Jakarta – Lahirnya UU Penyiaran empat belas tahun silam melambungkan harapan industri penyiaran Indonesia khususnya TV lokal untuk berkembang. Berlandaskan asas keberagaman kepemilikan dan juga keberagaman isi siaran harapan terwujudnya penyiaran di tanah air yang demokratis semakin konkrit.
Sayangnya, harapan publik menikmati kondisi yang selaras dengan tujuan UU Penyiaran No.32 tahun 2002 jauh panggang dari api. Salah satunya soal keberadaan TV-TV lokal di daerah yang satu per satu tumbang atau juga tergadaikan. Persoalan finansial menjadi faktor utama selain kesulitan mereka bersaing dengan televisi yang mampu bersiaran secara nasional.
Dalam acara FGD (focus grup diskusi) yang diselenggarakan KPI Pusat, Selasa, 1 Maret 2016, dibahas bagaimana kondisi dan problematika TV lokal selama ini. Komisioner KPI Pusat sekaligus Koordinator bidang Kelembagaan Bekti Nugroho di awal diskusi mengatakan persoalan TV lokal menjadi perhatian KPI dan pihaknya berupaya mencari solusi.
KPI, lanjut Bekti, ingin mengubah cara pandang publik terhadap TV lokal yang dinilai kurang merasa memiliki TV lokal yang ada di daerahnya. “Seharusnya, publik daerah punya rasa bangga dan memiliki TV lokalnya. Mengapa ini bisa terjadi. Kita harus tahu kenapa,” harap Komisioner yang juga Koordinator bidang Kelembagaan KPI Pusat.
Sebenarnya persoalan apa yang melilit TV lokal hingga sulit berkembang di daerah. Satu per satu perwakilan dari beberapa TV lokal diberi kesempatan menyampaikan pengalamannya. Perwakilan dari TV KU Semarang, Heri, bercerita bagaimana mereka merasa gelisah ketika kebijakan migrasi dari analog ke digital harus dilaksanakan. Meskipun secara prinsip mereka siap melaksanakan tapi persoalan MUK (lembaga penyelenggara multiplexing) dirasa agak memberatkan khususnya mengenai sewa kanal. “Kami mendengar tarif sewanya mencapai 80 juta perbulan. Ini menyulitkan kami yang berstatus TV lokal. Soal ini, kami butuh kejelasan,” tandasnya.
Winata dari Cakra TV juga bercerita ketika TV lokal muncul dan pada saat itu semua orang ingin membuatnya dan yang terjadi dikemudian hari mereka beramai-ramai menjualnya. Menurutnya, bisnis TV adalah bisnis oriented. Bisnis ini sama artinya dengan bisnis mempengaruhi. Saat sebuah TV lokal sudah masuk ke dalam jaringan induk, itu menandakan TV tersebut sudah kolaps. “Meskipun hanya bersiaran 11 jam dan berdarah-darah, kami tetap idealis. Kami tidak mau TV ini dijual,” tegasnya.
Sulitnya mendapatkan pengiklan juga diceritakan Winata. Keadaan ini disebabkan paradigma pengiklan yang menghitung cakupan penonton dari televisi tersebut. “Cakupan TV lokal itu terbatas, sedangkan TV yang bersiaran nasional cukup luas. Mereka menghitung 1 rupian di TV kami hanya bisa menjangkau 10 orang,” katanya.
Hal itu juga terkait aturan yang memberikan batas maksimal pancar atau siaran bagi TV lokal hanya 5000 watt. Angka tersebut hany cukup menjangkau wilayah radius kurang dari 10 km. Sedangkan TV yang bersiaran nasional bisa lebih dari 10.000 watt.
Menurut Winata, keberadaan TV lokal harus diperjuangkan dan dibela. “Televisi itu kan bisnis yang padat modal, padat karya dan kami kesulitan SDM. Semakin banyak karyawan, semakin banyak pengeluaran. Makanya TV Lokal perlu dibela, tapi kami realistis KPI juga agak sulit membela kami dengan regulasi yang sangat terbatas. Perlu ada keberpihakan kepada kami agar TV lokal bisa tumbuh dan melestarikan program-program budaya daerah,” pintanya.
Sementara itu, Mursalin dari PON TV mengharapkan agar perubahan UU Penyiaran bisa memberikan kepastian terhadap nasib TV lokal. Jika UU tersebut condong terhadap keberlangsungan TV lokal, maka hal ini akan memberikan dampak positif terhadap perkembangan TV lokal.
“Kami juga perlu dipertemukan dengan investor agar kami tumbuh. Karena sangat sedikit inverstor yang mau invest pada TV lokal. Perlu survey di daerah tentang efektivitas TV lokal,” tambahnya.
Cerita yang disampaikan Heri, Mursalin, dan Winata sudah cukup menggambarkan sulitnya kehidupan TV-TV di daerah. Belum lagi jika kita dengarkan cerita dari belasan perwakilan TV lokal yang hadir dalam FGD di kantor KPI Pusat tersebut.
Mendengar curahan hati dari TV lokal, Komisioner KPI Pusat Fajar Arifianto Isnugroho turut prihatin. Dirinya beranggapan hal itu disebabkan oleh ketidakadilan aturan terhadap mereka. Awalnya, kata Komisioner bidang Kelembagaan KPI Pusat ini, hadirnya sistem siaran jaringan akan banyak membantu eksistensi TV lokal dengan pembagian keuntungan yang adil. Sayangnya, hal itu justru tidak berjalan.
“Kami berharap sistem stasiun jaringan dengan konsep sebenarnya bisa berjalan. TV nasional bisa menggandeng TV lokal, sehingga bisa hidup. Maka dari itu, kami menghimbau agar teman-teman TV lokal memberikan catatan kepada menkominfo,” pintanya.
Terkait hal itu, Fajar mengusulkan agar diskusi ini mengeluarkan semacam rekomendasi kepada Menkominfo. Rekomendasi ini penting karena menyangkut keberadaan TV lokal sudah berjuang mati-matian untuk menghidupi penyiaran di daerah. “Saat saya di KPI Daerah Jatim , saya biarkan TV lokal tumbuh dahulu baru diatur. Ini kan tidak. Belum tumbuh tapi sudah dibatasi,” katanya.
Mantan Ketua KPID Jatim periode 2010-2013 ini juga mengharapkan agar paket kebijakan Presiden Jokowi menyentuh dunia penyiaran karena investasinya luar biasa. Paket tersebut bisa menyentuh ISR gratis dan IPP gratis. Harapannya, demi kebaikan dan perkembangan TV lokal di Indonesia. Kehadiran mereka sangat terasa dalam menjaga keutuhan keberagaman budaya yang ada di tanah air.