Makassar - Regulasi media khususnya penyiaran yang ada saat ini, sebenarnya dapat digunakan untuk menjangkau media berbasiskan internet. Kata “lainnya” dalam definisi penyiaran pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan ruang yang disediakan oleh pembuat regulasi dalam mengantisipasi perkembangan teknologi informasi khususnya di bidang penyiaran di masa depan. Namun demikian dalam Uji Materi di Mahkamah Konstitusi atas undang-undang tersebut, justru menegaskan bahwa kata penyiaran tidak didefinisikan sebagai internet. Hal ini terungkap dalam Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dengan tema “Kesetaraan Regulasi Penyiaran Berbasis Internet dan Konvensional”, di kota Makassar, (21/9). 

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin Prof. Dr. Judhariksawan, SH., MH, yang hadir sebagai narasumber dalam diskusi tersebut mengungkap, International Telecommunication Union (ITU) dalam studi terbaru tidak memberi definisi baku terhadap platform Over The Top (OTT). ITU memberikan kesempatan pada masing-masing negara untuk mendefinisikan sendiri makna OTT tersebut. 

Dalam pandangan Ketua KPI Pusat periode 2013-2016, persoalan kesetaraan regulasi hari ini adalah persoalan antara platform dan konten. Sebenarnya, kita dapat saja bersepakat pengawasan platform diserahkan pada negara. Namun untuk pengawasan kontennya, KPI merupakan lembaga yang punya pengalaman dalam melakukan pemantauan, pengawasan, dan juga menindaklanjuti aduan publik terhada isi siaran. “Saya rasa, sepertinya tidak salah juga kalau pengawasan konten pada media berbasiskan internet diserahkan pada KPI,” terangnya. 

Persoalan konten menurutnya adalah masalah kedaulatan rakyat yang harus diberikan perlindungan. “Makanya, biarkanlah publik yang mengawasi isinya, dalam hal ini diwakili oleh KPI. Supaya tidak ada rezim otoriter yang memblokir isinya, sedangkan untuk platform biar saja negara yang mengawasi,” tambah Judha. 

Secara khusus dia menerangkan bahwa esensi penyiaran dari ITU adalah untuk penerimaan publik. Pertanyaannya, apakah konten di internet itu merupakan medium komunikasi untuk dirinya sendiri, atau untuk publik? Kalau itu adalah konten untuk diterima publik, seharusnya didefinisikan sebagai penyiaran. 

 

Lebih jauh Judha mengingatkan bahwa kita pernah bersepakat bahwa pers adalah pilar keempat demokrasi. Implikasinya, pers diperlakukan dengan regulasi yang khusus, termasuk tersedianya hak jawab bagi pihak yang merasa dirugikan oleh pers. Saat ini, tambah dosen pengampu mata kuliah Hukum Internasional, dengan kondisi pers yang sulit menjadi jembatan antara rakyat dan kekuasaan, maka muncullah keinginan menjadikan media sosial sebagai pilar kelima demokrasi. 

“Jika demi demokrasi dan kedaulatan rakyat kita bersepakat bahwa media sosial sebagai pilar kelima demokrasi, maka kita pun harus memberikan kedaulatan pada media sosial. Kita juga harus memberi perlindungan hukum sebagaimana yang sudah kita berikan pada pers,” tegasnya. 

Saat ini, di media berbasiskan internet termasuk media sosial, kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat didekati oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Jadi kalau ada aduan atas siaran di You Tube atau media lain dengan platform internet, para pembuat konten berpotensi dipidanakan. Sedangkan kalau memperlakukannya sebagaimana konten di lembaga penyiaran, tindak lanjut aduan ataupun pelanggaran berujung pada sanksi administrasi atau pun pembinaan lembaga penyiaran sebagai penyedia program siaran.  “Tinggal kita inginnya seperti apa memperlakukan konten di media sosial ini, apa kita ingin langsung dipidanakan sebagaimana aturan di Undang-Undang ITE?” tanyanya diplomatis. 

Diskusi berlangsung hangat dengan pertanyaan dan tanggapan dari peserta yang sebagian besar adalah praktisi media, baik lembaga penyiaran swasa, lembaga penyiaran publik, atau pun juga di media cetak. Perwakilan dari Radio Republik Indonesia (RRI) menanyakan bagaimana identitas lembaganya ketika harus beradaptasi pada perkembangan teknologi, dengan menyiarkan konten multiplatform. Sementara dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengakui bahwa pihaknya juga mendorong adanya revisi undang-undang penyiaran. Namun, belakangan penolakan yang disampaikan AJI terhadap revisi tersebut dikarenakan ada pasal-pasal yang dianggap dapat mencederai kebebasan pers dan juga dianggap tidak ada partisipasi publik. Secara spesifik AJI juga mengingatkan KPI untuk tetap memperjuangkan keberagaman kepemilikan lembaga penyiaran dan eksistensi konten lokal yang sebenarnya sudah menjadi amanat dalam Undang-Undang Penyiaran, namun pelaksanaannya masih jauh panggang dari api. 

Hadir dalam diskusi tersebut Ketua KPI Pusat Ubaidillah, Wakil Ketua KPI Pusat Mohamad Reza, Koordinator Bidang Pengelolaan Kebijakan dan Struktur Penyiaran (PKSP) KPI Pusat Muhammad Hasrul Hasan, Anggota KPI Pusat Bidang Pengawasan Isi Siaran Aliyah, dan Anggota KPI Pusat Bidang Kelembagaan Mimah Susanti. 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.