Bekasi - Hasil Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi tahun 2021 yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menunjukkan masih ada tiga program siaran yang mendapatkan nilai indeks di bawah standar berkualitas. Padahal ketiganya memiliki kemampuan menyedot hinggal 60% penonton.  Untuk itu kolaborasi pentahelix dengan multistakeholder penyiaran mendesak untuk dilakukan sebagai tindak lanjut dari hasil riset. Hal tersebut terungkap dalam talkshow Ekspos Hasil Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi periode II tahun 2021 yang digelar KPI di kota Bekas, (3/12). 

Wakil Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Neil Tobing yang hadir sebagai penanggap mengatakan riset KPI ini harus mendapat dukungan dari pemerintah untuk menjadi benchmarking lembaga penyiaran secara umum. Neil juga berharap ada pemihakan dari pemerintah untuk mendukung program berkualitas, termasuk kehadiran program-program baru yang menjadi identitas bangsa di layar kaca. “Tidak ada salahnya KPI juga mengajak kementerian pariwisata dan ekonomi kreatif untuk melakukan kolaborasi yang konkrit agar riset ini menjadi bermanfaat,” ujarnya.

Lebih jauh Neil menjelaskan, lembaga penyiaran swasta (LPS) saat ini berkomitmen untuk menghalau ujaran kebencian dan hoax, yang sebenarnya marak di media-media sosial. “Kami dari ATVSI selalu melakukan verifikasi untuk setiap data dan footage dari media sosial, sebagai bentuk kehati-hatian,”ujarnya. Ini adalah bentuk usaha ATVSI dalam meredam penyebaran hoax dan juga hatespeech

Terkait tiga program siaran yang menjadi sorotan dalam ekspos hasil riset, Neil mengatakan, sepanjang program tersebut berada dalam koridor regulasi baik itu Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) KPI dan juga mendapat Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) dari Lembaga Sensor Film (LSF), tentu tetap ditayangkan. Mengingat respon penonton yang baik dan pemasukan yang didapat dari iklan juga banyak, ujarnya. Ini juga merupakan balancing dengan program-program lain yang berkualitas namun tidak berimplikasi signifikan pada pemasukan, terangnya. 

Menanggapi hal ini, perwakilan dari Nielsen Media, Hellen Katherina mengusulkan agar KPI turut mengundang APPINA (Asosiasi Perusahaan Pengiklan Indonesia) dalam menyosialisasi hasil riset. Saat ini berbagai produk yang mempunyai budget besar untuk beriklan memiliki prinsip brand safety untuk diterapkan dalam penempatan iklan di media digital. Salah satu penerapan prinsip brand safety ini, ujar Hellen, adalah memastikan iklan mereka tidak dipasang pada konten-konten kekerasan, pornografi atau child abuse. Dia mengusulkan, KPI melakukan komunikasi dengan APPINA, agar prinsip brand safety ini juga dapat berlaku di lembaga penyiaran. 

Hery Margono selaku Sekretaris Jenderal Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) menyetujui usulan kerja sama KPI dengan berbagai pihak. Menurutnya, harus ada kolaborasi pentahelix antara KPI, pengiklan, masyarakat, akademisi dan juga privat sektor dalam menciptakan ekosistem penyiaran yang baik.  Bagaimana pun juga, kualitas siaran itu menjadi identitas bangsa, ujarnya. Jika kualitas siaran bagus maka identitas bangsa juga baik. 

Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan Hardly Stefano Pariela yang menjadi moderator dalam talkshow tersebut mengakui, mengatur industri penyiaran tidak bisa hitam putih. Hal ini dikarenakan yang terlibat dalam dunia penyiaran bukan hanya satu atau dua pihak, melainkan ada multistakeholder di dalamnya. Hardly sepakat kerja sama dengan semua pihak yang menjadi pemangku kepentingan di dunia penyiaran harus dilakukan, termasuk dengan masyarakat. Hardly menegaskan, KPI akan mengambil langkah konkrit dalam mewujudukan komitmen kebaikan untuk industri penyiaran agar dari waktu ke waktu konsisten memproduksi konten berkualitas. Termasuk melakukan penyempurnaan riset yang diharapkan dapat memotret seluruh wilayah di Indonesia agar hasil riset ke depan dapat lebih fungsional dan implementatif. Foto: AR

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.