Jakarta - Kita saat ini sedang berada dalam dunia yang terbuka (open world). Keterbukaan yang dimaksud adalah keterbukaan interaksi yang telah melampaui batas-batas negara. Melalui instrumen media, hubungan antara sesama dapat terjadi secara langsung tanpa perlu kontak fisik karena media komunikasi sudah begitu maju dan beragam bentuknya. Kemajuan media komunikasi menyebabkan derasnya arus informasi yang hadir menembus batas-batas nilai ekonomi, budaya, politik, dan hukum. Akibatnya, kita berada dalam efek media yang mempengaruhi pola pikir dan realitas sosial.
Merujuk pendapat McQuail (1993), keberadaan kita saat ini di tengah-tengah perkembangan media digambarkan pada fase keempat perkembangan studi efek media, yaitu negotiated media influence. Fase yang dimulai sejak akhir tahun 1970-an ini memiliki asumsi bahwa media memiliki kekuatan pengaruh yang kuat, khususnya dalam mengkonstruksi gambaran khalayak mengenai realitas sosial.
Sejalan dengan hal tersebut, Walter Lippmann (1997) mengemukakan bahwa world outside and pictures in our heads. Menurutnya, media adalah pembentuk makna (the meaning construction of the press). Interpretasi media massa terhadap berbagai peristiwa secara radikal dapat mengubah interpretasi orang tentang suatu realitas dan pola tindakan mereka. Realitas yang ada di media adalah realitas simbolik karena realitas yang sebenarnya tak dapat disentuh (untouchable). Kemampuan yang dimiliki media massa adalah menentukan realitas di benak khalayak dan membentuk pola pikir, tindakan, dan budaya masyarakat.
Pesatnya perkembangan media di satu sisi adalah hal positif. Media berperan penting dalam pembangunan demokrasi dan meneguhkan kebebasan. Media menciptakan ruang-ruang kontrol yang besar dan membangun kesadaran kolektif. Namun di sisi yang lain, perkembanngan media adalah suatu ancaman serius bagi nilai-nilai funamdental kebangsaan. Ibarat dua sisi mata uang yang bebeda, media mempunyai pengaruh positif dan negatif. Dari sisi ancaman terhadap bangsa, media mentransfer nilai-nilai dari “luar” yang belum tentu cocok dengan jati diri bangsa.
Media mempunyai fungsi “transfer nilai” yang dapat membawa perubahan bagi tatanan nilai suatu bangsa. Media dapat mengubah segala hal dalam tatanan suatu bangsa. Media tidak saja menyampaikan berita dan informasi, tetapi juga mengubah nilai. Karena itu, pengaturan tentang media melalui regulasi menjadi suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar. Bahkan bagi negara-negara demokrasi liberal, pengaturan media tetap menjadi suatu kebijakan untuk mengendalikan peran media dalam pembangunan demokrasi.
Setelah runtuhnya rezim otoriter tahun 1998, kita mempunyai beberapa regulasi untuk mengatur media. Mulai dari lahirnya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers untuk melindungi kekebasan pers sekaligus juga membangun institusi pers yang bertanggung jawab dalam pembangunan demokrasi; UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang dilandasi semangat untuk mewujudkan kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi melalui penyiaran sebagai perwujudan hak asasi manusia namun harus dilaksanakan secara bertanggung jawab; dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk menjamin kemajuan teknologi informasi namun tetap dilaksanakan secara bertanggung jawab.
Permasalahan dan tantangan yang kita hadapi sekarang adalah regulasi media belum sejalan dengan tanggung jawab media untuk menjadi media komunikasi yang bertanggung jawab dalam menjaga keseimbangan antara kebebasan dengan tanggung jawab untuk mendidik rakyat. Masyarakat kita terbawa dalam arus kebebasan media tanpa kemampuan filter. Apalagi tingkat literasi media masyarakat yang masih rendah membuat masyarakat berada dalam situasi yang mudah dipengaruhi oleh media.
Ancaman Ketahanan Bangsa
Sadar atau tidak, media yang tumbuhnya luar biasa pesat adalah kabar baik sekaligus kabar buruk. Baik karena masyarakat mempunyai alternatif akses terhadap informasi yang beragam dan tidak terbatas, tetapi kabar buruknya, masyarakat berada dalam arus perubahan yang mengarah pada terkikisnya nilai-nilai kebangsaan.
Remaja adalah kelompok masyarakat yang mudah terbawa oleh arus informasi media. Remaja menjadi kelompok yang sangat rentan karena mudah “dipengaruhi” dan “dibentuk” pola pikirnya serta tindakannya. Apalagi kelompok ini adalah kelompok terbesar dalam penggunaan internet dan sosial media. Menurut hasil penelitian Kementerian Informasi (2014), dari jumlah pengguna media internet, 80 persen adalah remaja berusia 15-19 tahun. Sementara itu, menurut rilis penelitian oleh Global Web Index pada tahun 2015, media sosial yang paling sering diakses oleh masyarakat Indonesia secara spesifik adalah situs-situs media sosial seperti Facebook, Twitter, Path, Google+, Line, Whatssapp, Pinterest, LinkedIn, Instagram, dan Skype.
Ini menunjukkan bahwa perlu kebijakan untuk mengendalikan media melalui regulasi yang tepat sehingga masyarakat tidak terbawa dalam pesatnya arus media yang berpotensi mengancam ketahanan bangsa. Ketahanan bangsa dalam terminologi modern bukan lagi terbatas pada ketahanan militer, tetapi maknanya telah meluas, yakni mencakup ketahanan ekonomi, politik, hukum, dan budaya.
Untuk menghancurkan masa depan suatu bangsa, pendekatan militer sudah tidak lagi menjadi pilihan yang populer bagi musuh karena itu merupakan instrumen yang konvensional, tetapi dengan menggunakan instrumen nonkonvensional, salah satunya melalui peran media. Media dimanfaatkan untuk menghancurkan karakater bangsa dengan infiltrasi budaya sehingga cara pikir, sikap, dan tindakan masyarakat berubah. Karena itu, yang dibutuhkan sekarang adalah kebijakan dan pendidikan media bagi masyarakat. Jika tidak ada kebijakan yang tepat dan pendidikan media kepada masayarakat untuk menjawab tantangan media saat ini, maka masyarakat kita berada di ambang kehancuran budaya. Ini berarti ketahanan bangsa semakin berada di titik yang rawan.
Oleh: Dave Akbarshah Fikarno Laksono
Anggota Komisi I DPR RI
(Tulisan sudah dimuat di Okezone News)
Media dan Ketahanan Bangsa
- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 12626