Opini oleh Danang Sangga Buwana

Menarik menyimak kembali pernyataan Presiden SBY saat membuka Rapat Pimpinan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Istana Negara beberapa waktu lalu, yang mengatakan bahwa kebebasan dapat berpotensi korup, sebagaimana kekuasaan yang cenderung korup. Menganalogikan dalil kekuasaan Lord Acton, SBY mengatakan, “Liberty also can corrupt. Absolute liberty corrupt absolutely.” Pernyataan ini setidaknya merefleksi dinamika politik pada pesta demokrasi tahun 2014 dipanggung media. 

Pesta demokrasi lima tahunan bangsa ini memang telah usai. Laju sistem demokrasi kita di satu sisi memang layak mendapatkan apresiasi, mengingat Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) telah landing pada landasannya. Recovery politik pun niscaya segera dilakukan. Bahwa rakyat pendukung, elit politisi, maupun para kontestan calon pemimpin bangsa, sudah harus melakukan rekonsiliasi nasional. Inilah saatnya merajut kembali temali kebangsaan yang sebelumnya tampak merenggang.

Namun di sisi lain, masih banyak elemen demokrasi yang butuh dievaluasi, terutama evaluasi atas peran media. Kita tentu masih ingat, betapa masyarakat Indonesia sempat sedemikian dibingungkan oleh keriuhan media dalam pemberitaan televisi terhadap calon presiden dan wakil, hingga klimaks pada upaya saling klaim kebenaran hitung cepat (quick count).

Fakta politisasi media (televisi) musti dibaca sebagai catatan merah dinamika penyiaran nasional, meski secara faktual tidak ada media yang sepenuhnya netral. Namun seharusnya mainstreaming keberpihakan pada politik dan kekuasaan tak lantas menciderai pula prinsip keberimbangan (cover both sides) dan prinsip kejernihan informasi. Sebab jika prinsip-prinsip ini dilanggar, maka media (televisi dan pers) telah mengingkari eksistensinya sebagai pilar demokrasi.

Framing Media 

Meminjam Eriyanto (2007), framing media merupakan cara penyajian realitas dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan penekanan pada aspek-aspek tertentu melalui bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya. Maknanya, ketika media melakukan framing politik, sejatinya media tersebut sedang melakukan konstruksi realitas yang berujung pada pembentukan makna atau citra mengenai sebuah kebenaran politik. Hal itu dilakukan melalui pilihan bahasa, pembingkaian peristiwa, dan penyediaan ruang dan waktu untuk satu berita politik tertentu.

Bahasa dalam framing tidak semata mata dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar media. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subyek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Karena itu, evaluasi atas peran media ditengah dinamika politik meniscayakan dampak psikologis berupa pengikisan kepercayaan masyarakat terhadap sumber informasi media.

Secara teknis, dalam sebuah framing media, selalu ada pihak yang diafirmasi (ditonjolkan) dan ada pihak yang di-negasi (disingkirkan). Bagi pihak yang diafirmasi, maka akan dimunculkan kesan empatik, asosiasi, serangkaian keunggulan dan kebaikan. Sebaliknya pihak yang dinegasi akan dimunculkan kesan stigmatis. Karena media merupakan ruang besar (big hall) bagi publik untuk memperoleh informasi mengenai realitas politik dan sosial, maka bingkai realitas tertentu yang diproduksi media berpengaruh pada cara pemirsa menafsirkan sebuah peristiwa. Pada tahap ini, pemirsa bukanlah pihak yang pasif. Sebaliknya, mereka adalah individu aktif dalam menafsirkan suatu sajian media. Justru itulah, muncul dampak beragam dari framing media ini. 

Kuasa Televisi dan Kebingungan Massal

Media terutama televisi telah menjadi referensi sosial. Televisi memiliki satu kekuasaan untuk mengontrol dan memastikan bahwa massa penontonnya dapat diatur oleh jadwal program. Dalam pengertian ini, sifat totalitas televisi telah menjadikannya sebagai suatu bentuk kekuasaan baru dalam suatu komunitas. Kini, bukan lagi televisi yang menjadi cermin masyarakat, melainkan sebaliknya masyarakatlah yang menjadi cermin televisi (Piliang, 1998: 237). Citra-citra yang ditawarkan televisi telah membentuk ketidaksadaran massal, bahwa telah terjadi pembentukan identitas diri melalui televisi. Sehingga televisi telah membentuk satu dunia tersendiri, yakni sebuah dunia buatan yang justru lebih nyata dan lebih riil dibanding realitas yang sebenarnya

Televisi kini ini tak ubahnya seperti Dewa Janus, yang berwajah ganda. Di satu sisi, ia menampakkan wajah negatif sebagai “tabung kebodohan” yang menawarkan mimpi. Sementara pada sisi wajah yang lain, ia disebut secara positif sebagai panduan baru, “jendela melihat dunia”. Karena itu, semua elemen bangsa, harus segera menyadari secara kritis agar senantiasa mengambil jarak (kritis) terhadap setiap informasi framing televisi (Mehdi Aghinta Hidayat, 2000: 31). 

Bagaimanapun, keberpihakan media atas politik kekuasaan telah mendekonstruksi idealisme misi media sebagai jendela informasi sekaligus memosisikan kognisi masyarakat pada kebingungan massal. Skeptisisme psikologis yang ditanamkan media sejatinya telah pula menumbuhkan skeptisisme massal terhadap eksistensi demokrasi dan politik, mengingat media telah melegitimasi diri sebagai corong demokrasi. Akibatnya, dapat menurunkan tingkat partisipasi politik rakyat di masa mendatang seiring menebalnya apatisme terhadap dinamika politik.

Di titik ini, media harus segera melakukan evaluasi dan otokritik dalam upaya menjernihkan kembali informasi yang diproduksi untuk publik. Ini dilakukan semata-mata untuk menyehatkan kognisi sosial dari limbah informasi yang simpang siur. Karena jika media tidak sehat, maka akan terjadi wabah penyakit yang menyerang akal budi dan psikologis secara massal.

Demokrasi yang sehat memang tercermin dari dunia media yang sehat. Akan tetapi demokrasi bukanlah milik media. Demokrasi itu milik rakyat (people centered democracy). Jika demokrasi telah diambil alih oleh media (media centered democracy), maka dikhawatirkan statemen SBY diatas akan menjadi kenyataan. Karenanya, media boleh bebas namun harus bertangungjawab, jernih, obyektif dan berorientasi pada upaya edukasi masyarakat. Semoga!

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat melahirkan konvergensi berbagai jenis media baru. Jenis media ini tidak sederhana untuk dikelompokkan ke dalam bagian dari broadcast, telekomunikasi ataupun internet. Hal ini dapat dimengerti karena sifatnya yang  saling terhubung. Jika sebelumnya melalui teknologi televisi biasa,  penonton hanya dapat bersikap pasif - pasrah pada sejumlah program yang disajikan, maka dengan kehadiran media baru ini, mereka dapat lebih aktif dan dapat berinteraksi untuk menikmati program-program sesuai pilihannya (relying on choice).

Oleh: S Sinansari ecip
(Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat)

CONTOH pelanggaran tayangan TV yang baru, besar, mendasar, dan menarik adalah bentrokan di Abepura, Kamis (16/3). Keesokan harinya, KPI langsung mengeluarkan teguran keras kepada semua stasiun televisi yang bersiaran nasional dari Jakarta.

Oleh: M. Riyanto (KPID Jawa Tengah)

Dalam konsideran pertimbangan secara jelas atau eksplisit bahwa PP dibuat dan ditetapkan untuk melaksanakan UU No. 32 Tahun 2002, khususnya ketentuan pasal 16, pasal 17, pasal 18, pasal 31 ayat (3) dan ayat (4), pasal 32 ayat (2), pasal 33 ayat (8) dan pasal 55 (3).

Oleh: Dedy Djamaluddin Malik
(Wakil Koordinator Bidang Informasi dan Komunikasi Komisi I DPR RI)

Kode etik penyiaran perlu segera diberlakukan. Ada beberapa alasan mengapa kode etik penyiaran penting. Pertama, industri penyiaran punya tanggung jawab sosial terhadap publik. Tanggung jawab itu ditentukan dan diatur sistem nilai budaya, agama, undang-undang negara, serta aturan-aturan lainnya. Kebebasan penyiaran tidak berarti bebas dari batasan dan intervensi apapun.

Hak Cipta © 2025 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.