Bukan rahasia jika banyak pihak geram dengan perilaku televisi yang menjadikan rating sebagai acuan utama memproduksi program. Kekerasan, seks, dan mistik kerap hadir di layar dengan alasan rating tinggi.
Mengejutkan, ketika Presiden Joko Widodo merasa perlu menyinggung peran media yang selama ini mengejar rating dalam pidato menyambut HUT Ke-70 RI di hadapan SU MPR 14/8/2015. Di mana tanggung jawab televisi?
Presiden Jokowi menyinggung media dan rating dalam pidato kenegaraannya beberapa waktu lalu, ”Ketika media hanya mengejar rating dibanding memandu publik untuk meneguhkan nilai keutamaan dan budaya kerja produktif, masyarakat mudah terjebak histeria publik. Terutama isu-isu yang berdimensi sensasional.”
Pernyataan Presiden ini dipandang keras, bahkan ia mengulangnya sampai dua kali. Bicara mengenai media yang mengejar rating, tentu sasarannya adalah media penyiaran. Media massa selain televisi menggunakan metode lain untuk mengukur daya serap produknya seperti surat kabar atau majalah menggunakan banyaknya eksemplar (oplag) yang laku di pasar.
Sementara media penyiaran (televisi/radio) menggunakan teknik rating untuk mengukur jumlah pemirsa yang menyaksikan suatu program pada waktu tertentu. Tapi, salahkah jika televisi menggunakan rating?
Rating: Antara Kuantitas dan Kualitas
Alat ukur kepemirsaan televisi dengan sistem rating sering menjadi pertanyaan publik. Mengapa tetap dipakai oleh televisi sebagai acuan, padahal program dengan rating tinggi isinya kerap bermasalah. Televisi menggunakan sistem rating karena metode ini yang dipercaya pemasang iklan untuk melihat berapa banyak penonton yang menyaksikan suatu program yang tayang.
Hal ini penting, mengingat televisi terutama yang swasta, merupakan industri padat modal dan mengandalkan pemasukan dari pengiklan untuk membiayai operasionalnya. Yang jadi masalah adalah lembaga konsultan pengukur rating yang digunakan televisi cenderung monopolistik. Alasannya, lembaga inilah satu-satunya yang dipercaya pemasang iklan sebagai alat ukur.
Banyak pihak sering menyangsikan metodologi dan pengambilan sampel dari pengukuran rating ini. Contoh sederhananya adalah pemakaian 2000 pemirsa televisi dari 10-12 kota besar di Indonesia yang menjadi sampel. Penduduk Indonesia lebih dari 250 juta jiwa, dan terdapat lebih dari 500 kabupaten/kota dari Sabang sampai Merauke.
Tentu penduduk dari kota-kota selain sampel tadi tidak akan pernah benar-benar terwakili aspirasinya. Perlu diingat juga bahwa rating ini hanyalah alat untuk mengukur jumlah (kuantitas) pemirsa televisi. Hanya mengukur berapa banyak penonton yang menyaksikan suatu program televisi di suatu waktu tertentu. Rating sama sekali tidak mengukur kualitas tayangan sehingga tidak dapat otomatis dikatakan bahwa pemirsa yang banyak atau rating yang tinggi menunjukkan bahwa program acaranya berkualitas.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tak jarang justru memberi sanksi mulai dari teguran hingga penghentian pada program yang memiliki rating yang tinggi. Semisal program YKS (Yuk Keep Smile), Smackdown (tarung bebas), dan Sexophone (talkshow).
KPI mendasarkan pengawasannya kepada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) sebagai upaya menjaga agar seluruh WNI dapat memperoleh informasi yang layak dari media penyiaran sebagai salah satu amanah Undang-Undang Penyiaran 2002/32.
Televisi Multistakeholder
Merujuk Robert Picard dalam Media Economics (1989), media televisi melayani keinginan/ kebutuhan dari empat kelompok. Pertama, pemilik, termasuk di dalamnya terkait tujuan ekonomi yaitu memperoleh pendapatan yang tinggi, pertumbuhan perusahaan, serta peningkatan nilai dan aset perusahaan.
Kedua, audiens atau pemirsa. Secara kolektif, audiens mencari produk dan pelayanan media yang bermutu tinggi dengan biaya rendah dan akses yang mudah. Ketiga, para pengiklan, yang mencari akses untuk menyasar target audiens dengan biaya yang rendah melalui pesan-pesan komersial dan pelayanan bermutu tinggi dari media pengiklan.
Terakhir, para pekerja dari organisasi media, yang tertarik untuk mendapatkan kompensasi berupa gaji yang baik, perlakuan yang adil dan sama, suasana kerja yang aman dan menyenangkan, serta segala penghargaan yang didapatkan dari pekerjaannya.
Maka itu, ketika industri pertelevisian di Indonesia cenderung menjadi sangat pragmatis, lebih mengedepankan untung rugi, mengabaikan nilai dan pendidikan publik, lebih mengutamakan hiburan dan berorientasi kepada pasar tanpa mempertimbangkan baik/ buruk efek yang ditimbulkannya, sesungguhnya televisi sudah mengabaikan paling tidak kepentingan dari kelompok stakeholder-nya yang utama yaitu masyarakat.
Padahal, sudah saatnya media televisi tidak sekadar menjadi unit bisnis dan media hiburan, tetapi juga menjadi institusi yang membawa kemaslahatan untuk masyarakat.
Menggugah Tanggung Jawab Sosial Televisi
Televisi yang mengutamakan rating dalam membuat program siarannya sering tidak peduli apakah program tersebut bermanfaat atau tidak bagi masyarakat. Padahal, dampak yang ditimbulkan program televisi buruk yang tetap terus diputar dengan alasan rating tinggi, akan sangat besar.
Sebagai media audiovisual dan menggunakan ranah publik, televisi masuk hingga ke ruang-ruang keluarga. Pemirsa, khususnya anakanak dan remaja, akan mudah terpengaruh dan meniru muatan yang disiarkan televisi. Beruntung jika muatannya baik. Namun, jika buruk, cenderung sensasional, memuat kekerasan, eksploitasi seks, dan mistik, tentu imbasnya juga negatif.
Masalah berlipat mengingat program televisi yang buruk, namun rating-nya tinggi tidak hanya diputar oleh satu televisi, tapi juga kerap ditiru televisi lain dengan program sejenis. Televisi memiliki suatu potensi strategis dalam membentuk karakter bangsa. Daya jangkau yang sangat luas dengan penetrasi tertinggi (95%) bila dibandingkan media lain membuatnya sangat efektif untuk menyebarkan informasi/ide.
Dengan tolok ukur ini, seyogianya tontonan yang ditayangkan harus mampu memberi nilai tambah bagi masyarakat. Televisi dapat berfungsi sebagai ”jendela” masyarakat untuk mengetahui lingkungan di luar dirinya dan mendasarkan informasi tersebut untuk meningkatkan kemakmuran. Itulah amanat dari Pasal 6 UU Penyiaran yang diharapkan mampu dijalankan televisi.
Selaras dengan ini, sesuai Bhinneka Tunggal Ika, tayangan televisi juga diharapkan membentuk karakter moral masyarakat. Bukan hanya agama, melainkan juga moral dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Misal dengan lebih banyak menyoroti bagaimana hidup secara toleran di dalam perbedaan demi memperkuat jati diri masyarakat sebagai bangsa Indonesia.
Dalam konteks demokrasi, tayangan televisi juga diharapkan mampu mempertajam kepekaan politik masyarakat. Bukan hanya ragam politik praktis, melainkan juga apa yang seharusnya menjadi hak dan tanggung jawab masyarakat sebagai warga negara demi mencerdaskan kehidupan politik masyarakat sehingga tidak ada lagi yang menjadi objek dan bulan-bulanan politik penguasa.
Kemanfaatan
Televisi sebagai media yang menggunakan ruang publik dengan leluasa dan simultan memunculkan konsekuensi bahwa bukan hanya pemilik perusahaannya yang berkepentingan terhadap isi siaran, melainkan juga seluruh masyarakat. Daya jangkau televisi yang dapat ditangkap di berbagai kota sampai pelosok, jika siarannya tanpa tanggung jawab sosial, bakal menjadi sesuatu yang kontraproduktif.
Tanggung jawab sosial media televisi setidaknya harus muncul dalam konteks memberi kemanfaatan bagi masyarakat berupa siaran yang mendidik, social control, dan agen pengubah. Utamanya dengan menyiarkan lebih banyak nilainilai positif yang menginspirasi masyarakat untuk lebih produktif dan berubah ke arah yang lebih baik serta mengembalikan ruang publik yang nyaman untuk semua.
AZIMAH SUBAGIJO
Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat
*Terbit di Koran Sindo 25 Agustus 2015
Menumbuhkan (Kembali) Tanggung Jawab Sosial Televisi
source: http://nasional.sindonews.com/read/1036697/18/menumbuhkan-kembali-tanggung-jawab-sosial-televisi-1440470527/2