Hari Penyiaran Nasional (HARSIARNAS) kali ini tanpa ada perayaan secara seremonial dimana segenap komisioner dari seluruh Indonesia dapat berkumpul sembari bertukar pengalaman dan pengetahuan terkait masalah Penyiaran di negeri ini.
HARSIARNAS tanpa Seremoni tapi tak sepi dari selebrasi dari orang nomor dua di negeri ini Wakil Presiden KH. Ma'ruf Amin. Wakil Presiden dalam selebrasinya menyatakan; "Saya mengucapkan selamat Hari Penyiaran Nasional yang ke- 87. Di tengah merebaknya pandemik Covid-19 penyiaran memegang peranan penting sebagai media sosialisasi bagi masyarakat luas. Saya mengapresiasi berbagai media yang turut menyiarkan informasi iklan layanan masyarakat dalam rangka memerangi wabah Covid-19. Selain informasi yang baik dan benar, masyarakat tentu ingin mendengar informasi yang menyebarkan harapan, bukan keputusasaan. Saya mengajak lembaga penyiaran berpartisipasi aktif dan bersatu padu untuk terus menyiarkan semangat yang positif hingga ke seluruh pelosok tanah air".
Pernyataan yang apresisif dari Wapres tersebut, tentu harus disambut baik secara positif bagi segenap insan penyiaran.
Kebijakan KPI Pusat untuk meniadakan seremoni Harsiarnas selaras kebijakan pemerintah untuk tidak menyelenggarakan acara yang menyebabkan kerumunan, dalam rangka sikap antisipatif menghadapi pandemik covid- 19 sudah tepat. Betapa tidak, sebagai lembaga negara yang diisi oleh para komisioner yang merupakan representatif rakyat, haruslah memberi contoh. Tetapi meski pun demikian, bukan berarti apresiasi segenap komisioner terhadap momentum Harsiarnas surut tanpa semangat.
Sekaitan dengan itu, Ketua KPI Pusat, Agung Suprio menyalakan, bahwa: "Sesuai dengan tema Penyiaran Digital: Saatnya Kreatif dan Inspiratif, maka perayaan Harsiarnas diarahkan agar Lembaga Penyiaran (televisi dan radio) memberikan harapan kepada bangsa dalam melawan Corona dengan berbagai konten yang Kreatif dan Inspiratif. Atau dengan kata lain, konten yang Kreatif akan menginspirasi masyarakat untuk bertindak sesuai dengan imbauan pemerintah, bahkan melebihi dari sekedar kepatuhan, seperti menciptakan solidaritas masyarakat di tengah krisis Corona".
Yang tidak kalah pentingnya di balik Harsiarnas dalam situasi negara kita dilanda wabah virus Corona yang mendera segala sektor kehidupan KPI aktif dengan serius mengajak segenap lembaga penyiaran untuk tetap aktif secara positif memberi informasi dan memberitakan situasi negara kita yang sedang dilanda wabah virus Corona secara baik dan benar. Dalam pada itu KPI mengeluarkan Surat Edaran KPI Pusat, Nomor: 156 / K / KPI / 31.2 / 03 / 2020 tentang Peran Serta Lembaga Penyiaran Dalam Penanggulangan Persebaran Wabah Corona.
Maksud dan tujuan Surat Edaran tersebut, dimaksudkan untuk mengajak lembaga penyiaran berkontribusi dalam upaya membantu Pemerintah mensosialisasikan upaya pencegahan Pandemi Covid-19, termasuk imbauan menjaga pergerakan, social distancing measure.
Surat tersebut memuat empat point yang bersifat implementatif, yaitu: 1. Mendukung instruksi pemerintah melalui iklan layanan masyarakat oleh segenap lembaga penyiaran, 2. Mengubah format program yang melibatkan banyak orang, 3. Meminta agar memperhatikan konten siaran yang ramah bagi semua usia mengingat saat ini umumnya masyarakat untuk semua umur lagi sedang banyak di rumah, dimana media siaran menjadi salah satu alternatif mengisi waktu, 4. Lembaga penyiaran juga diminta untuk tidak abai untuk mengedepankan keselamatan para jurnalis sesuai protokol pencegahan wabah covid-19.
Saat ini, di tengah situasi wabah yang mendera, yang "mengacaukan" seluruh lini kehidupan, masyarakat butuh pegangan yang benar dan meyakinkan. Masalahnya, dalam situasi tersebut justru banyak berseliweran informasi yang menyesatkan, kontennya banyak dimuati hoaks.
Dalam situasi tersebut peran lembaga penyiaran menjadi sangat signifikan sebagai penyaring dan penjernih informasi sekaligus mencerdaskan dan mencerahkan. Inilah momentum lembaga penyiaran merebut hati publik untuk kembali menjadikannya sebagai primadona sumber informasi yang menyelamatkan dalam kemaslahatan bersama. Dan, di situlah peran strategis KPI dalam mengawal dan mengontrol lembaga penyiaran secara demokratis yang lebih sehat. Wallahu A'lam Bishawwabe.
1 April Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) dan Radikalisme di Indonesia
Oleh: Hari Wiryawan, SH, MA Universitas Sahid Surakarta/ Direktur LPPS-Solo
Mungkin Anda bertanya apa hubungan Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) dengan radikalisme? Sebelum saya menjawab, terlebih dahulu saya ingin mengajak Anda untuk melihat insiden yang terjadi di TVRI tujuh tahun yang lalu.
Pada tahun 2013, Televisi Republik Indonesia (TVRI) menyiarkan siaran langsung sebuah kongres bernama Muktamar Khilafah Hizbut Tahrir. Acara ini diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Seperti kita ketahui HTI kemudian dibubarkan pemerintah dan sekarang menjadi organisasis terlarang. Dalam acara itu HTI mengatakan bahwa pihaknya menolak sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia. Mereka juga menuntut agar Pancasila sebagai ideologi nasional di ganti menjadi Khilafah Islamiyah.
Saya menyebut adanya siaran HTI di TVRI hanya untuk menggambarkan bagaimana kelompok radikalis telah menggunakan lembaga milik publik seperti TVRI untuk mencapai tujuan politiknya. Menyebarnya kaum radikalis di tubuh pemerintahan telah diketahui secara luas. Mereka tidak hanya memasuki aparat sipil negara tetapi juga melakukan infiltrasi di kantor-kantor militer dan polisi.
Sebaliknya, dalam artikel ini saya hanya ingin mengatakan bahwa media penyiaran di indonesia sebenarnya memiliki peran yang sangat strategis untuk menghadapi dan memberantas maraknya kelompok kelompok intoleran. Pertanyaan berikutnya adalah: apa yang harus dilakukan oleh media penyiaran untuk menghadapi radikalisme? Izinkan saya untuk menjawab pertanyaan ini.
Undang-udang penyiaran No 32 tahun 2002 mengatakan bahwa lembaga penyiaran bisa memilih dua jenis jangkauan wilayah layanan (coverage area) yaitu stasiun penyiaran lokal dan stasiun penyiaran berjaringan. Bila sebuah lembaga penyiaran ingin memiliki jangkauan siaran yang meliputi wilayah seluruh negeri (nasional), maka lembaga penyiaran itu harus menjadi stasiun berjaringan. System ini dikenal dengan sebutan Sistem Stasiun Jaringan (SSJ).
Para ahli media mengatakan bahwa ada dua tujuan utama dalam SSJ. Pertama, untuk mendorong peningkatan pemerataan ekonomi secara adil antara pengusaha media di daerah dan di pusat. Agar pengusaha media penyiaran di daerah juga bisa merasakan keuntungan atau manfaat dari berlimpahnya bisnis media di Indonesia. Berlimpahnya keuntungan bisnis media hendaknya tidak hanya bisa dinikmati oleh kalangan bisnis di Jakarta tetapi juga bagi pengusaha di daerah. Kedua, tujuan dari SSJ adalah agar mendorong kebudayaan lokal dan kearifan lokal. Indonesia sebagai negara yang sangat kaya dalam hal budaya dan tradisi. Di sini terdapat ratusan etnik, bahasa, budaya, seni, dan ribuan pulau.
Tujuan SSJ yang kedua ini yaitu soal keragaman dan multikultural adalah sesuatu yang sangat menantang untuk diterapkan saat ini untuk memerangi atau paling tidak mengimbangi kekuatan ditengah maraknya radikalisme di negeri ini. Seperti kita ketahui pandangan hidup kaum radikalis adalah serba monolitik. Mereka menghendaki adanya penafsiran agama yang tunggal. Jika adalah penafsiran agama yang tidak sesuai dengan kelompoknya maka itu akan dianggap sebagai musuh yang harus dihilangkan. Cita-cita politiknya juga menghendaki sistem yang anti demokrasi dan
menghendaki sistem monarchi sebagaimana sistem Khilafah di Turki Usmany. System demokrasi dilarang. Bahkan untuk sebuah model baju perempuan juga hanya satu model dengan warna seragam sebagian besar gelap (sebagian besar hitam).
Pandangan hidup yang serba tunggal (monolitik), penafsiran agama yang tunggal, dan bahkan model baju perempuan yang tunggal, harus dilawan dengan cara hidup yang sangat pluralistik di kalangan seluruh rakyat di seluruh Nusantara. Jika semua media penyiaran di negeri ini acaranya sangat beragam, sangat berwarna, sangat beragam bahasa, dan sangat beragam dalam ajaran agama, diharapkan hal ini menjadi pemahaman dikalangan rakyat bahwa Indonesia adalah masyarakat yang beragam secara alamiah. Kita adalah bangsa yang multi kultur dan masyaraktan berbhineka. Oleh karena itu bila ada gagasan tentang sisitem sosial politik yang tunggal sebagaimana kaum radikalis inginkan maka hal itu adalah tidak realistik dan sama sekali tidak punya akar.
Jadi disini gagasan monolitik kaum radikalis akan berhadapan dengan pandangan hidup masyarakat secara luas yang telah menyadari bahwa hakikat dan sifat warga Nusantara adalah keragaman bukan ketunggalan. Pandangan itu bisa muncul bilamana media penyiaran ikut membantu menyebarluaskan tentang hakikat manusia Nusantara yang berbhineka itu melalui SSJ. Disinilah SSJ kembali menjadi instrumen penting dalam penyiaran di Indonesia, sesuatu yang seakan sudah dilupakan insan penyiaran.
Meskipun demikian, untuk menerapkan gagasan SSJ ini terdapat dua kendala. Yang pertama adalah masalah profesionalisme di kalangan para awak media. Masih terdapat banyak kekurangan kemampuan dikalangan awak media dalam hal penyajian gambar video yang berkualitas tinggi di layar kaca. Masih banyak ruang kosong yang harus diisi awak media untuk meningkatkan kreatifitas, profesionalitas sehingga memiliki kemampuan untuk mencapai standar, katakanlah selevel dengan ‘discovery chanel.’ Selama lebih 20 tahun TV Swasta di Indonesia hanya piawai untuk menyajikan tayangan panggung musik dangdut atau sinetron dengan kualitas yang rendah. Kemampuan teknis sebagai ‘video maker’ jauh dari mumpuni.
Kedua, SSJ menghadapi masalah struktural. Model SSJ telah diterapkan sejak 10 tahun yang lalu berdasarkan Undang-undang Penyiaran No 32 tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah No 50/2005, namun penegakan hukum dari hukum penyiaran itu tidak diterapkan secara proporsional. Sudah menjadi rahasia umum, media penyiaran khusunys stasiun TV yang berpusat di Jakarta enggan melakukan sepenuhnya model SSJ, karena pertimbangan ekonomi dan bisnis. Celakanya, keengganan pihak TV swasta yang berpusat di Jakarta bertemu dengan kepentingan pemerintah waktu itu dalam hal kebijakan media. Pemerintah dalam hal ini cenderung kurang memberi ruang kepada pemangku kepentingan (stakeholder) di daerah. Semakin daerah diberi ruang akan semakin tinggi tuntutan untuk otonomi daerah, semakin besar otonomy daerah akan semakin dalam bahaya. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negeri yang menekankan persatuan dan kesatuan.
Hari ini ada kesempatan untuk menghadang radikalisme melalui media penyiaran, jika Indonesia memang benar benar memberantas radikalisme untuk menyelamatkan dasar negara Pancasila dan demokrasi di Indonesia, baik pemerintah dan kalangan TV swasta harus duduk bersama untuk memeriksa kembali kebijakan media, dengan pengawasan dari publik.
Melaksanakan SSJ, bukan saja akan menjalankan amanah UU Penyiaran No 32 tahun 2002, namun juga meneruskan tradisi SSJ yang telah dirintis oleh Solosche Radio Vereeniging (SRV) di Solo tahun 1930an s.d awal 1940-an. SRV telah menerapkan SSJ dalam sekala kecil di Kota Solo dan sekala besar di Solo, Bandung, dan Jakarta. Begitu pula soal keragaman acara, SRV dan Radio Ketimuran lainya memang jago membuat siaran budaya yang plural. Inilah andalan bangsa Indonesia melawan
hegemoni budaya Barat waktu itu. Kini Indonesia mengalami ancaman hegemoni baru yaitu hegemoni budaya kaum radikalis. Jika penyiaran masa lalu mampu melawan hegemoni kolonialisme kini insan penyiaran semoga mampu melawan hegemoni baru berkedok agama.
Menuju Satu Dekade Pengabdian Oleh: Rifky Anwar,SH,M.Kn
\
Komisioner KPI Daerah Nusa Tenggara Barat, Rifky Anwar
Eksistensi KPI dan KPID sebagai representasi publik di bidang penyiaran, tidak bisa dilepaskan dari sejauhmana lembaga negara independen ini mampu membangun sinergitas dan harmonisasi dengan khalayak luas dan mitra kerja serta pemangku kepentingan yang peduli dengan dunia penyiaran baik lokal maupun nasional.
Sebagai badan publik, Komisi Penyiaran Indonesia lahir sebagai wujud aspirasi dan partisipasi publik dalam bidang penyiaran. Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 merupakan dasar utama bagi pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Semangatnya adalah pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan independen yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan.
Berbeda dengan semangat dalam Undang-undang penyiaran sebelumnya, yaitu Undang-undang No. 24 Tahun 1997 pasal 7 yang berbunyi “Penyiaran dikuasai oleh negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah”, menunjukkan bahwa penyiaran pada masa itu merupakan bagian dari instrumen kekuasaan yang digunakan untuk semata-mata bagi kepentingan pemerintah.
Proses demokratisasi di Indonesia menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran. Karena frekuensi adalah milik publik dan sifatnya terbatas, maka penggunaannya harus sebesar-besarnya bagi kepentingan publik. Sebesar-besarnya bagi kepentingan publik artinya adalah media penyiaran harus menjalankan fungsi pelayanan informasi publik yang sehat. Informasi terdiri dari bermacam-macam bentuk, mulai dari berita, hiburan, ilmu pengetahuan, dll. Dasar dari fungsi pelayanan informasi yang sehat adalah seperti yang tertuang dalam Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yaitu Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) dan Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan).
Kedua prinsip tersebut menjadi landasan bagi setiap kebijakan yang dirumuskan oleh KPI. Pelayanan informasi yang sehat berdasarkan Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) adalah tersedianya informasi yang beragam bagi publik baik berdasarkan jenis program maupun isi program. Sedangkan Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan) adalah jaminan bahwa kepemilikan media massa yang ada di Indonesia tidak terpusat dan dimonopoli oleh segelintir orang atau lembaga saja. Prinsip Diversity of Ownership juga menjamin iklim persaingan yang sehat antara pengelola media massa dalam dunia penyiaran di Indonesia.
Apabila ditelaah secara mendalam, Undang-undang no. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran lahir dengan dua semangat utama, pertama pengelolaan sistem penyiaran harus bebas dari berbagai kepentingan karena penyiaran merupakan ranah publik dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Kedua adalah semangat untuk menguatkan entitas lokal dalam semangat otonomi daerah dengan pemberlakuan sistem siaran berjaringan.
Maka sejak disahkannya Undang-undang no. 32 Tahun 2002 terjadi perubahan fundamental dalam pengelolaan sistem penyiaran di Indonesia. Perubahan paling mendasar dalam semangat UU tersebut adalah adanya limited transfer of authority dari pengelolaan penyiaran yang selama ini merupakan hak ekslusif pemerintah kepada sebuah badan pengatur independen (Independent regulatory body) bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Independen dimaksudkan untuk mempertegas bahwa pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan yang bebas dari intervensi modal maupun kepentingan kekuasaan. Belajar dari masa lalu dimana pengelolaan sistem penyiaran masih berada ditangan pemerintah (pada waktu itu rejim orde baru), sistem penyiaran sebagai alat strategis tidak luput dari kooptasi negara yang dominan dan digunakan untuk melanggengkan kepentingan kekuasaan. Sistem penyiaran pada waktu itu tidak hanya digunakan untuk mendukung hegemoni rezim terhadap publik dalam penguasaan wacana strategis, tapi juga digunakan untuk mengambil keuntungan dalam kolaborasi antara segelintir elit penguasa dan pengusaha.
Terjemahan semangat yang kedua dalam pelaksanaan sistem siaran berjaringan adalah, setiap lembaga penyiaran yang ingin menyelenggarakan siarannya di suatu daerah harus memiliki stasiun lokal atau berjaringan dengan lembaga penyiaran lokal yang ada didaerah tersebut. Hal ini untuk menjamin tidak terjadinya sentralisasi dan monopoli informasi seperti yang terjadi sekarang. Selain itu, pemberlakuan sistem siaran berjaringan juga dimaksudkan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi daerah dan menjamin hak sosial-budaya masyarakat lokal. Selama ini sentralisasi lembaga penyiaran berakibat pada diabaikannya hak sosial-budaya masyarakat lokal dan minoritas. Padahal masyarakat lokal juga berhak untuk memperolah informasi yang sesuai dengan kebutuhan politik, sosial dan budayanya. Disamping itu keberadaan lembaga penyiaran sentralistis yang telah mapan dan berskala nasional semakin menghimpit keberadaan lembaga-lembaga penyiaran lokal untuk dapat mengembangkan potensinya secara lebih maksimal. Undang-undang no. 32 Tahun 2002 dalam semangatnya melindungi hak masyarakat secara lebih merata.
Eksistensi KPI adalah bagian dari wujud peran serta masyarakat dalam hal penyiaran, baik sebagai wadah aspirasi maupun mewakili kepentingan masyarakat (UU Penyiaran, pasal 8 ayat 1). Legitimasi politik bagi posisi KPI dalam kehidupan kenegaraan berikutnya secara tegas diatur oleh UU Penyiaran sebagai lembaga negara independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran (UU Penyiaran, pasal 7 ayat 2). Secara konseptual posisi ini mendudukkan KPI sebagai lembaga kuasa negara atau dalam istilah lain juga biasa dikenal dengan auxilarry state institution.
Dalam rangka menjalankan fungsinya KPI memiliki kewenangan (otoritas) menyusun dan mengawasi berbagai peraturan penyiaran yang menghubungkan antara lembaga penyiaran, pemerintah dan masyarakat. Pengaturan ini mencakup semua daur proses kegiatan penyiaran, mulai dari tahap pendirian, operasionalisasi, pertanggungjawaban dan evaluasi. Dalam melakukan kesemua ini, KPI berkoordinasi dengan pemerintah dan lembaga negara lainnya, karena spektrum pengaturannya yang saling berkaitan. Ini misalnya terkait dengan kewenangan yudisial dan yustisial karena terjadinya pelanggaran yang oleh UU Penyiaran dikategorikan sebagai tindak pidana. Selain itu, KPI juga berhubungan dengan masyarakat dalam menampung dan menindaklanjuti segenap bentuk apresiasi masyarakat terhadap lembaga penyiaran maupun terhadap dunia penyiaran pada umumnya.
Jangan Lupakan Sejarah Sejak terbentuk pada 4 Juni 2008, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah Nusa Tenggara Barat sudah berjalan 9 tahun lebih. Bahkan pada 4 Juni 2018 mendatang, lembaga negara independen ini akan memasuki satu dekade pengabdian menata penyiaran di Bumi Gora Nusa Tenggara Barat. Tentu tidak berlebihan, bila dalam masa 9 tahun lebih, KPI Daerah Nusa Tenggara Barat sebagai garda terdepan mengawasi siaran radio dan TV lokal menorehkan banyak cerita dan kisah yang sukses maupun yang gagal di tengah berbagai pendapat, pandangan, apresiasi, sanjungan, cemoohan dan cibiran kepada lembaga maupun integritas pimpinan dan anggotanya.
Ada yang berpendapat KPID NTB dibubarkan saja karena memberangus kebebasan berekspresi seniman lokal yang disensor ketat karyanya masuk layar televisi.Ada juga yang memberi saran dan kritik agar lembaga ini bekerja lebih baik.Tapi tak sedikit juga yang memberi sanjungan dan pujian atas berbagai prestasi KPID NTB yang pernah meraih predikat sebagai KPID percontohan yang dinilai produktif melayangkan teguran dan sanksi tegas kepada program acara radio dan TV lokal.
Bagi penulis yang mulai berkarir di lembaga ini sejak tiga tahun silam, memang merasakan apa yang terjadi dalam masa-masa awal lembaga ini terbentuk. Tentu kita tidak boleh melupakan sejarah sebagaimana kata Bung Karno Sang Proklamator dengan tagline Jas Merah atau Jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Anggota KPID NTB sudah masuk periode ketiga dimana perode pertama masa bhakti 2008-2011 Ditetapkan melalui Surat Keputusan Gubernur NTB Nomor 177 tanggal 2 Juni 2008. KPID NTB efektif bekerja sejak dikukuhkan pada 4 Juni 2008 oleh Gubernur NTB an H.Lalu Serinata. Penulis sendiri resmi bergabung sebagai anggota KPID NTB sejak 15 Agustus 2014, periode ketiga lembaga ini mengabdi dan berkhidmat membangun penyiaran NTB yakni masa bakti 2014-2017. Kami dilantik dan dikukuhkan oleh Wakil Gubernur NTB H. Muh Amin SH M.Si.
Sejak awal terbentuknya, KPID NTB konsisten mengusung visi bagaimana mewujudkan lembaga penyiaran yang sehat dan masyarakat informasi yang partisipatif. Guna mewujudkan impian besar tersebut, diejawantahkan dalam beberapa misi antara lain: 1. Meningkatkan kapasitas kelembagaan KPID NTB secara profesional dan proporsional. 2. Menjamin masyarakat memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai Hak Azasi Manusia. 3. Mewujudkan Sumberdaya Manusia Penyiaran yang professional 4. Menata Infrastruktur Sistem penyiaran di Nusa Tenggara Barat
Memadukan penyiaran yang dinamis dan ekspektasi tinggi masyarakat akan program siaran yang sehat, mendidik, menghibur dan menyejukkan menjadi pekerjaan yang tidak ringan. Begitu dinamisnya penyiaran sehingga menuntut para programmer untuk menghadirkan program yang kreatif sesuai dengan kebutuhan pasar. Di sisi lain, mereka dihadapkan pada regulasi yang mengatur agar program siaran sesuai dengan norma, etika, kelayakan, kepatutan dan kepantasan di masyarakat. Kreativitas membuat program juga dihadapkan pada beragamnya agama, suku, budaya, adat istiadat dan kelas-kelas masyarakat di daerah ini.Hasilnya yang selama ini berjalan yaitu program siaran yang disesuaikan dengan tuntutan pasar atas pembacaan rating mayoritas belum bisa sejalan dengan tuntutan regulasi penyiaran yaitu program siaran yang sehat, mendidik, menghibur dan menyejukkan.
Penyiaran Sebelum dan Sesudah Lahirnya KPID NTB Dibandingkan daerah lain, pendirian KPID NTB memang sedikit terlambat. Yang jelas, momentum pendirian KPID NTB kala itu terbilang sangat tepat, di tengah euforia dan karut-marut penyiaran lokal yang butuh perhatian dan penanganan serius. Ratusan lembaga penyiaran beroperasi tanpa izin dari ujung barat Pulau Lombok hingga ujung timur Pulau Sumbawa. Ada yang menyebut dirinya Radio Komunitas (Rakom), Radio Komersial, TV komersial hingga operator TV kabel yang terus bertambah, merambah hingga ke dusun-dusun terpencil di Nusa Tenggara Barat, memenuhi kebutuhan masyarakat lokal akan siaran televisi yang sebelumnya hanya bisa diterima dengan parabola (blank spot).
Sekali lagi, orang mengenal KPID NTB, tidak lebih karena maraknya pemberitaan media massa tentang sejumlah lagu daerah Lombok (Sasak) dan lagu dangdut berlirik porno yang dilarang penyiarannya di radio dan TV baik lokal maupun nasional. Puncaknya adalah pada awal tahun 2011, ketika KPID NTB mengeluarkan surat edaran tentang lagu Udin Sedunia yang lagi naik daun di pentas musik nasional, dilarang keras untuk disiarkan radio dan TV seantero negeri karena sebagian liriknya mengandung muatan tidak pantas, olok-olokan.
Sikap KPID NTB ini menuai protes besar-besaran dari banyak kalangan. Bahkan hujatan, cemoohan dan desakan agar KPID NTB dibubarkan pun meruak di jejaring sosial facebook dan tweeter. Banyak yang menilai KPID NTB mencari sensasi murahan, kolot, tidak profesional, tidak menghargai kebebasan berekspresi, tidak menghargai jerih payah seniman lokal yang mampu menembus blantika musik nasional, dan banyak pandangan minor lainnya yang bermuara pada ketidakpuasan sebagian orang atas kinerja KPID NTB.
Padahal larangan itu bukan untuk kali pertamanya, tetapi KPID NTB secara rutin maupun insidentil melakukan kajian melibatkan berbagai pihak, mulai akademisi, tokoh agama, tokoh masyarakat dan budayawan untuk memberikan pandangan kritis terhadap aduan masyarakat tentang fenomena maraknya lagu daerah, lagu dangdut dan lain-lain yang mengandung muatan gambar dan lirik porno atau tidak pantas. Sebut saja beberapa judul lagu Dangdut seperti Jupe Paling Suka 69, Mobil Bergoyang, Hamil Duluan, Maaf Kamu Hamil Duluan, Wanita Lubang Buaya, Satu Jam Saja, Mucikari Cinta, dan Apa Aja Boleh.
Demikian juga dengan Lagu daerah Sasak seperti Ndek Kembe-Kembe, Bebalu Melet Besimbut, Bebalu Kintal, Bawak Komak, Bowos, Bebalu Belek Tian, Pinje Panje, Sampe Berot, Salak Sengguh dan lain-lain. Terakhir adalah lagu dangdut Bali Sasak berjudul bebalu bais yang juga mengalami nasib sama, tidak boleh disiarkan karena banyaknya aduan masyarakat ke KPID NTB, bahkan aduan itu juga datang dari wakil rakyat di Kota Mataram.
Lantas, adakah yang salah, adakah yang keliru dengan sikap tegas KPID NTB? Jawabnya tentu tidak ada. Bukankah dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, secara tegas memberi mandat kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan KPI Daerah untuk menjamin masyarakat memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai hak azasi manusia. Disinilah menjadi sangat penting, bagaimana menegaskan, mengejawantahkan tugas dan kewajiban KPID NTB untuk memastikan siaran yang mencerdaskan dan mencerahkan masyarakat lokal di tengah serbuan siaran TV yang sangat sentralistik, Jakarta Sentris, sarat muatan hedonisme, konsumerisme, sadisme dan seksime. Al hasil, ribuan aduan yang masuk ke KPID NTB sejak awal kelahirannya, 80% diantaranya ditujukan kepada TV Jakarta.
Bagi KPID NTB, ukuran keberhasilan tentu tidak bisa diukur dari banyaknya surat edaran atau surat teguran kepada lembaga penyiaran. Yang lebih penting, adalah bagaimana membangun sinergi yang baik antara KPID NTB sebagai regulator dan partner bagi lembaga penyiaran, menjadi mitra mereka dalam merumuskan segala persoalan penyiaran di daerah ini yang sangat kompleks dan rumit. Semangat yang dibangun kawan-kawan komisioner, sesungguhnya sebisa mungkin melakukan dialog dan komunikasi intensif dengan insan dan masyarakat penyiaran.
Menata Legalitas Lembaga Penyiaran Lokal Hingga akhir Februari 2018, Jumlah lembaga penyiaran radio dan televisi berizin di Nusa Tenggara Barat sebanyak 60 buah. Jumlah ini merupakan hasil akhir seleksi alam, setelah melalui proses panjang dan berliku pengurusan izin penyelenggaraan penyiaran sejak terbentuknya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah Nusa Tenggara Barat pada tahun 2008. Artinya, dari lima aspek pendirian sebuah lembaga penyiaran yang meliputi aspek pendirian, badan hukum, program siaran, manajemen dan teknik, 60 lembaga penyiaran itulah yang memenuhi syarat kelayakan sehingga berhak mengantongi Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) dan atau Izin Stasiun Radio (ISR). Sebagian besar dari pemegang izin siaran ini merupakan pemain baru, hanya beberapa lembaga penyiaran saja sebagai pemain lama yang harus melakukan penyesuaian izin penyelenggaran penyiaran.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran Pasal 33 menegaskan bahwa sebelum menyelenggarakan kegiatannya, lembaga penyiaran wajib memperoleh Izin Penyelenggaraan Penyiaran. Dalam pasal ini ditegaskan juga kewajiban pemohon izin untuk mencantumkan nama, visi, misi dan format siaran yang diselenggarakan serta memenuhi persyaratan sesuai ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya pemberian izin penyelenggaraan penyiaran diberikan negara berdasarkan minat, kepentingan dan kenyamanan publik. Oleh karenanya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah Nusa Tenggara Barat sangatlah berhati-hati dalam memproses permohonan izin penyelenggaraan penyiaran terutama menyangkut kelayakan program siaran yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau khalayak dimana lembaga penyiaran itu akan didirikan.
Berdasarkan data pada tabel 1 menunjukkan bahwa lembaga penyiaran di Nusa Tenggara Barat didominasi oleh radio swasta sebanyak 31 buah, TV swasta berjaringan 13 buah, TV lokal 6 buah, radio komunitas 5 buah dan sisanya adalah lembaga penyiaran publik radio 2 buah, lembaga penyiaran publik televisi, lembaga penyiaran publik televisi lokal dan lembaga penyiaran berlangganan melalui kabel masing-masing 1 buah. Namun sesungguhnya jumlah lembaga penyiaran yang terdaftar memproses permohonan izin penyelengaraan penyiaran melalui KPI Daerah NTB hingga 2016 jauh lebih besar sebanyak 145 buah.Sayangnya, tidak semua bisa diproses permohonan izinnya karena alasan administrasi dan teknis, disamping juga alasan menunggu peluang usaha dari Pemerintah.
Dari 60 lembaga penyiaran berizin di Nusa Tenggara Barat, sebagian besar bersiaran atau mengudara dari Kota Mataram sebanyak 41 lembaga penyiaran, sisanya tersebar di Kabupaten Lombok Barat 3 buah lembaga penyiaran, Lombok Tengah sebanyak 7 buah lembaga penyiaran, Lombok Timur sebanyak 9 buah lembaga penyiaran, Kota Bima sebanyak 4 lembaga penyiaran, Kabupaten Lombok Barat dan Sumbawa Besar 2 buah lembaga penyiaran serta Kabupaten Sumbawa Barat terdapat satu lembaga penyiaran. Sedangkan Kabupaten Lombok Utara, Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima hingga saat ini belum ada memiliki lembaga penyiaran berizin. Sejauh ini kebutuhan akan siaran radio di tiga kabupaten tersebut dilayani oleh siaran relai dari RRI Mataram.
Bila mencermati tabel 2 diatas, dapat disimpulkan bahwa Kota Mataram menjadi episentrum pendirian stasiun radio dan televisi di Nusa Tenggara Barat.Hal ini dapat dimaklumi mengingat status Kota Mataram sebagai salah satu Kota Maju di Indonesia merupakan barometer mengapa para pengusaha media, berani berinvestasi di sektor jasa siaran.
Kota Mataram selain sebagai pusat Pemerintahan dan Ibukota Provinsi, sejauh ini Kota yang mengusung slogan Maju dan religius itu juga merupakan Pusat bisnis yang kelak akan berkembang menjadi Kota Metropolitan. Ini ditandai dengan kehadiran berbagai pusat perbelanjaan kelas dunia, perhotelan, pusat hiburan, wisata kuliner, wisata religi dan berbagai keunggulan komparatif kota ini yang semakin menarik minat wisatawan domestik maupun mancanegara untuk berkunjung. Ditambah prilaku konsumtif warganya sebagai pasar potensial produk barang dan jasa.Jumlah penduduk Kota Mataram saat ini tidak kurang dari 500 ribu jiwa.
Sementara itu, daerah lain seperti Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur merupakan daerah yang juga terus berbenah dan dilirik pengusaha untuk mengembangkan jasa siaran yang disesuaikan dengan potensi daerah dan karakter khalayak setempat. Sedangkan Kabupaten Lombok Utara, Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima untuk saat ini belum memiliki lembaga penyiaran. Bukan berarti di daerah itu tidak ada pengusaha media siaran, tetapi untuk saat ini sejumlah permohonan izin siaran radio dari ketiga kabupaten ini mengalami stagnasi karena terbentur peluang usaha. Misalnya, Radio GTP FM, Radio Edhati FM dan Dompu FM untuk menyebut beberapa lembaga penyiaran swasta. Demikian juga di Lombok Utara, sesungguhnya terdapat beberapa pengelola Radio Komunitas seperti Primadona FM, Gitaswara FM, Gema Pantura FM, Rakom SGM FM, Pesona FM dan Radio Swasta Sajjaddah FM yang kini sedang menunggu permohonan izin siarannya diproses oleh KPID NTB, KPI dan Pemerintah. Adapun daftar lembaga penyiaran berizin di Nusa Tenggara Bara menurut sebaran kabupaten dan kota adalah sebagai berikut:
Kota Mataram LPP TVRI NTB, Lombok TV, Sasambo TV, Lombok Post TV, Nusa TV, TVOne Lombok, ANTV, Trans TV Mataram, Trans 7 Mataram, SCTV Mataram, RCTI Network NTB, GTV Mataram, INews TV Mataram, MNCTV Mataram, Metro TV NTB, Indosiar Mataram, NET TV Mataram, RTV Mataram, LPP RRI Mataram, RRI Produa FM, RRI Protiga FM, LPPL Suara Kota FM Mataram, Radio Gemini FM 101 FM Mataram, Radio CNL 95.1 FM Mataram, Radio Riper 97.5 FM Mataram, Radio Global 96.7 FM Mataram, Radio Sutra 91.6 FM, Radio Mayapesona 98.3 FM, Radio Lombok Post 102.6 FM Mataram, Radio V 87.6 FM Mataram, Radio Rock 88.4 FM Mataram, Radio Fresh 95.9 FM Mataram, Radio Soma 90 FM Mataram, Rakom Bragi 107.7 FM Mataram, Rakom Sinfony 107.8 FM UIN Mataram dan LPB Kabel M Vision.
Lombok Barat TV9, LPPL Suara Giri Menang FM Lombok Barat, Radio Haccandra FM
Lombok Tengah Radio Mandalika 88 FM, Radio Lombok 102.2 FM, Radio Tara 95.5 FM, Radio XBT 89.6 FM, Radio Yatofa 103 FM, Radio Mora NTB 94.7 FM dan Rakom Talenta 107.7 FM
Lombok Timur LPPL Selaparang T, Radio Kancanta 100.3 FM, Radio RHN 107 FM, Radio SCBS 93,6 FM, Radio Yadinu 98.7 FM, Radio Satu 105.4 FM, Radio Dewa Anjani 104.6 FM, Rakom BKL FM, Rakom Gema Islam
Sumbawa Besar Radio Rasesa Sumbawa 96.0 FM, Radio Oisvira 95.2 FM
Sumbawa Barat Rakom SGSN 107.7 FM
Kota Bima RRI Bima, Bima TV, Radio Bima 97.3 FM dan Radio Pelangi 103.2 FM
KPID Menatap Masa Depan Ada banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi KPID NTB dalam menata penyiaran lokal di Nusa Tenggara Barat. Salah satunya adalah upaya pembinaan dan penertiban operator lokal televisi kabel yang jumlahnya mencapai ratusan pengusaha dengan status tak berizin alias ilegal. Usaha TV kabel ini terus tumbuh dan berkembang bak jamur di musim penghujan. Bahkan seorang operator TV kabel di Sumbawa Besar memiliki pelanggan lebih dari 10 ribu orang. Bayangkan berapa besar keuntungan yang didapatkan pengusaha lokal itu, sementara di sisi lain mereka tidak mengantongi izin dan hak siar sejumlah saluran yang sebenarnya hanya bisa dinikmati pelanggan tertentu dengan biaya langganan yang cukup besar setiap bulannya. Dan belum tentu juga mereka membayar pajak ke daerah. Memang sampai saat ini, Pemerintah dan KPI sedang menggodok peraturan terkait penataan perizinan lembaga penyiaran berlangganan termasuk peraturan tentang pengawasan isi siaran lembaga penyiaran berlangganan.
Kendala lain yang dihadapi KPID NTB dalam memastikan siaran yang mencerdaskan adalah minimnya sumberdaya penyiaran lokal yang mumpuni dan profesional. Hanya sedikit saja lembaga penyiaran radio dan TV lokal yang dikelola secara profesional. Bahkan sebagian besar dikelola dengan manajemen keluarga, berpola one man show. Yang lebih ironis, tidak sedikit stasiun radio swasta yang mempekerjakan seorang penyiar merangkap banyak pekerjaan, mulai penulis naskah siaran, mencari iklan, membersihkan studio bahkan hingga jaga malam. Bagaimana mengharapkan isi siaran yang baik dan berkualitas bila mayoritas lembaga penyiaran lokal tidak ditopang SDM penyiaran yang mumpuni dan profesional. Belum lagi model perekrutan SDM penyiaran yang asal-asalan dan tidak dibekali dengan pemahaman yang cukup mengenai etika bisnis dan etika penyiaran sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Padahal bisnis dan jasa siaran merupakan high regulated business, bisnis dengan peraturan yang sangat rumit dan ketat.
Sebagai regulator di bidang penyiaran, KPID NTB tentulah diharapkan dapat mendorong terciptanya sistem penyiaran di Nusa Tenggara Barat yang dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kepentingan masyarakat lokal. Mendorong Lembaga penyiaran menjadi pilar pembangunan tentulah tidak bisa sekedar pemanis bibir (lips service) semata tetapi lebih dari itu, diperlukan sinergitas para pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menyamakan persepsi, visi dan misi agar tujuan dan cita-cita mulia itu dapat terwujud.
Ada pertanyaan, apakah masih penting Lembaga Negara ini, penulis melihat dengan apa yang sudah dijalani selama menjadi Komisioner KPID NTB. Dibilang penting jawabannya masih sangat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat kita sampai dengan hari ini. Komisi Penyiaran adalah penjaga Moral bangsa, apa yang dilakukan mulai dari sektor hulu sampai dengan hilir. Komisi Penyiaran bekerja setiap hari 24 jam non stop melakukan pengawasan penyiaran terhadap Lembaga Penyiaran yang menggunakan frekuensi publik. Bisa dibayangkan kalau tidak ada Komisi Penyiaran, lembaga penyiaran akan bebas melakukan apa saja yang menjadi keinginan mereka, pelan tapi pasti hasilnya moral bangsa ini akan terkikis. Jangan ada lagi pertanyaan tentang penting atau tidaknya lembaga Negara ini, sampai dengan anggapan bahwa kalau memang tidak penting bubarkansaja KPI. Ini adalah pemahaman kerdil dan menyesatkan dan bisa membuat permasalahan luar biasa terhadap bangsa Indonesia.
Penulis menyadari dalam penerapannya, KPI memang tidak seksi dan tidak sehebatdengan lembaga Negara lain (KPK, KPU, BAWASLU, dll) dibilang “KPID kurang masif” seperti yang dilontarkan oleh TGB sebutan Gubernur NTB saat ini. Kami mengakui masalah tersebut, hanya saja juga tidak serta merta kami tidak bekerja dan tidak melakukan apa apa. Terbukti kami masih tetap melakukan pengawasan dan pelayanan maksimal terhadap TV dan Radio di NTB. Hampir setiap tahun ratusan surat teguran dan klarifikasi yang dikirimkan ke Lembaga Penyiaran yang melanggar aturan P3 dan SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) sampai dengan penghentian tayangan bermasalah.
Lembaga Negara ini mengalami masalah dalam Kelembagaan, Undang Undang dikalahkan oleh Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan aturan lainnya.Dibilang aneh tapi nyata ini memang dialami oleh seluruh KPID di Indonesia, pelan pelan banyak yang diamputasi.Miris dan sedih melihat kenyataan pahit, tapi ini nyata. Tidak salah ada anggapan KPI sama dengan Lembaga Negara yang Tak Dianggap, karena Pemerintah dan legislatif kurang cepat dan tanggap terhadap revisi UU Penyiaran.
Solusi terbaik lewat revisi UU Penyiaran, dari tahun 2009 digulirkan sampai dengan tahun 2017 hanyalah isapan jempol belaka. Banyak tarik ulur kepentingan antara legislatif dengan industri, yang sebagian pemilik TV juga pembesar dari Partai Politik. Buah simalakama terjadinya revisi UU Penyiaran, penulis berharap di tahun 2018 revisi UU Penyiaran bisa rampung diselesaikan legislatif. Semoga!
KPI ( Komisi Penyiaran Indonesia ) patut berbangga karena acara RAMPIMNAS (Rapat Pimpinan Nasional) dibuka oleh Wapres yang legendaris di akhir masa jabatannya. Interaksi antara segenap pimpinan KPID se Indonesia dengan Wapres yang legendaris tersebut tentu sangat berkesan yang penuh makna. Di antara makna yang berkesan adalah pesan pesan beliau terkait dengan lembaga penyiaran yang saat ini menghadapai tantangan yang begitu problematik.
Wapres JK berpesan, bahwa : “lembaga penyiaran harus independen, objektif dan beretika.” Ketiga kata tersebut merupakan kata yang penuh problematika dan tantangan bagi masyarakat Indonesia. Kata independen misalnya, begitu sulit dipraktekkan di lembaga penyiaran karena dia diindentikkan dengan netralitas. Sementara kita semua sudah tahu bahwa netralitas lembaga penyiaran saat ini seolah sangat mustahil dilaksanakan karena lembaga penyiaran telah sarat kepentingan bisnis dan atau politik bagi segenap owners nya ( pemilik ), sementara independensi bagi lembaga penyiaran adalah hal yang sangat sakral dan wajib untuk kepentingan publik. Dalam pada itulah makna independensi seharusnya ditekankan pada makna kemerdekaan insan pers yang bekerja disetiap lembaga penyiaran. Sementara itu keberadaan peran dan tugas KPI/D urgent berperan memikul tugas untuk berpihak pada kepentingan publik karena dia adalah representasi publik, KPI/D harus berani secara profesional, independent dan objektif mengontrol setiap lembaga penyiaran agar sejalan dengan kepentingan publik.
Hal kedua, terkait dengan objektifitas lembaga penyiaran, adalah merupakan kata yang sebangun dengan profesionalisme insan lembaga penyiaran. Objektifitas lembaga penyiaran hanya mungkin dipersembahkan secara baik dan benar melalui profesionalitas. Itu artinya, insan lembaga penyiaran harus independent ( merdeka) dan profesional sebagai sebuah keterampilan wajib yang melekat dengan sendirinya.
Hal ketiga, sebagaimana yang ditekankan oleh Wapres JK adalah lembaga penyiaran harus mengedepankan etika. Pada kesempatan arahan Rapimnas, Wapres JK memberi penekanan tambahan bahwa maksud beretika adalah : lembaga penyiaran patut mempertimbangkan dampak negatif dan positif dari akibat berita dan informasi yang disebarluaskannya. Itu artinya setiap insan lembaga penyiaran harus memiliki kebijaksanaan, pengetahuan, dan keterampilan yang mendukung dan menjaga kerja profesionalnya agar tidak berdampak buruk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tetapi sebaliknya bisa berkontribusi positif dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian, jika independensi objektifitas dan etika dijalankan secara baik dan benar maka In Sya’Allah lembaga penyiaran ke depan akan lebih memaknai keberadaan dan perannya secara lebih positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Wallahu A’lam Bishawab...
Media Komunikasi Publik dan Pemisahan Empat Cabang Kekuasaan Dalam rangka Menjaga Keutuhan NKRI melalui Media Penyiaran yang sehat dan Berkualitas Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH .
PENGANTAR
Forum Komisi Penyiaran Indonesia 2018 ini mengambil tema yang sangat penting, yaitu: “Menjaga Keutuhan NKRI melalui Media Penyiaran yang sehat dan Berkualitas”. Pasti banyak sekali aspek yang perlu dikembangkan dan diperbaiki ke depan, agar bangsa kita lebih efektif lagi dalam upaya pengembangan media penyiaran yang sehat dan berkualitas untuk maksud menjaga keutuhan NKRI. Namun, salah satu aspek yang penting mendapat perhatian dewasa ini adalah bagaimana menjaga agar media penyiaran dan media massa, termasuk media sosial yang bersifat massif lainnya, dapat dikelola secara terpisahkan dari potensinya untuk terlibat benturan kepentingan dengan organ-organ penentu lainnya dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, diperlukan pengaturan-pengaturan baru dengan undang-undang untuk memastikan pemilik dan pengelola institusi penyiaran tidak terlibat konflik atau benturan kepentingan dengan kepemilikan dan kepengelolaan institusi yang beradalam dalam ranah kekuasaan politik, dunia bisnis, dan institusi-institusi masyarakat madani yang masing-masing dibutuhkan dalam hubungan-hubungan yang bersifat independen dan profesional di bidangnya masing-masing.
Namun, sebelum undang-undang yang semacam itu dapat dilahirkan dalam ruang politik legislasi yang semakin menyadari pentingnya pemisahan antar cabang kekuasaan secara tepat sesuai dengan perkembangan kebutuhan zaman kini dan mendatang, Pemerintah bersama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang hari ini menyelenggarakan forum ini dapat memulai suatu prakarsa baru untuk pengaturan-pengaturan minimal dan penerapan-penerapan bertahap mengenai prinsip-prinsip pokok pemisahan kekuasaan dan larangan benturan kepentingan tersebut di atas sesuai dengan kewenangannya sendiri berdasarkan UU dan berdasarkan prinsip kepentingan umum. Pengaturan semacam itu dapat dituangkan dalam bentuk PP (Peraturan Pemerintah) yang dijabarkan lebih lanjut dengan peraturan KPI sendiri. Bahkan, bilamana dapat disepakati, KPI dapat pula diperkuat dengan kewenangan regulatori yang langsung diberikan oleh undang-undang (legislative delegation of rule-making power), seperti halnya komisi-komisi negara yang bersifat independen lainnya, misalnya KPU, Bawaslu, KPPU, KPK, ORI, KIP, dan lain sebagainya.
JANGKAUAN KEKUASAAN ORGANISASI NEGARA
1.Terbentuknya Negara Ada banyak sekali teori yang dikembangkan oleh para ahli ilmu politik dan ilmu negara (staatslehre) mengenai proses terbentuknya negara (state formation) dalam sejarah. Di antaranya adanya empat teori yang dibedakan antara: (i) Divine Right Theory (Teori Kehendak Tuhan), (ii) Social Contract Theory (Teori Perjanjian Masyarakat), (iii) Evolutionary Theory (Teori Evolusi), dan (iv) Force Theory (Teori Kekuatan). Menurut Teori Kekuatan (Force Theory), negara diciptakan melalui suatu perjuangan tertentu atau karena agresi atau melalui pemaksaan tertentu di mana orang lain ditundukkan dan dikuasai atau diasimilasi ke dalam komunitas yang memaksa. Menurut Teori Divine Right, negara dibentuk karena kehendak Tuhan dan hanya mereka yang berdarah biru yang dapat memerintah atas nama Tuhan (teokrasi). Jika raja atau ratu tidak ditaati, maka yang bersangkutan akan berdosa karena sama dengan melanggar perintah Tuhan.
Teori lain adalah teori kontrak sosial. Negara dibentuk karena kesepakatan bersama seluruh warga untuk membentuk pemerintahan untuk kepentingan bersama. Menurut teori ini, negara dibentuk atas dasar kesepakatan bersama warganya untuk maksud melindungi dan mewujudkan kepentingan bersama. Mereka bersepakat untuk membentuk pemerintahan dan hidup bersama menurut aturan-aturan yang disepakati bersama selama pemerintahan itu menjamin perlindungan bagi kepentingan setiap warga, yaitu hidup, kebebasan, dan hak milik (Life, liberty and property). Sementara itu, menurut Teori Evolusi (Evolutionary Theory), negara tumbuh dari struktur keluarga inti dan kepala keluarga . Pengertian keluarga kemudian berkembang meluas ke keponakan, sepupu, menantu dan seluruh sanak saudara beserta tetangga dan teman-temannya membentuk suatu kesatuan komunitas dan organisasi kekuasaan dan dukungan kekayaan untuk hidup bersama secara lebih luas dengan wilayah pengaruh yang juga meluas yang ketika kepala keluarga meninggal dunia, posisinya diteruskan oleh salah satu keturunannya, dan seterusnya. Proses inilah yang dalam jangka panjang melahirkan negara kerajaan, yaitu negara yang dimulai oleh satu keluarga .
Di samping itu, ada pula teori yang dibedakan antara teori sukarela (voluntary theory) dan teori konflik (conflict theory). Teori-teori sukarela (voluntary theories) berpandangan bahwa aneka ragam kelompok warga bersama-sama membentuk negara sebagai hasil dari kepentingan rasional bersama (shared rational interest) . Sedangkan Teori Konflik berpandangan bahwa pembentukan negara itu didorong oleh adanya konflik dan dominasi sekelompok penduduk dengan kelompok penduduk lainnya yang menjadi pemicu utama atau kunci bagi terbentuknya negara . Selain itu, teori-teori tersebut secara umum juga mencakup berbagai variasi teori lainnya, seperti adanya faktor stratifikasi sosial ekonomi (economic stratification), penaklukan-penaklukan oleh sekelompok orang terhadap kelompok lainnya, konflik-konflik di daerah-daerah atau kawasan-kawasan tertentu, dan juga adanya faktor pertumbuhan evolusi birokrasi atau susunan organisasi negara itu sendiri yang mempengaruhi pembentukan organisasi negara, seperti karena separatisme dan sebagainya.
Dalam pelbagai teori tersebut di atas, terdapat unsur yang sama, yaitu diterbentuknya organisasi negara bermula dari kesadaran warganya untuk berogranisasi guna mencapai tujuan bersama, sebagaimana teori pembentukan organisasi pada umumnya. Dengan kata lain, negara itu tidak lain merupakan organisasi dalam mana manusia saling bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Sebagai organisme manusia, negara itu tumbuh dari dinamika kehidupan bersama yang kemudian dikonstruksikan dengan sebutan negara.
2.Kekuasaan Negara Terpusat versus Kekuasaan Terurai
Terlepas dari berbagai aneka teori pembentukan organisasi negara itu, yang jelas dalam kenyataan sejarah, umat manusia pernah berkenalan dengan ide negara teokrasi, di mana para Raja-nya berkuasa secara turun temurun dan sekaligus mengklaim dirinya sebagai wakil Tuhan dalam kehidupan. Oleh karena itu, kekuasaan para penguasa negara menjadi sangat absolut atas nama Tuhan, karena kekuasaan negara terpusat di tangan Raja atau Ratu, sedangkan orang tunduk lain wajib tunduk dan taat secara mutlak kepadanya. Selama ribuan tahun perjalanan sejarah umat manusia yang tercatat dan diketahui, sistem kekuasaan negara selalu terpusat di tangan seorang Raja atau Ratu yang dapat direspons secara baik dan mendapatkan dukungan multak dari rakyatnya atau dapat pula direspons tidak baik atau bahkan dilawan oleh rakyatnya.
Perlawanan-perlawanan itu muncul dari inisiatif-inisiatif dari bawah yang dapat mengambil pelbagai bentuk yang lembut ataupun yang keras, dan bahkan dalam bentuk konflik yang melahirkan pemberontakan dan bahkan kudeta. Pelbagai bentuk perlawanan berkaitan pula dengan perkembangan tingkat kesadaran masyarakat akan kebebasan yang melahirkan gerakan liberalisme. Gerakan liberalisasi inilah yang dalam sejarah memisah dan mendistribusikan kekuasaan terpusat menjadi terurai ke dalam banyak fungsi yang dilembagakan secara sendiri. Pemisahan kekuasaan dimulai dengan adanya pemisahan agama (gereja) dari negara, atau pemisahan otoritas negara dari otoritas keagamaan secara horizontal yang melahirkan doktrin sekularisme. Pemisahan kekuasaan dilanjutnya dengan munculnya praktik duo-poltica yang membedakan dan kemudian memisahkan fungsi pembuatan kebijakan (policy making) dan pelaksanaan kebijakan (policy executing) . Kemudian muncul pula doktrin ‘tris politica’ yang memisahkan pula fungsi-fungsi peradilan secara tersendiri sehingga kekuasaan dibedakan antara fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Bahkan, pada akhir abad ke-18 dan ke-19 sebagai akibat banyaknya terjadi perpecahan dan kemunculan kerajaan-kerajaan kecil di Eropah sebelumnya, muncul pula pelbagai bentuk organisasi antar negara, yang melahirkan doktrin tentang susunan organisasi negara federal, konfederasi, dan organisasi negara kesatuan yang terbagi atas pemerintahan-pemerintahan daerah. Dengan adanya perkembangan-perkembangan yang bersifat struktural ini, kekuasaan negara yang semula terpusat di tangan Raja atau Ratu berubah menjadi terurai ke dalam banyak fungsi yang dilembagakan dalam bentuk organ-organ yang semakin lama semakin kompleks yang tercermin dalam struktur organisasi pemerintahan di masing-masing negara.
Semua itu disebabkan oleh derasnya arus liberalisasi di mana-mana di dunia. Sebagai akibat dari gerakan liberalisasi yang bersifat massif ini, format politik kenegaraan dan format ekonomi kemasyarakatan mengalami pula proses liberalisasi yang mengurangi beban negara di satu pihak dan mengurangi intervensi pemerintahan dalam dinamika kebebasan yang tumbuh dan berkembang. Kebebasan ini, di bidang politik memperkembangkan doktrin-doktrin baru tentang demokrasi liberal yang berusaha mengurangi kekuasaan pemerintahan sesedikit mungkin dan doktrin-doktrin baru tentang kapitalisme yang mempercayakan segala sesuatu yang berkenaan dengan perekonomian kepada mekanisme pasar bebas (free market). Gelombang liberalisasi politik dan ekonomi inilah yang melahirkan doktrin ‘nachwachtersstaat’ atau negara jaga malam dan doktrin tentang kapitalisme klassik.
1. ‘Nachwachtersstaat’ versus ‘Welvartsstaat’ Negara yang telah mengalami liberalisasi yang bersifat massif tersebut di atas, memunculkan pula gerakan-gerakan perlawanan rakyat yang menghasilkan gelombang pemisahan kekuasaan antara agama dan negara, antara fungsi-fungsi horizontal, antar pusat versus daerah, dan sebagainya dan akhirnya melahirkan doktrin ‘nachwachtersstaat’ . Negara dinilai cukuplah berfungsi melindungi warganya alias cukuplah berfungsi sebagai negara minimal (minimal state) yang bertugas sebagai penjaga malam saja bagi seluruh rakyatnya . Yang diidealkan disini adalah prinsip ‘the best government is the least government’, yaitu pemerintahan yang paling sedikit memerintah, yang paling sedikit melakukan intervensi terhadap dinamika kehidupan bermasyarakat, baik di bidang ekonomi maupun di bidang sosial.
Namun, gelombang liberalisme yang mengidealkan ‘non-intervensionist state’ ini berakibat buruk pada kondisi kemiskinanan dan keterbelakangan mayoritas warga negara. Di mana-mana di seluruh kawasan Eropah muncul kantong-kantong kemiskinan sebagai akibat tidak meratanya kemajuan ekonomi dan kesejahteraan antar warga yang dipaksa untuk berkiompetisi secara bebas dalam sistem demokrasi dan kapitalisme klasik. Kesadaran baru inilah yang kemudian mendorong lahirnya doktrin baru lagi, yaitu ‘welvaartstaat’ atau ‘welfare state’ (negara kesejahteraan) karena pengaruh aliran sosialisme dalam sejarah. Doktrin negara kesejahteraan ini mengidealkan negara justru harus bertanggungjawab atas kemiskinan yang terjadi di kalangan rakyatnya. Untuk itu, negara justru diidealkan untuk melakukan intervensi (intervensionist state) dalam urusan-urusan yang rakyatnya sendiri tidak sanggup berkompetisi secara bebas antar sesama. Tidak semua orang memiliki kemampuan yang sama untuk menikmati kebebasan dan mendapatkan keuntungan dari kebebasan. Bagi mereka yang tidak mampu, diperlukan uluran tangan negara untuk mengintervensi .
Namun dalam praktik, upaya intervensi oleh negara yang diidealkan oleh paham sosialisme ini juga berkembang secara ekstrim. Inilah yang melahirkan ajaran komunisme pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di mana-mana. Bentuk esktrim ini cukup lama bertahan sampai akhirnya ambrug mulai sejak dasa warsa kedua pertengahan abad ke-20. Kehancuran komunisme diawali dengan runtuhnya tembok Berlin dan bubarnya Uni Soviet menjadi banyak negara merdeka di kawasan Eropah Timur. Sejak itu, kritik terhadap ide negara kesehateraan terus meningkat dan paham neoliberalisme berkembang semakin agresif seakan tidak ada lagi tandingannya sampai sekarang.
Semua perkembangan ini, terutama setelah runtuhnya rezim komunisme pada tahun 1970-an, semakin menyebabkan organisasi negara mengalami differensiasi struktural yang harus dilembagakan dalam pembagian-pembagian dan bahkan pemisahan-pemisahan antar cabang atau antar fungsi-fungsi kekuasaan, baik secara horizontal, vertikal, maupun diagonal. Di mana-mana muncul kebijakan deregulasi, debirokrasi atau debirokratisasi, dan bahkan privatisasi pengelolaan fungsi-fungsi kekuasaan negara pada bidang-bidang tertentu. Akibatnya struktur organisasi negara berkembang semakin terurai ke dalam postur kelembagaan yang semakin terdistribusi. Bahkan, kebebasan yang sejak sebelumnya pada abad ke-20 telah melahirkan fenomena kebebasan pers yang berperan sangat besar dalam memperkuat ruang publik yang bebas mengumandangkan pula jargon baru, yaitu kebebasan pers sebagai pilar keempat demokrasi, ‘the fourth pillars of democracy’ di samping cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
2. Munculnya media sebagai the Fourth Estate of Democracy dan Quadru-Politica Sejak pertengahan abad ke-20, dengan pesatnya kemajuan teknologi media komunikasi cetak, peranan pers bebas (freedom of the press) yang membuka ruang publik yang semakin bebas juga berkembang pesat. Buku pertama yang menuliskan hal ini, bahkan menjadikannya judul, adalah buku Douglass Cater pada tahun 1959, yaitu “The Fourth Branch of Government” . Prinsip kebebasan pers terus berkembang semakin menonjol sebagai salah satu bentuk kebebasan berekspresi yang dianggap paling menentukan wajah demokrasi modern. Bahkan, karena itu, muncul pula doktrin media pers bebas sebagai ‘the fourth estate of democracy’ , di samping ketiga cabang kekuasaan konvensional, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kekuasaan negara yang sejak sebelumnya dipahami terdiri atas tiga cabang kekuasaan yang saling terpisah dan saling mengendalikan (checks and balances), ditambah pula dengan peranan media pers bebas sebagai cabang kekuasaan keempat dalam sistem demokrasi modern. Kebebasan pers ini semakin memperkuat kebebasan di ruang-ruang publik, sehingga semua pusat-pusat kekuasaan dalam struktur organisasi negara dapat dikendalikan dari potensi dan kemungkinan disalahgunakan oleh para pejabat pemegang kekuasaan.
Sebenarnya, istilah ‘the fourth estate’ yang dikaitkan dengan pers ini pertama kali digunakan oleh Edmund Burk di parlemen Inggris pada tahun 1787 yang menyebut pentingnya peran media pers di samping tiga kekuatan politik lainnya di House of Lords, yaitu Lords Spiritual (the first estate), Lords Temporal (second estate), dan the Commoners (the thrid estate). Hal ini berkaitan dengan prinsip perwakilan rakyat yang terwakili di dalam keanggotaan House Lords. Kelompok pertama adalah ‘Lords Spiritual’, yaitu tokoh-tokoh agama dan gereja. Kelompok kedua adalah Lords Temporal, yaitu anggota yang tidak tetap dari golongan bangsawan tetapi bukan tokoh agama. Sedangkan kelompok ketiga adalah perwakilan rakyat biasa atau ‘the commoners’ yang kemudian dilembagakan tersendiri menjadi House of Commons. Karena pentingnya peranan media dalam komunikasi publik, oleh Edmund Burk, ketiga cabang perwakilan itu ditambahnya dengan peranan media pers sebagai ‘the fourth estate’ dari fungsi perwakilan rakyat.
Di kemudian hari, istilah ini diadopsi dan digunakan juga di Amerika Serikat, dikaitkan dengan pengertian cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudisial, ditambah yang keempat, yaitu media pers sebagai ‘the fourth estate of democracy’. Namun, sebelum dikaitkan dengan media seperti Edmund Burk di Inggris pada tahun 1787, di Amerika Serikat, istilah “the fourth branch of government" ini mula-mula tidak dikaitkan dengan pers, tetapi dengan kekuasaan lembaga-lembaga ekstra yang bersifat campuran antara eksekutif, legislatif, dan semi-yudisial. Istilah ini muncul ke permukaan pertama kali pada tahun 1930-an, ketika banyak kalangan mengeritik kebijakan New Dealnya Franklin Delano Roosevelt (FDR) yang mengakibatkan banyaknya dibentuk komisi-komisi negara yang bersifat independen dan menjalankan fungsi ‘self-regulatory’ yang diangkat oleh pemerintah. Selain ‘self-regulatory’, lembaga-lembaga ini juga sebagian berfungsi semi-yudisial yang tidak secara langsung bertanggungjawab kepada rakyat. Lembaga-lembaga yang bersifat campuran antara fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif inilah yang disebut pada tahun 1930-an sebagai ‘the fourth branch of government’.
Karena itu, di Amerika Serikat sendiri, istilah ‘the fourth estate of democracy’ dan ‘the fourth branch of government’ semula tidak dikaitkan dengan pers sama sekali. Istilah ini dikaitkan dengan demokrasi baru muncul sesudah peranan media massa terus meningkat pada awal abad ke-20, sehingga istilah ‘the fourth estate of democracy’ dikaitkan dengan pers seperti yang pertama kali diperkenalkan oleh Edmund Burk pada tahun 1787. Kembali populernya istilah dimulai oleh Herbert Brucker pada tahun 1949 yang menuliskan pemikirannya tentang kebebasan pers dalam bukunya “Freedom of Information” . Herbert Brucker adalah editor Hartford Courant dan bukunya ini lah yang dapat dikatakan pertama kali menggunakan istilah ‘the fourth estate of democracy’ atau ‘the fourth branch of government’ di zaman modern sekarang. Pengertian istilah ini dikaitkan dengan peran media pers sebagai cabang keempat sesudah cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudisial. Sejak itu, istilah ini semakin sering dipakai sampai kemudian Douglass Cater menulis buku khusus tentang hal ini, yaitu: “The Fourth Branch of Government”, pada tahun 1959 .
Menjelang berakhirnya abad ke-20, pelbagai teori tentang ‘civil society’ yang disandingkan dengan negara dan peranan mekanisme pasar semakin berkembang pula secara luas. Karena itu, muncul pula pengertian yang saya sendiri mengistilahkannya dengan ‘trias politica baru’, yaitu negara (state), masyarakat madani (civil society), dan pasar (market). Ketiga cabang kekuasaan baru ini semakin disadari menjadi realitas baru di mana-mana di seluruh dunia sebagai ranah kehidupan yang memberikan peran-peran yang diidealkan bersifat seimbang kepada institusi-institusi yang terbentuk dan berperan di masing-masing cabang atau ranah. Organ-organ negara, organisasi-organisasi masyarakat madani dan korporasi-korporasi yang bergerak di dunia usaha dipandang sama-sama penting dan memberikan sumbangan yang diidealkan seimbang bagi kemajuan suatu bangsa. Karena itu, peranan pers bebas yang semula disebut sebagai ‘the fourth estate of democracy’ bersama dengan cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sekarang dapat kita sebut sebagai ‘the fourth estate of democracy’ di samping cabang kekuasaan negara (state), masyarakat (civil society), dan dunia usaha (market).
Inilah yang saya namakan sebagai ‘quadru-politica’ atau ‘the four branches of government ’ atau ‘the four estates of democracy’ dalam pengertian yang baru, yaitu negara, masyarakat, dunia usaha, dan media pers bebas yang satu sama lain harus dipandang sebagai cabang-cabang kekuasaan yang terpisah dan tidak boleh dikelola oleh satu tangan untuk mencegah konflik kepentingan di antara keempatnya. Jika keempat cabang kekuasaan baru atau ‘quadru-politica’ baru tersebut tidak terpisah, tetapi berada di dalam genggaman satu tangan, maka niscaya masa depan sistem demokrasi akan mengalami kemacetan dan kembali ke era kekuasaan negara terpusat di satu tangan penguasa. Karena itu, standar-standar demokrasi di tiap-tiap kurun zaman haruslah berbeda-beda ukurannya disesuaikan dengan perkembangan-perkembangan dan kebutuhan-kebutuhan baru yang muncul dalam dinamika sejarah. Apa yang dulu sudah dianggap demokratis, dengan menggunakan ukuran-ukuran yang sama belum tentu mencukupi untuk tetap dianggap demokratis dengan ukuran-ukuran baru di masa depan. Di masa kini, umat manusia tidak lagi merasa cukup dengan mempraktikkan demokrasi yang bersifat formalistik dan prosedural. Zaman sekarang menghendaki diterapkannya standar-standar yang lebih tinggi, sehingga demokrasi tidak hanya bersifat formalistik dan prosedural, melainkan harus pula bersifat substansial dan berintegritas. Demokrasi tidak lagi cukup hanya diimbangi oleh tegaknya prinsip ‘rule of law’, tetapi juga harus diimbangi oleh tegak dan berfungsinya ‘rule of ethics’ dengan sebaik-baiknya .
3. Quadru Politica Makro dan Mikro Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa pengertian ‘trias politica’ Monstesquieu yang terdiri atas cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif telah mengalami perubahan menjadi ‘trias politica’ baru yang terdiri atas cabang kekuasaan negara (State), masyarakat (civil society), dan pasar (market). Hal itu terjadi karena kompleksitas pelembagaan kekuasaan dalam pelbagai ragam organ kelembagaan negara selama abad ke-20 dan abad ke-21 telah mengubah polarisasi fungsi-fungsi kekuasaan itu tidak lagi terbagi ke dalam cabang-cabang seperti yang dibayangkan semula oleh Montesquieu yaitu tercermin dalam fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif semata. Ketiga fungsi ini dewasa ini sudah mengalami percampuran yang sangat dinamis dan tidak berpola. Apalagi dalam hubungan antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif, dinamikanya sangat kompleks dan melahirkan pelbagai model sistem pemerintahan yang terus berkembang, seperti sistem presidentil, sistem parlementer, sistem quasi presidentil, sistem quasi parlementer, ataupun sistem campuran yang berkembang sesuai dengan kebutuhan dan pengalaman praktik di tiap-tiap negara di dunia yang tidak lagi menggambarkan polarisasi fungsi kekuasaan sebagaimana dimaksudkan dulu oleh Montesquieu sendiri .
Sekarang, pengertian ‘trias politica baru’ yang mencakup pengertian negara, masyarakat, dan dunia usaha tersebut di atas terus berkembang menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan. Namun, esensi ‘trias politica’ baru dan lama itu tetap sama, yaitu adanya pemisahan kekuasaan untuk mencegah terjadinya penumpukan kekuasaan di satu tangan, dan konflik kepentingan yang merugikan kepentingan umum. Karena itu, ketiga cabang kekuasaan yang baru itu juga harus bersifat terpisah dan menjamin tidak terjadinya konflik kepentingan antara satu dengan yang lain. Bahkan, oleh karena sejarah umat manusia telah pula memperkenalkan adanya peran baru yang dimainkan oleh media pers bebas dalam perikehidupan bersama, maka peran pers bebas yang sebelum disebut sebagai ‘the fourth estate of democracy’ di samping cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tetapi dapat diteruskan dalam konstelasi pengertian yang baru, yaitu sebagai ‘the fourth estate of new democracy’ di samping kekuasaan negara (state), masyarakat madani (civil society), dan pasar (market). Ini saya namakan sebagai ‘quadru-politica’ baru dalam arti makro (macro quadru-politica).
Sedangkan pengertian ‘trias politica’ dan ‘quadru-politica’ dalam arti mikro tetap terkait dengan fungsi-fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun, cabang yang keempat bukan lagi media pers bebas, melainkan fungsi penyelenggara pemilihan umum sebagai ‘core-business’ sistem demokrasi. Pemilihan umum sebagai sarana penyaluran prinsip kedaulatan rakyat merupakan ciri pokok atau pilar demokrasi yang sesungguhnya. Karena itu, penyelenggara pemilu harus diposisikan secara tersendiri di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Cabang kekuasaan legislatif diisi oleh para peserta pemilu. Demikian pula cabang kekuasaan eksekutif dipimpin oleh Presiden dan Wakil Presiden, serta oleh Gubernur, Bupati, dan Walikota yang adalah pula peserta pemilu. Sedangkan cabang kekuasaan yudikatif adalah cabang kekuasaan yang akan mengadili proses pemilu oleh Mahkamah Agung dan jajajrannya, dan hasil pemilu oleh Mahkamah Konstitusi. Karena itu, penyelenggara pemilu haruslah dilihat sebagai cabang kekuasaan keempat melengkapi pengertian ‘quadru-politica’ dalam arti yang mikro, di samping cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam pengertian yang lazim.
Dari semua uraian di atas dapat dikatakan bahwa bentuk dan jangkauan kekuasaan negara dewasa telah mengalami perubahan yang sangat mendasar. Domain of power berubah dinamis dan kompleks melahirkan aktor-aktor yang beraneka ragam bentuknya dan pola hubungannya secara vertikal, horizontal, dan diagonal. Bahkan kehidupan kita sebagai satu bangsa tidak cukup lagi hanya dilembagakan dalam organisasi negara melalui organ-organ kelembagaannya di segala lapisan supra-struktur dan infra-struktur kehidupan bernegara, melainkan harus pula tercermin dalam sistem pelembagaan dalam masyarakat madani dan di lingkungan dunia usaha (market). Semua bentuk pelembagaan perikehidupan bersama di bidang politik, ekonomi, dan sosial memerlukan sistem norma yang disepakati bersama dan sekaligus berfungsi sebagai pegangan atau sistem rujukan bersama bagi seluruh warga bangsa.
Baik struktur maupun sistem aturan normatif tersebut terlembagakan dalam pengertian baru tentang institusi negara dalam arti yang luas, persis seperti pengertian klasik yang tidak melihat organisasi negara dengan pendekatan organisme manusia biasa. Sekarang dalam konterks lingkup pengertian Negara dalam arti luas juga meliputi semua jenis institusi kekuasaan yang hidup dan bergerak dalam dinamika masyarakat madani maupun dalam ranah ekonomi pasar. Jangkauan kekuasaan yang mendominasi kehidupan bersama meluas bukan saja dari negara dalam arti sempit tetapi semua institusi kekuasaan dalam arti yang luas, yaitu institusi politik, ekonomi, dan juga sosial dalam masyarakat madani.
PEMISAHAN ASET MEDIA PENYIARAN SEBAGAI ‘THE FOURTH ESTATE’
Media penyiaran, bersama-sama dengan media sosial, dewasa ini telah berubah sangat drastis dan dramatis sebagai raksasa baru, tidak saja dalam memberitakan dan menyebarkan-luaskan informasi tetapi juga dalam mendidik dan bahkan membentuk sikap dan perilaku masyarakat luas, yang yang secara sengaja dirancang oleh redaktur dan penyiarnya ataupun yang sama sekali tidak disengaja atau disadari oleh redaktur dan penyiarnya sendiri. Sudah terlalu banyak yang menjelaskan hal ini, termasuk dalam pembicara dan makalah-makalah lain dalam forum ini, sudah pasti hal ini juga akan diberi tekanan yang tersendiri. Yang penting untuk diberi tekanan dalam makalah ini adalah bahwa dewasa ini dan apalagi di masa-masa yang akan datang, media komunikasi publik harus dipahami sebagai suatu kekuatan atau bahkan sebagai suatu cabang kekuasaan yang tersendiri dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara yang harus dibedakan dan bahkan dipisahkan agar tidak berbenturan kepentingan dengan cabang-cabang kekuasaan lainnya, yaitu politik bernegara dalam arti sempit (state), dunia usaha yang dikendalikan oleh para pemilik modal (market oriented corporations), organisasi-organisasi masyarakat madani (civil society organizations atau CSO’s).
Pengaturan mengenai hal ini idealnya haruslah dengan undang-undang. Namun, jikalau KPI dan Pemerintah dapat mencapai kata sepakat, langkah-langkah strategis untuk mengatur pemisahan kekuasaan media elektronik, baik aspek kepemilikan maupun kepengelolaannya, dapat saja dimulai dengan disusunnya PP dan Peraturan KPI. Namun, pengaturan-pengaturan itu hendaknya dimulai dengan disusunnya suatu cetak biru dalam jangka panjang untuk memastikan bahwa arah pengembangan media elektronik, khususnya media penyiaran publik di Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini sejalan dengan upaya mengembangkan sistem dan praktik demokrasi yang semakin berkualitas dan berintegritas sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman searang dan masa-masa mendatang.
Konkritnya, pemilik dan pengelola media penyiaran di masa mendatang harus dipastikan tidak berbenturan kepentingan dengan (1) politik, yaitu dengan pengurus partai politik dan pejabat penyelenggara negara atau aparatur sipil negara (ASN); (2) bisnis, yaitu dengan status pemilik saham, komisaris, atau direksi perusahaan; dan (3) organisasi masyarakat, yaitu dengan status kepengurusan dalam organ berbadan hukum yayasan, perkumpulan, dan organisasi kemasyarakatan lainnya. Jika pemilik saham suatu lembaga penyiaran, misalnya, adalah pejabat negara atau menjadi pengurus partai politik, maka status saham yang bersangkutan di dalam akta perusahaan industri penyiaran yang bersangkutan harus diserahkan kepada institusi manajemen asset yang bersifat independen yang dapat dibentuk dengan undang-undang, misalnya seperti di Amerika Serikat, dinamakan “Blind-Trust Management”. Dengan mekanisme demikian, hendak dipastikan bahwa pemilik atau pemegang saham di perusahaan media, jika misalnya ia juga menjadi pejabat negara atau pejabat di partai politik, tidak akan menghadapi masalah benturan kepentingan dalam membuat keputusan di lingkungan internal perusahaan media penyiaran dengan pembuatan keputusan di lingkungan jabatan politik yang dipegangnya.
Di Amerika Serikat, mekanisme ‘Blind Trust Management’ diatur dalam UU “Ethics in Government Act” Tahun 1978 yang mengatur adanya "The Qualified Blind Trust" (QBT). Agar suatu ‘blind trust’ dapat memenuhi kualifikasi sebagai QBT, ‘trustee’ tidak boleh terafiliasi, berhubungan, atau berpotensi untuk tunduk di bawah kendali atau pengaruh dari pejabat penyelenggara negara (government officials). Menurut UU “Ethics in Government Act 1978” tersebut, para pejabat penyelenggara negara diharuskan mengumumkan kekuasaan saham-saham yang dimilikinya di perusahaan swasta ataupun di perusahaan publik, atau ditempatkan di bawah seorang QBT. Mereka tidak diharuskan menjual saham atau aset, melainkan cukup menyerahkan pengelolaannya kepada QBT yang bersifat professional dan independen tersebut untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan.
QBT bertanggungjawab atas semua amanah (trust) atas semua kepentingan atas kekayaan saham atau asset dan pendapatan atau penghasilan individu pelapor (reporting individual), pasangannya, atau anak atau orang yang dibawah pengampuannya dapat diwajibkan untuk bersikap (i) independen, tidak tunduk kepada pengaruh, terafiliasi dengan, atau berhubungan dengan pejabat penyelenggara negara; (ii) asset yang ditransfer kepada QBT tidak dibatasi, sehingga QBT dapat bertindak bebas untuk menjual atau mentransfer asset tersebut secara bebas, tanpa campur tangan pemilik; (iii) Amanah atau trust diberikan atas dasar persetujuan bersama antara “Trust” dan “Trustee” yang mendapat persetujuan resmi dari Komisi Etika sebagai kantor pemerintahan federal yang resmi yang bertindak sebagai pengawas (the government official's supervising ethics office); dan (iv) dalam naskah persetujuan itu, harus termuat ketentuan eksplisit bahwa amanah (trust) dimaksudkan untuk mencegah pejabat penyelenggara negara “ berkomunikasi dengan “Trustee” dan berusaha untuk mempengaruhi mekanisme pengambilan keputusan terkait dengan pengelolaan asset atau saham miliknya yang ada di perusahaan yang bersangkutan. Di hampir semua negara bagian di Amerika Serikat, keempat hal itu juga diadopsi dengan mengacu kepada UU Federal yang berlaku, yaitu Ethics in Government Act Tahun 1978 tersebut di atas.
Namun, dewasa ini, UU juga dipandang sudah sangat ketinggalan zaman. Sekarang Presiden Amerika Serikat dijabat oleh seorang Konglomerat, Donald Trump, yang ternyata tidak termasuk ke dalam pembatasan dan pengaturan konflik kepentingan menurut UU tersebut. Karena yang diatur di dalam UU ini hanya pejabat penyelenggara negara di luar jabatan presiden menurut Konstitusi. Akibatnya, Presiden Donald Trump dapat dengan seenaknya bekerja sebagai Presiden tetapi juga tetap bebas sebagai pemegang saham dan menjadi penguasa di lingkungan kerajaan bisnisnya sendiri. Perkembangan ini membangunkan kesadaran baru, tidak saja di Amerika Serikat, tetapi juga di seluruh dunia, mengenai telah munculnya era baru dalam perkembangan sistem demokrasi pasca modern yang sama sekali tidak dapat lagi mengandalkan ukuran-ukuran kualitas dan integritas yang diwarisi dari teori dan praktik dari abad ke-20 dan apalagi dari abad-abad sebelumnya. Sekarang, muncul kebutuhan yang sangat serius untuk benar-benar membuat aturan-aturan hukum dan etika (the rule of law and the rule of ethics) yang memisahkan antara cabang kekuasaan kepemilikan dan kepengelolaan media komunikasi publik yang bersifat massif dengan tiga cabang kekuasaan lainnya, yaitu cabang organ-organ kekuasaan politik bernegara (state), organisasi masyarakat madani (CSO’s), dan dunia usaha (corporate markets).
Untuk itu, mari kita memulai reformasi pengaturannya di Indonesia untuk mendorong agar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai Negara Demokrasi Pancasila yang merupakan ‘the third larges democracy in the world’ dapat memprakarsai pemisahan keempat cabang kekuasaan itu (the quadru-politica macro) dengan sebaik-baiknya dan dengan seimbang di bawah kepemimpinan kepala negara. Pemisahan keempatnya dilakukan dengan rujukan sistem nilai Pancasila dan UUD 1945, dengan mengembangkan pengertian Negara dan Bangsa dalam HURUF BESAR, yang di dalamnya, terdapat empat organ kekuasaan, yaitu pemerintahan negara, penyelenggaran dunia usaha oleh korporasi, penyelenggaraan kegiatan kemasyarakatan oleh organisasi masyarakat madani (CSO’s), dan penyelenggaraan komunikasi massa oleh institusi penyiaran publik dan penyelenggara media sosial sebagai cabang kekuasaan keempat, dengan dipimpin oleh Presiden sebagai Kepala Negara dengan huruf kecil maupun dengan huruf besar yang mengatasi semua ranah keempat cabang kekuasaan itu secara bersama-sama dan sekaligus sebagai Pemimpin Bangsa yang memperkuat, memberdayakan, dan menggerakkan roda-roda organisasi dari keempat cabang kekuasaan baru itu (the new quadru-politica) untuk saling bersinergi positif guna mewujudkan empat tujuan berbangsa dan bernegara dengan didasarkan atas dan dituntun oleh lima sila Pancasila yang tercermin dalam aturan-aturan konstitusional UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mohon kpd pimpinan KPI utk turun tangan soal stasiun tv milik Viva grup yaitu ANTV resmi PHK sejumlah karyawannya di jelang akhir 2024, kalo tidak segera panggil pemiliknya BPK. Anindya Bakrie dan manajemen ANTV terkait PHK karyawannya yg viral di medsos
Pojok Apresiasi
BoBoiBoy Air
Tolong untuk pengguna ini jangan ditanggapi dan sebaiknya untuk saluran tv r-tv ini wajib menayangkan kartun sampai malam kalau perlu tayangin kartun di RTV sampai jam 22:00 tu lebih baik karena selama ini saluran RTV ini mengutamakan siaran kartun yg disukai anak-anak karena sudah tak ada pilihan lain untuk saluran televisi yg aman ditonton, karena setau saya untuk tayangan khusus orang tua, misc berita/film ini sangat dibenci anak-anak, kalau stasiun tv dimalam hari tidak menyiarkan kartun, ya secara otomatisnya anak anak akan beralih menonton video streaming Y.T.B di hp yg belum tentu aman untuk anak, apalagi kalau anak tu gaptek teknologi dikasih hp malah untuk nonton konten tak layak jadi gak enak kan kalau stasiun tv malam hari tidak siarkan kartun
Karena saya sudah memberi nilai baik ke RTV sebagai TV yg layak untuk ditonton anak-anak.
Terima kasih, dan semoga dibaca sama ketua KPI dan Warganet.