Jakarta – Permohonan izin penyiaran melalui sistem OSS (online single submission) yang diberlakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mendapat apresiasi dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Berbasis biaya murah dan cepat, sistem ini diharapkan dapat memberi pelayanan yang menguntungkan semua pemohon izin penyiaran. Namun, ada beberapa catatan yang harus disempurnakan pemerintah cq Kemenkominfo sebelum mengaktifkan secara penuh sistem pelayan izin ini.
Ketua KPID Kalimantan Barat (Kalbar), Syarifuddin Budi, menilai secara umum sistem OSS Kominfo baik tapi ada beberapa hal yang perlu diperbaiki. Salah satu yang menjadi perhatian adalah pemohon dari lembaga penyiaran komunitas yang dasar pendiriannya bukan untuk kebutuhanh ekonomi alias investasi.
“Sistem ini berbicara konteks investasi. Namun, kita harus tahu tidak semua pemohon izin berbicara soal investasi. Kita memang harus baik memfasilitasi yang mau investasi, tapi yang tidak untuk invetasi harus kita pikirkan juga. Ini bicara soal kebebasan ruang, soal membangun kebudayaan dan NKRI. Pihak yang tidak bicara soal investasi juga perlu terlibat seperti penyiaran komunitas,” jelasnya pada Direktur Penyiaran Kemenkominfo, Gerryantika Kurnia, di Rapim KPI 2018 yang berlangsung di Hotel Grand Mercure, Senin (26/11//2018).
Sementara itu, Widodo Prihadi, juga dari KPID Kalbar mengatakan, ada kesulitan yang harus dipikirkan pemerintah terkait pelaksanaan sistem ini yakni persoalan sinyal di sejumlah daerah. Di wilayah Kalbar masalah sinyal masih menjadi kendala utama. “Kita pun sering kali harus mengedukasi pemohon untuk proses ini. Belum lagi ada masalah soal NPWP, dan jika ada perbedaan indentitas hal ini akan jadi sandungan. Masalah teksni ini sebaiknya pemerintah harus melakukan bimtek ke lapangan,” katanya.
Ketua KPID Kaltim Syarifuddin memandang, sistem OSS harus dilihat secara menyeluruh karena ada persoalan bagaimana frekuensi ini sebagai sumber daya alam terbatas. “Jika semua harus dilakukan sehari, jadi siapa cepat dia akan dapat. Padahal peluang usaha penyiaran sangat terbatas,” katanya.
Selain itu, dia juga mengkhawatirkan sistem ini belum begitu siap diimplementasikan seperti yang terjadi di e-penyiaran. “Saat ini, karena kita masih mengacu pada UU Penyiaran yang masih berlaku hingga sekarang,” jelas Syarif, panggilan akrabnya.
Ketua KPID Jambi, Berry Hermawati, memberi apresiasi sekaligus tiga catatan untuk sistem ini. Menurutnya, program ini dapat memangkas alur perizinan yang sangat panjang. Tapi dia mengingatkan program ini jangan hanya untuk menggugurkan kewajiban. “Perlu diingat jika pintu masuk perizinan penyiaran itu ada di KPID. Apakah dalam sistem ini masih ada, kalau tidak ada tidak apa-apa biar tidak ada kebingungan oleh pemohon,” jelasnya.
Berry juga bertanya posisi pengawasan konten oleh KPID dalam sistem ini. Menurutnya, harus ada kepastian soal ini. “Tapi sebelum ini diterapkan, sebaiknya dikaji dan disosialisasikan. Pasalnya, ada perbedaan pandangan antara Jakarta dan di daerah seperti Jambi,” paparnya.
Sementara itu, Komisioner KPID Sulawesi Selatan (Sulsel), Mattewakang memandang, setiap aplikasi yang dibuat pemerintah pusat harus memikirkan kerangka berpikir daerah. Menurutnya, pemerintah daerah akan melihat hal itu penting dan dilaksanakan jika memberi pemasukan bagi PAD.
“Daerah harus punya peluang dalam urusan ini seperti soal lembaga penyiaran berlangganan. Jangan mereka gunakan sumber daya daerah tapi keuntungan ke pusat. Sebaiknya pemerintah memikirkan hal ini supaya daerah punya keuntungan soal ini,” pinta Mattewakang.
Direktur Penyiaran Kemenkominfo, Geryantika mengatakan, proses perizinan semakin ke depan harus makin dipermudah. Upaya ini untuk mempermudah semua investasi masuk ke Indonesia. “Kita ingin menyehatkan izin penyiaran. Kita potong semua rantai izin dengan hanya satu lembar saja. Kita berpikir simple aja. Hanya dalam waktu seminggu izin sudah bisa keluar. Perubahan ini luar biasa. Di internal kominfo saja ada pekerjaan yang hilang. Kita harus berubah,” jelasnya.
Melalui sistem ini, FRB dan EUCS dilakukan secara online. IPP diterbitkan segera setelah persetujuan FRB tetapi belum berlaku efektif (dahulu IPP Prinsip) dan pemohon wajib memenuhi daftar komitmen.
Menurut Gery, soal perizinan penyiaran, pihaknya sudah tidak menjadikan sebagai hal utama . Dari sistem ini, yang Kominfo pikirkan adalah soal kualitas. “Jangan berpikir pemerintah akan mengkerdikan KPI dan KPID. Justru kita ingin buat KPI menjadi power full. Kita akan kolaborasi dengan KPID agar sistem ini bisa berjalan dengan baik. Kita harus berpikir lebih maju. Tujuan kita untuk melakukan perubahan. Kita tidak bisa lawan perubahan ini tapi bagaimana mengikuti dan menyesuaikan,” katanya. ***