Serpong – Momentum Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berlangsung setiap tahun, secara regulasi, memang merupakan forum pengambilan kebijakan terhadap isu penyiaran. Selain itu, tentu juga menjadi sarana bagi seluruh anggota KPI untuk berbagi pengalaman dalam menerapkan kebijakan yang prakteknya kerap kali tidak sama di masing-masing daerah. Beragam Isu yang dibahas dalam Rakornas KPI 2022, diantaranya migrasi sistem penyiaran dari analog ke digital, pelaksanaan Analog Switch Off (ASO), serta penguatan kelembagaan KPI di daerah. Dalam Sarasehan Rakornas KPI 2022 yang digelar seusai Pembukaan Rakornas, Maman Suherman selaku Pengamat Media tampil sebagai pemandu acara.
Isu penting lain yang mencuat dalam dunia penyiaran adalah tuntutan hadirnya keadilan regulasi, baik dalam regulasi usaha dan regulasi informasi antara media baru dengan lembaga penyiaran. Saat diminta tanggapan atas pernyataan Kang Maman ini, Gilang Iskandar dari Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) menyatakan, kita dorong saja DPR dalam revisi undang-undang. Panitia Kerja (Panja) sudah bergerak sekarang. “Bagi kita, ini unfair treatment,” tegas Gilang. Di satu sisi hoax, ujaran kebencian, sex bebas dan LGBT tidak ada di televisi free to air, kalau pun ada sangatlah sedikit. Di sisi lain, konten tersebut ada banyak di media sosisal dan Over The Top (OTT).
Sementara dengan aturan yang ketat, lembaga penyiaran harus menghadapi mereka yang sekali merdeka, merdeka sekali. Termasuk dengan pertumbuhan pasarnya yang sangat besar, sejak tahun 2014 mencapai 15,1 persen. “Jika bicara garda pertahanan karakter bangsa dan nasionalisme kita, ya seharusnya lembaga penyiaran dibantu agar tetap eksis. Di lain pihak, mesti diatur nih barang transnasional bagaimana caranya,” tegas Gilang. Hal itu dapat diwujudkan dengan keberanian sebagaimana Inggris dan Australia membuat regulasi. “Tinggal keberanian politik saja, mau atau tidak. Dan kita akan berhadapan dengan negara besar,” tambahnya. Tapi demi keselamatan bangsa, kita harus mendorong DPR memasukkan aturan tersebut. Masukan lanjutan dari Gilang, kalau ternyata DPR menetapkan yang mengawasi konten media baru adalah KPI, maka KPI harus dilengkapi dengan alat-alat pemantauan yang lebih canggih dan anggaran yang lebih besar.
Senada dengan Gilang, perwakilan Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI) Mohammad Riyanto juga menilai perlunya peraturan yang lebih spesifik untuk menjangkau platform media digital. “Sehingga ada satu pemikiran, arah regulasi juga dapat membuat keseimbangan pasar di tengah masyarakat,” ujarnya.
Selain televisi, kebutuhan untuk aturan yang setara juga diserukan oleh pelaku penyiaran di radio. Ketika ditanya Kang Maman soal prediksi radio telah menjelang “sunset”, Sekretaris Umum Pengurus Pusat Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) M Rafiq memaparkan terobosan yang ditempuh PRSSNI di era disrupsi digital. Di Indonesia yang berpenduduk 270 juta, ternyata smartphone yang online sebanyak 370 juta. “Artinya ada 100 juta orang yang memiliki telepon seluler lebih dari satu,” ujarnya. Ada 205 juta pengguna internet aktif di Indonesia, 93% mengakses internet menggunakan gadget. Dari 205 juta orang itu, tiga jam lebih dalam sehari bermain sosial media. “Alhamdulillah masih 2 jam 50 menit menonton televisi baik itu teresterial atau pun streaming. Celakanya yang mendengarkan radio tinggal 35 menit saja,” papar Rafiq.
Dengan kondisi seperti ini, PRSSNI berusaha untuk tetap relevan dan hadir di 370 juta smartphone yang online selama delapan jam sehari. Saat ini PRSSNI bekerja sama dengan 3 aplikasi, diantaranya langit musik, sehingga 600 radio anggota PRSSNI akan dapat didengarkan siaran langsungnya melalui streaming di tiga aplikasi tersebut. “Dan kita juga siapkan audio on demand, podcast, features, sandiwara radio, playlist dan lain-lain,” terangnya
Tentu saja dengan kondisi seperti ini sangat diharapkan pemerintah membuat aturan terhadap konvergensi media. “Kenapa? Karena saya khawatir ada anggota PRSSNI yang nakal,” tegas Rafiq. Kita tahu persis bahwa iklan produk tembakau dan turunannya, iklan alkohol dan dan alat kontrasepsi diatur sangat keras untuk siaran teresterial. “Pada saat siaran streaming, saya khawatir pasti akan ada colongan. Pasti akan ada radio yang menayangkan iklan rokok tidak pada jamnya, toh streaming tidak apa-apa, kan tidak diatur, Kalau radio ditegur, pasti orang radio akan bilang kenapa tak kau tegur spotify?,” ungkapnya lagi.
Diakui pula oleh Rafiq, saat ini dengan siaran yang konvergen tersebut, ada potensi menyiarkan lagu-lagu yang sebenarnya masuk daftar merah oleh KPI, yang disarankan tidak disiarkan kecuali setelah diedit. Tapi kalau siaran melalui streaming, tentu bukan pelanggaran terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS). Karenanya aturan konvergensi itu harus segera disusun supaya fair untuk kita semua, terangnya.
Pengalaman di tahun 2019 misalnya, Rafiq memaparkan total radio expenditure mencapai 1,7 triliun. Tapi pada tahun yang sama, media order yang diterima oleh Spotify juga mencapai 1,7 triliun. Mungkin karena di sana dapat memutar lagu-lagu yang tidak bisa diputar di radio. Dia juga bisa pasang iklan yang tidak boleh disiarkan oleh radio, dan tetap aman. Jadi yang ditekankan adalah munculnya segera regulasi konvergensi media yang menyediakan ring tinju yang aman buat kita. “Yang diatur kita, tapi yang datang dari luar sana gak diatur,” tutup Rafiq.
Foto: KPI Pusat/ Agung R