Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menilai porsi untuk masyarakat di wilayah 3 T (tertinggal, terdepan dan terpencil) mendapatkan informasi harus sama besarnya dengan yang diperoleh masyarakat di luar daerah tersebut. Hal ini salah bentuk keadilan bagi setiap warga negara untuk memperoleh informasi. 

Pendapat tersebut disampaikan Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, ketika menjadi salah satu narasumber dalam Diskusi Publik dan Webinar yang diselenggarakan Radio Republik Indonesia (RRI) dalam rangka memperingati 75 Tahun RRI. Webinar ini membawa tema “Mampukah RRI Menjadi Media Publik Bagi Masyarakat Indonesia”?

Menurut Agung, lembaga penyiaran berperan memberikan kebutuhan informasi bagi masyarakat termasuk di wilayah 3T. Sayangnya, tidak banyak lembaga penyiaran yang beroperasi di daerah itu. Keterbatasan infrastruktur hingga daerah yang sulit terjangkau (persoalan geografi) menjadi kendala yang dihadapi banyak lembaga penyiaran swasta. 

Terkait masalah ini, Agung menilai RRI memiliki kemampuan untuk masuk ke wilayah 3 T. Peran RRI bahkan sangat signifikan khususnya siaran bagi masyarakat di daerah perbatasan. “Jika secara geografi, lembaga penyiaran swasta jarang mau menyiatkan program siaran di daerah 3 T. Padahal masyarakat di wilayah tersebut juga memiliki hak yang sama dalam memperoleh informasi. Walau ini jadi tantangan, saya rasa peran RRI sangat dibutuhkan di daerah 3 T ini,” ujarnya.

Tantangan lain yang lebih besar dan akan mungkin sudah dihadapi RRI yakni kompetisi dengan media baru. Agung menyampaikan, piramida penduduk Indonesia menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun lagi, populasi usia millennial akan mencapai 60%. Para millennial ini cenderung menonton media baru. “Oleh karena itu RRI ditantang untuk tetap bisa bersaing dengan kemunculan media baru,” katanya.

Menyangkut media baru, Agung menyinggung pentingnya persamaan atau perlakuan yang adil bagi semua media termasuk media baru. Pasalnya, media penyiaran memiliki aturan yang tegas dan jelas untuk dapat bersiaran di wilayah Indonesia. Adapun media baru, belum ada yang memayungi sehingga dibiarkan tanpa pengawasan.

“Jika isi siaran dari lembaga penyiaran diatur secara ketat melalui P3SPS, maka media baru juga harus demikian. Dalam pengaturan iklan misalnya, lembaga tidak boleh menampilkan iklan rokok. Sedangkan di media baru, iklan rokok masih bisa tayang. Oleh karena itu, kita ingin perlakuan dan pengawasan yang fair antara lembaga penyiaran dan media baru,” tegasnya. 

Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI, Junico BP Siahaan, biasa disapa Nico Siahaan, menyampaikan pentingnya mensiarankan program acara yang berkualitas dan baik. Pasalnya, masih banyak tayangan yang tidak berkualitas ditonton masyarakat. “Jangan hanya berorientasi pada viewer tapi juga kualitasnya,” katanya di ruang diskusi tersebut.

Selain Ketua KPI Pusat dan Junico BP Siahaan, turut hadir narasumber lain yakni Dr. Eni Maryani, M.Si (Akademisi UNPAD), dan Tantri Relatami, (Dewan Pengawas RRI). ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.