- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 26809
Mataram - Tepat setahun yang lalu, gempa berkekuatan 7.0 SR menguncang pulau Lombok. Setahun berlalu, apakah kita siap dengan berbagai hal terkait mitigasi bencana khususnya sebagai daerah prioritas pariwisata?
Hal ini penting karena kita saat ini harus dapat hidup berdampingan di ring of fire, lokasi rawan bencana. Tentu tidak ada yang berharap akan datangnya bencana namun sebagai manusia yang berusaha berdamai dengan alam kita wajib waspada dan siap.
Pulau lombok termasyur sebagai pulau seribu masjid dengan berbagai keindahan alamnya. Tahun 2018 lalu porak poranda karena gempa yang harus diakui bahwa kejadian ini berimbas baik secara sosial maupun ekonomi. Termasuk pariwisata yang telah ditetapkan sebagai leading sektor di Lombok.
Menghadirkan narasumber yang kompeten dibidangnya diskusi kedua dari GenpiLS Miniworkshop yang bekerjasama dengan KPID NTB dan Prodi Ilkom Unram kali ini menghadirkan Kepala BPBD NTB H. Ahsanul Khalik, Kaprodi Ilkom Unram Agus Purbathin, Ketua KPID NTB Yusron Saudi, Ketua IAGI NTB Kusnadi dan Muhammad Alfian dari ACT.
Diskusi yang dihadiri 127 peserta dari berbagai latar belakang ini dilaksanakan pada Senin 5 Agustus 2019 di Delima Cafe Jl Bung Karno Mataram NTB. Hadir perwakilan dari berbagai komunitas, media, akademisi, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten, mahasiswa serta pemerhati pariwisata di NTB.
Partisipasi publik dalam mitigasi bencana khususnya di daerah pariwisata sangat penting. Pemerintah dan lembaga yang menaungi memegang peran yang penting dalam berbagai hal termasuk sosialisasi dan memberikan edukasi tentang mitigasi bencana.
Kelima narasumber sepakat bahwa bencana yang terjadi 1 tahun yang lalu adalah momentum bagi kita untuk berbenah sekaligus menyiapkan berbagai kemungkinan dan penanganan yang diperlukan saat terjadi bencana.
Peran komunitas dalam hal ini Genpi Lombok Sumbawa sangat diapresiasi oleh narasumber dan peserta dimana membuka ruang diskusi sehingga dapat meningkatkan partisipasi publik dalam keikutsertaannya membangun daerah. Berbagai hal sudah seharusnya diperbincangkan di arena publik untuk dapat mendapatkan input dan membina komunikasi juga dialog antar lembaga.
Dalam pemaparannya Kepala BPBD NTB Ahsanul Khalik menyampaikan pengalaman saat terjadi gempa 29 Juli 2018. Saat itu semua panik, tidak tahu apa yang akan dilakukan. Begitu juga ketika gempa 5 Agustus, terlihat betapa pemerintah dan masyarakat belum sepenuhnya siap.
Pengalaman itulah yang menjadi bahan evaluasi dalam SOP kedepannya. Khalik juga menambahkan, di era keterbukaan informasi ini banyak beredar hoax bencana, ketidaktahuan media juga. Ini juga menghambat percepatan. Belum lagi netizen cerewet yang posting hal-hal negatif.
"Menggandeng media sangat penting dan begitu juga komunitas," katanya.
Khalik merekomendasikan mitigasi bukan sekadar jadi jargon dan pekerjaan pemerintah. Tapi kekuatan masyarakat harus masuk dalam rancangan.Perencanaan pembangunan harus berbasis ramah bencana.
"Ada istilah baru bencana investasi ; misalnya bicara pariwisata dengan pendekatan kebencanaan. Semua harus ramah gempa. Melatih masyarakat adalah bagian kecil ramah bencana. Bangunan harus tahan gempa. Misalnya lantai I hotel tidak perlu ada kamar. Khusus untuk memudahkan evakuasi," katanya.
Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) NTB Kusnadi mengatakan safety briefing nggak pernah ada di Indonesia. Dia contohkan ketika gempa Aceh tidak merusak banyak fasilitas. Cuma ketika tsunami itu semua ke laut. Orang tidak tahu ada potensi tsunami. Potensi tsunami di Lombok itu ada di bagian selatan. Dan kondisi alam di selatan banyak bukit yang bisa jadi benteng.
Manager ACT NTB Lalu Alfian mengatakan faktanya kita tinggal di daerah cincin api. Jadi harus siap. Termasuk juga harus siap cara mengkomunikasikan ke publik potensi bencana itu.
Dia contohkan di museum tsunami Aceh sudah antisipatif, tapi sekarang perumahan baru marak di dekat pantai. Ini artinya ada yang keliru dalam mengkomunikasikan dan mengimplementasikan.
"Pemahaman tentang bencana masih sedikit. Fase recovery butuh supportbanyak, justru sepi. Karena tanggap darurat habis.Menganggap selesai ketika habis tanggap darurat. Ini juga bentuk ketidaktahuan publik," katanya.
Pakar komunikasi pembangunan Unram Agus Purbatim mengatakan komunikasi hanya jadi pelengkap. Bukan sebagai kebutuhan. Belajar dari kekacauan informasi dan komunikasi bencana Lombok, Ilmu Komunikasi Unram menginisiasi mata kuliah komunikasi bencana.
"Sifat bencana ketidakpastian. Komunikasi bencana untuk mengurangi ketidakpastian itu. Yang terjadi selama ini bencana komunikasi. Hoax cepat viral dengan berbagai motif," katanya.
Ketua KPID NTB Yusron Saudi mengatakan ketika gempa banyak lembaga penyiaran yang kena dampak. Tower patah. Operasional terhenti. Tapi mereka tetap peduli. Lembaga penyiaran ikut berkontribusi mengumpulkan donasi.
Pemberitaan yang masif di media juga mengetuk hati publik. Ini jadi bukti bahwa betap kuat pengaruh media penyiaran dalam mengkomunikasikan bencana.
Memang ada temuan beberapa berita terkait bencana masih menonjolkan aspek sensasional. Terlalu berlebihan mengeksploitasi korban dan abai pada hal-hal krusial. Ini menjadi catatan KPID NTB kedepannya, agar ada SOP yang dibuat terkait dengan peliputan bencana alam.
Peranan Komunitas juga penting dalam masa tanggap dan rekonstruksi bencana. Genpi sebagai satu dari unsur pentahelix pariwisata harus mampu hadir dan memberikan kontribusinya secara nyata dan turut hadir dalam ruang publik.
Komunitas memegang peran penting selain menyuarakan kepentingan publik, partisipasi komunitas bisa menjadi kekuatan dalam sinergitas tanpa batas demikian Fathul Rakhman Korbid Kelembagaan KPID NTB dan Siti Chotijah yang juga Ketua Harian Genpinas menutup acara diskusi sebagai moderator. Red dari suarabumigora.com