Jakarta - Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran dinilai sangat mendesak untuk segera direvisi. Hal ini dikarenakan perkembangan tekhnologi dan informasi yang kian pesat, sementara di sisi lain, digitalisasi penyiaran di negara-negara lain sudah berlangsung.
"Di negara tetangga, digitalisasi sudah diberlakukan. Migrasi penyiaran dari analog ke digital, itu adalah sebuah keharusan. Kita tinggal menunggu payung hukum yang sekarang masih digodok di DPR." ungkap Agung Suprio, Koordinator bidang pengelolaan struktur dan sistem penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat saat menghadiri rapat pembahasan “Migrasi Penyiaran Analog ke Digital” di kantor Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam), (24/1).
Selain itu, Agung menjelaskan jika penyiaran berbasis digital akan mendorong upaya demokratisasi. "Dengan penyiaran digital, setiap orang akan berpotensi menjadi pemilik televisi sehingga konten dan informasi akan semakin beragam." lanjutnya.
Persoalan lain tentang pengelolaan sistem penyiaran, adalah tentang pilihan penggunaan single mux operator dan multi mux operator. Agung menjabarkan, apapun pilihannya harus berdasarkan pada tiga prinsip yakni, tidak diskriminatif, profesional dan pengalaman.
"Di beberapa negara Eropa, tiga prinsip itu penting. Kalau di Indonesia, frekuensi milik negara untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jadi, prinsip diatas menjadi spirit pengelolaannya." jawabnya tegas. Sementara itu, terkait dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran di DPR, Agung optimis DPR akan segera menemukan titik temu dalam pembahasan RUU tersebut.