Jakarta -- Iklan produk rokok di lembaga penyiaran diatur sepenuhnya dalam Undang-Undang (UU) No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran. UU yang sudah berusia 20 tahun ini hanya bersifat melakukan pembatasan pada tayangan iklan rokok di lembaga penyiaran. Indonesia hingga saat ini termasuk segelintir negara yang belum sepenuhnya menerapkan pelarangan iklan rokok di media.
Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia mengatakan, belum ada aturan yang secara khusus mengatur tentang iklan rokok. Selama ini, iklan rokok diatur dalam UU sektoral seperti UU Penyiaran, UU Pers dan UU lainnya. Semestinya, ada UU yang lebih spesifik mengatur kebijakan soal iklan rokok seperti UU Periklanan.
“Kita tidak ada UU Iklan. Iklan rokok di lembaga penyiaran diatur oleh UU Penyiaran yang rezimnya hanya pembatasan saja. Sehingga aturan yang dibuat KPI dalam P3SPS pun hanya melakukan pembatasan saja. Namun begitu, pembatasan iklan rokok yang dibuat KPI sedemikian ketat agar tampilan iklan rokok yang muncul tidak menarik orang,” jelas Irsal di forum diskusi The First ITCRN Conference: Tobacco Control for Sustainable Recovery yang diselenggarakan secara daring oleh Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Universitas Indonesia (UI), Selasa (29/3/2022).
Menurut Irsal, iklan rokok masih menjadi andalan industri penyiaran dalam mendapatkan sumber iklan. Ditambah lagi banyak kegiatan atau event yang disponsori oleh perusahaan rokok. Jadi betapa kuatnya industri ini menyokong media penyiaran secara finansial.
Terkait hal itu, Irsal mengusulkan agar para pihak yang ingin pelarangan iklan rokok di media untuk memanfaatkan momentum revisi UU Penyiaran yang sedang dalam tahap pembahasan di DPR. “Saat ini ada angin segar lagi bahwa DPR akan serius melakukan revisi UU Penyiaran dan harapannya akan diselesaikan pada tahun ini. Ini momentum yang tepat untuk mendorong agar UU Penyiaran hasil revisi melarang penayangan iklan rokok di media penyiaran,” usulnya.
Namun begitu, lanjut Irsal, dorongan ini harus memperhatikan konteks regulasi yang lain secara bersamaan karena pelarangan ini sifatnya sangat sektoral. Banyak regulasi dan lembaga terkait yang harus diajak bicara. Apalagi dan dari iklan rokok sangat besar.
“Jadi harus kerjasama bersama seperti dengan kementerian kesehatan, kementerian perdagangan dan pihak lainnya. Karena hal ini akan menyankup hal yang umum. Jika pemerintah belum mengarahkan pada aturan larangan sampai kapanpun akan bersifat pembatasan,” ujar Komisioner bidang Kelembagaan KPI Pusat ini.
Sementara itu, Vanda Siagian, Perwakilan P2PTM dari Kementerian Kesehatan, menyampaikan data riset dari Kemenkes bawa terjadi peningkatan jumlah pengkonsumsi rokok di kalangan perempuan dan usia lebih muda. Peningkatan prevalensi perokok perempuan mencapai 2,3% dan untuk perokok usia muda mencapai 75%.
“Untuk jumlah perokok antara usia 10 hingga 14 tahun mencapai 23% dan perokok di usia antara 15 hingga 19 tahun mencapai 52%,” kata Vanda.
Menurut Vanda, perlu upaya terstruktur diantaranya amandemen PP No.109 tahun 2012 agar laju perokok di usia muda menurun. Rencana amandemen PP ini sudah dilakukan sejak 2017 dan hingga sekarang belum mencapai kesepakatan.
Dalam kesempatan itu, mewakili Walikota Depok, Fitriawan Sahli, menyampaikan kebijakan pemerintah daerahnya menekan laju perokok di wilayah kota Depok. Depok menjadi wilayah pertama yang tegas melarang segala bentuk iklan dan aktifitas lain terkait rokok.
“Kami ingin menciptakan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat. Kami juga ingin melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya asap rokok terutama juga menceggah perokok pemula,” tandasnya. ***