Ambon - Kehadiran Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi yang dilaksanakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bertujuan memberikan sebuah sudut pandang yang berbeda kepada industri penyiaran, agar tidak semata-mata menggunakan data kuantitatif dalam bentuk rating dan share, namun juga memperhatikan kualitas konten siaran. Mengingat tujuan dari penyiaran adalah membangun karakter bangsa di satu sisi, dan juga mengembangkan industri penyiaran pada sisi yang lain. Kedua tujuan ini harus berjalan secara sinergi, dalam artian industri harus dapat berkembang dengan keragaman konten, tapi kualitas konten yang tersaji juga tetap harus diperhatikan.
Hardly Stefano Pariela menyampaikan hal tersebut dalam Workshop Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi 2020 untuk wilayah Ambon, yang dilaksanakan KPI secara daring bekerja sama dengan Universitas Pattimura, (10/6). Saat membuka workshop tersebut, Hardly memaparkan esensi dari penyiaran, yang merupakan medium hiburan dan informasi. Dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran, selain menyebut dua fungsi tersebut, penyiaran juga berfungsi sebagai media pendidikan, kontrol dan perekat sosial, serta menjalankan fungsi ekonomi dan kebudayaan.
Pada awalnya penyiaran di Indonesia hanya dilakukan oleh satu stasiun televisi, yaitu TVRI yang pembiayaannya dilakukan oleh pemerintah. Hal ini tentu berdampak pada agenda siaran yang juga sepenuhnya ditentukan pemerintah. Perkembangan berikutnya, pihak swasta diberikan kesempatan mendirikan stasiun televisi yang kemudian menjadi tonggak awal industrialisasi penyiaran. Jika TVRI mendapatkan pembiayaan dari pemerintah, televisi berlangganan memperolehnya dari iuran konsumen, maka televisi free to air mendapat pemasukan dari pemasangan iklan. Sehingga mengakibatkan orientasi utama dalam produksi konten siaran yakni mendapatkan sebanyak mungkin penonton. “Pengukuran kinerja program siaran dari televisi free to air, untuk mendapat kue iklan yang potensial, diperoleh dari lembaga survey kepemirsaan yang disajikan dalam data dengan satuan rating dan share,” ujar Hardly.
Saat ini, terdapat 16 stasiun televisi free to air, yang dapat bersiaran lintas wilayah melalui sistem stasiun jaringan. Banyaknya lembaga penyiaran ini, terang Hardly, mengakibatkan terjadinya over kompetisi, sehingga lebih terfokus untuk saling memperebutkan penonton, dan hampir tidak menyisakan ruang untuk membangun idealisme konten.
Sedangkan untuk program siaran yang berkualitas namun tidak mampu mendapatkan rating dan share yang baik, tentu berkonsekuensi pada kurangnya pemasang iklan. ”Ujungnya adalah pemberhentian program siaran, lantaran bukan saja tidak mendapatkan keuntungan, namun mengalami defisit pembiayaan dalam proses produksi,” terang Hardly.
Sebagai regulator penyiaran, tentunya KPI berkepentingan menjaga agar setiap program siaran yang hadir di tengah masyarakat memiliki nilai-nilai yang selaras dengan pembentukan karakter bangsa. Dari hasil riset yang dilaksanakan KPI ini, diharapkan menjadi catatan bagi lembaga penyiaran untuk melakukan perbaikan atas program siaran yang dinilai belum berkualitas. Dalam riset ini, KPI mengikutsertakan para informan ahli yang berasal dari kalangan akademisi untuk melakukan analisis terhadap sembilan kategori program siaran. Tentunya penilaian dari kalangan pendidik ini juga menjadi cermin aspirasi masyarakat terhadap kualitas program siaran.
Hasil riset menjadi instrumen bagi berbagai pihak, khususnya lembaga penyiaran untuk senantiasa meningkatkan kualitas, serta panduan menonton bagi masyarakat. Program siaran yang mendapat penilaian berkualitas dalam riset ini, akan masuk dalam data base KPI bersama program siaran lainnya yang menjadi nomine dalam berbagai penganugerahan KPI.
Hingga saat ini, KPI telah menghimpun 129 program siaran berkualitas berdasarkan penilaian tahun 2019, dan masih tayang hingga saat ini. “Ini adalah role model, sekaligus menegaskan positioning KPI dalam menilai kualitas konten siaran,” tegas Hardly. KPI juga sudah melakukan publikasi terhadap 129 program siaran tersebut dalam kampanye Bicara Siaran Baik melalui sosial media KPI. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat memiliki panduan dalam memilih program siaran, sekaligus menjadi stimulan atau pemicu masyarakat untuk ikut mereferensikan dan menviralkan siaran yang baik. Selain itu, program-program siaran yang berkualitas ini juga menjadi bagian dalam agenda Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa. Dalam setiap kegiatan literasi yang dilakukan oleh KPI, dihadirkan perwakilan dari salah satu program berkualitas, agar dapat menyampaikan tentang dinamika proses produksinya kepada khalayak secara luas. “Kami berharap, masyarakat dapat memahami bagaimana standar diproduksinya sebuah program siaran yang berkualitas,”ujarnya. Tentu saja harapannya masyarakat juga memberikan apresiasi demi menjaga keberlangsungan program siaran berkualitas di layar kaca.
Dukungan terhadap pelaksanaan Riset ini disampaikan pula oleh Direktur Politik dan Komunikasi Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ BAPPENAS, Wariki Sutikno. Menurutnya, BAPPENAS berkepentingan untuk menjaga Riset yang merupakan program prioritas nasional ini tetap eksis. Sebagaimana BAPPENAS juga berkepentingan menjaga agar lembaga penyiaran senantias meningkatkan kualitasnya. “Dari hasil survey terbaru, diketahui penonton televisi masih mencapai 95% dari penduduk,”ujarnya. Meskipun saat ini ada penetrasi yang luar biasa dari media dengan platform digital. “Peran lembaga penyiaran di negara mana pun juga sangat penting,” ujar Wariki. Karena itu kualitas siaran harus diawasi dengan tata nilai, indicator dan ukuran yang telah disepakati bersama untuk dikedepankan. Untuk itulah, tambahnya, posisi KPI sebagai regulator penyiaran menjadi sangat strategis guna menjaga kualitas konten siaran di negeri ini.
Prof Dr Tonny D Pariela, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pattimura menyatakan komitmennya untuk mendukung pelaksanaan Riset KPI di wilayah Ambon. Tony menyampaikan pula bahwa Riset ini diharapkan dapat menjadi basis pengambilan kebijakan untuk memebuhi kebutuhan masyarakat secara obyektif.