Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyadari sepenuhnya bahwa sumber daya frekuensi harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat. Untuk itu, ketika menjelang Pemilu 2014 ditemukan adanya siaran-siaran politik yang tidak proporsional dan cenderung berpihak pada pilihan politik dari pemilik lembaga penyiaran, KPI telah memberikan sanksi administratif. Ke-tujuh lembaga penyiaran tersebut adalah: TVRI, ANTV, MNC TV, TV One, Global TV, RCTI dan Metro TV . Sanksi tersebut merupakan salah satu usaha KPI untuk menjaga diutamakannya kepentingan publik oleh lembaga penyiaran, sebagaimana yang diamanahkan oleh regulasi.
Keterangan ini disampaikan Ketua KPI Pusat, Judhariksawan, menanggapi desakan masyarakat yang diwakili oleh Gerakan Frekuensi Milik Publik, yang meminta KPI bersikap tegas pada stasiun televisi yang dinilai tidak netral pada aksi di depan kantor KPI Pusat (16/1). Menurut Judha, KPI sendiri sudah menjalin kerjasama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pemilu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Pers, yang kemudian menggabungkan diri dalam sebuah gugus tugas (task force) pengawasan penyiaran pemilu. KPI telah membuat tim pemantauan khusus yang mengawasi muatan siaran politik dan pemilu, pada momen pemilu 2014 ini. Hal ini juga untuk menguatkan basis data dari tim gugus tugas dalam melakukan kajian dan penjatuhan sanksi atas setiap pelanggaran.
Sebagai tindakan preventif, sebelum menjatuhkan sanksi KPI memberikan surat edaran bagi lembaga penyiaran tentang penggunaan spektrum frekuensi untuk kepentingan publik. KPI juga mengingatkan mereka agar memperhatikan dan menaati seluruh ketentuan hukum terkait kewajibannya menjaga netralitas dan larangan penggunaan media penyiaran untuk kepentingan golongan tertentu sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang penyiaran dan P3SPS.
Sementara itu, menindaklanjuti rekomendasi Rapim KPI 2013, KPI membuat rancangan surat keputusan yang mengatur pemanfaatan lembaga penyiaran untuk kepentingan publik. KPI meyakini, dengan banyaknya masukan dari berbagai pemangku kepentingan penyiaran baik dari lembaga penyiaran, pemantau media, pengawas pemilu ataupun partai politik sendiri, aturan yang tengah dilakukan finalisasi ini dapat disahkan dalam waktu dekat.
Lebih jauh Judha mengatakan, langkah terdekat yang akan diambil oleh KPI adalah meminta fatwa pada Mahkamah Agung untuk mendapatkan tafsir hukum terhadap pengertian kampanye sebagaimana yang disebut dalam undang-undang nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu. Menurut Judha, tafsir hukum ini dibutuhkan karena KPU, Bawaslu dan lembaga penyiaran menilai bahwa pengertian kampanye merupakan akumulasi dari berbagai kegiatan yang disebut dalam undang-undang pemilu. Sementara, tambah Judha, secara sosiologis dan pendekatan hukum progresif kampanye dapat didefinisikan berdiri sendiri atau tidak akumulatif. Jika sudah didapatkan tafsir hukum dari MA, ujar Judha, sinergi KPI, Bawaslu, KPU dan Dewan Pers akan lebih mudah untuk menertibkan lembaga penyiaran dari pemanfaatan untuk kepentingan politik para pemiliknya.