Jakarta – Hampir lima tahun sejak digulirkan pada 2010, perubahan UU Penyiaran No.32 tahun 2002 hingga sekarang masih dalam pembahasan di DPR. Di tahun 2016 ini, Komisi I DPR RI menyatakan akan menuntaskan pembahasan revisi undang-undang tersebut menjadi UU Penyiaran baru. Namun, seperti apakah isi Rancangan UU-nya dan sejauh mana draft perubahan UU Penyiaran itu bisa meredam rasa resah publik dan mengurai benang kusut penyiaran di tanah air?
Pada diskusi bertemakan “Quo Vadis Penyiaran Kita” yang diprakarsai Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) di Gedung Nusantara I, Senayan, Kamis 25 Februari 2016, kembali dicuatkan topik mengenai perubahan UU Penyiaran. Empat narasumber dihadirkan dalam diskusi tersebut, yaitu Wakil Ketua Komisi I DPR RI Hanafi Rais, Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad, Perwakilan Akademisi Pinckey Triputra, dan Praktisi Penyiaran Edy Kuscahyanto. Peserta diskusi yang hadir datang dari kalangan pemerhati media, lembaga penyiaran, LSM, media massa, kalangan pendidik dan orangtua, dan beberapa Anggota DPR RI.
Di awal diskusi, pakar media yang juga akademisi dari Universitas Indonesia (UI) Pinckey diberi kesempatan mengutarakan pokok pikirannya dan sempat menyinggung perihal adanya pelemahan terhadap kewenangan KPI dalam RUU Penyiaran yang sedang dibahas DPR. Salah satu poin pelemahannya menyangkut keterlibatan KPI dalam hal penyelenggaran penyiaran yang dikhawatirkan tidak ada dalam draft tersebut.
Padahal, menurut Pinckey, KPI harusnya memiliki kewenangan dalam prosesi penyelenggaraan penyiaran atau perizinan penyiaran. Menurut Dosen Ilmu Komunikasi UI, keterlibatan tersebut sangat berkaitan dengan konten siaran.
“Isi siaran dipengaruhi oleh organisasi kelembagaan dari lembaga penyiaran tersebut, lanjut Pinckey, karena ini berkaitan dengan prinsip keberagamaan kepemilikan. Jika prinsip yang biasa diistilahkan sebagai Diversity of Ownership ini tidak berjalan, maka sangat mungkin mempengaruhi proses ke bawahnya seperti produksi, distribusi dan konsumsi,” jelasnya.
Pinckey bergeming agar KPI tetap memiliki kewenangan tersebut dan makin diperkuat dalam perubahan UU Penyiaran. Terasa hambar rasanya jika KPI hanya mengurusi persoalan isi siaran meskipun kewenangan memberikan sanksi pada pelanggar aturan P3SPS akan lebih diperberat dengan pemberlakuan denda finansial. “Isi siaran itu sangat dipengaruhi oleh organisasinya. Karena itu, kami mendorong penguatan fungsi-fungsi KPI,” ujarnya.
Penegasan mengenai penguatan kewenangan atau kelembagaan KPI juga dipaparkan Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad. Dalam presentasinya, ada tiga aspek penguatan KPI diutarakan Komisioner KPI Pusat bidang Isi Siaran ini. Penguatan ini dimaksudkan untuk menghapus indikasi dan faktor kelemahan yang terjadi seperti status ambigu lembaga negara, anggaran yang terbatas, hanya sebagai pemberi rekomendasi perizinan, adanya pengabaian sanksi, sanksi hanya menjangkau lembaga penyiaran tidak menyangkut pembawa acara, dan serba tanggung terkait perizinan dan isi siaran.
Pertama, penguatan kelembagaan KPI dalam hal penyempurnaan rekruitmen anggota KPI, masa bakti jabatan hingga 5 tahun, pembentuk dewan kehormatan atau etik KPI, pembentukan hubungan KPI Pusat dan KPID yang hierarkis, pengembangan kesekretariatan KPI Pusat menjadi Sekjen yang semula hanya di level sekretariat, dengan tidak melupakan pemenuhan daya dukungan.
“Semisal, periode sekarang yang hanya sampai tiga tahun jabatan. Ini dirasa kurang. Baru saja mulai sudah harus berakhir. Kemudian keberadaan kesekretariatan KPI Pusat yang saat ini hanya dikepalai pejabat setingkat esselon II. Harusnya setingkat esselon I dengan sekretariat dikembangkan menjadi kesekjenan,” jelasnya di tengah memberi presentasi.
Kedua, penguatan kewenangan antara lain soal penyelenggaraan internet TV atau streaming, pemberian izin penyelenggaraan penyiaran, pemberian izin program siaran, penentuan standar program siaran, penentuan kuota format siaran, penilaian program siaran sebelum tayang, dan pengawasan penuh isi siaran.
Ketiga, penguatan jenis sanksi mulai dari teguran, penghentian sementara, penghentian tetap program acara yang bermasalah, sanksi denda, pembekuan siaran, dan rekomendasi mengikat pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP).
“Adanya sanksi denda finasial seperti yang diterapkan di beberapa negara luar, diharapkan bisa menimbulkan efek jera untuk perbaikan isi siaran,” jelasnya.
Idy menyinggung beberapa posisi yang berkaitan dengan perubahan UU ini antara lain posisi legislator. Menurutnya, legislator harus memiliki kepekaan (sensitifitas) mendalam untuk menyelami permasalahan penyiaran. Ini akan berkaitan terhadap penciptaan sebuah UU Penyiaran baru yang mampu memecahkan problema penyiaran secara sistemastis.
Posisi lain dalam perubahan UU Penyiaran yang bicarakan Idy adalah pemerintah, perihal peran mereka dalam UU tersebut. Menurut Idy, dalam sebuah tatanan penyiaran yang demokratis, peran lembaga negara independen adalah ujung tombak terdepan dalam pengaturan penyiaran. “Pembagian kewenangan ini harus jelas antara pemerintah dengan KPI,” katanya.
Pendapat Idy sangatlah beralasan. Amerika Serikat dan Australia yang menganut sistem demokrasi secara tulus memberikan kewenangan mengenai penyiarannya kepada lembaga independen semacam FCC (Federal Communications Commission) dan ABC (Australian Broadcasting Corporation).
Karena itu pandangan Idy mengenai demokratisasi penyiaran yang dipaparkannya terasa pas dengan apa yang diterapkan di banyak negara berhaluan paham ini. Penyiaran itu harus dari rakyat (frekuensi milik publik, kekayaan di udara), oleh rakyat (pengelolaan media melibatkan publik, publik sebagai subyek bukan hanya obyek) dan untuk rakyat (sebesar-besarnya untuk kepentingan, kesejahteraan, dan kemaslahatan rakyat).
Sementara itu, terkait posisi industri penyiaran dan kepentingannya harus diseimbangkan dengan tanggung jawab sosial meskipun terdapat orientasi keuntungan ekonomi. Sayangnya, lanjut Idy, peran publik sebagai pengawal perubahan UU dinilainya makin jauh dari peduli. Padahal, saat UU Penyiaran tahun 2002 pasca reformasi dibahas, publik begitu peduli.
Tapi, momentum perubahan UU ini tidak boleh dilewatkan. KPI berupaya memanfaatkan momentum ini sebagai upaya untuk meningkatkan isi siaran dan perkembangan dunia penyiaran di tanah air. Ini untuk kebaikan penyiaran Indonesia dan mengurai benang kusut masalah penyiaran yang terjadi selama ini. “Harapannya, legislator dalam hal ini DPR, dapat menciptakan undang-undang yang solutif bagi semuanya,” tandas Idy menutup presentasinya. ***