suara dan berpenampilan sopan. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.