Jakarta - Stasiun penyiaran yang secara resmi menayangkan Olimpiade Tokyo 2020, Olympic Broadcasting Services (OBS), meyakinkan akan fokus peliputan mereka pada kinerja para atlet dan mengadopsi lebih banyak pendekatan netralitas gender, ketimbang peliputan pada momen Olimpiade sebelumnya.

OBS memproduksi visual pertandingan dalam Olimpiade Tokyo lalu mendistribusikannya ke seluruh stasiun televisi di seluruh dunia. CEO OBS Yiannis Exarchos mengatakan pada awal dimulainya Olimpiade Tokyo, 23 Juli 2021, pihaknya sudah fokus pada kinerja para atlet.

Sebelumnya pada Minggu, 25 Juli 2021, tim atlet senam asal Jerman mendapat sorotan saat memutuskan untuk menggunakan seragam full-body (tertutup) ketimbang menggunakan baju senam yang ketat. Mereka mengatakan hal ini untuk menghindari seksualitas pada olahraga senam dan mempromosikan kebebasan memilih.

Tim atlet senam dari Jerman pun, mendorong perempuan untuk menggunakan apa yang membuat mereka merasa nyaman.

Terkait hal ini, Exarchos menyatakan OBS tidak bertanggung jawab dengan apa yang dipakai atlet. Pihaknya telah merencanakan peliputan mengenai hal ini, dengan tujuan tidak memperkuat stereotypes gender apapun.

“Sebagai lembaga penyiaran kami tidak memberikan arahan soal apa yang harus atlet kenakan. Apa yang kami lakukan adalah memastikan peliputan kami tidak menyoroti atau menonjolkan dengan cara tertentu apa yang orang kenakan dan apakah pakaian mereka menyoroti bagian tertentu dari tubuh, yang ada sangkut pautnya dengan stereotypes,” kata Exarchos.

Pada penayangan Olimpiade sebelumnya, muncul kritikan stereotyping terhadap atlet perempuan ketika lembaga penyiaran menayangkan pertandingan seperti senam dan voli pantai, di mana para atlet perempuan menggunakan pakaian ketat dan bikini, sedangkan atlet laki-laki tidak demikian (dalam hal berpakaian).    

Sebelumnya pada awal bulan ini, tim bola tangan dari Norwegia kena denda 1.500 euro (Rp 25 juta). European Handball Federation menyebut denda itu dijatuhkan untuk pakaian yang dianggap tidak pantas. Red dari berbagai sumber/tempo.co

 

 

 

New Delhi - Hari Penyiaran Nasional di India diperingati setiap tanggal 23 Juli. Indian Broadcasting Company (IBC), lembaga penyiaran publik India, mulai menyelenggarakan siaran radio dari stasiun Bombay pada tanggal terssebut di tahun 1927. 

Untuk memperingati acara tersebut, All India Radio (AIR) menyelenggarakan simposium tentang Penciptaan India Baru dan Media Penyiaran di New Delhi. Layanan penyiaran radio di India dimulai pada masa pemerintahan Inggris tepatnya pada 1923 di bawah inisiatif Radio Club of Bombay.

Pemerintah Inggris kemudian mengambil alih penyiaran radio tersebut pada 1930 dan memulai Layanan Penyiaran Negara India (ISBS). Pengambilan alih fasilitas penyiaran itu terjadi pada tanggal 1 April 1930, dengan terlebih dahulu percobaan selama dua tahun. Adapun IBC adalah entitas swasta yang diberikan izin oleh Pemerintah Inggris untuk mengoperasikan dua stasiun radio di Kolkata (saat itu Kalkuta) dan Mumbai (saat itu Bombay).

Lantas secara permanen berganti nama menjadi Layanan Penyiaran Negara India (ISBS) pada Mei 1932. Kemudian, diubah menjadi All India Radio (AIR) pada 8 Juni 1936 dan menjadi Akashwani pada 1957. Sejak itu, ia mendapatkan popularitas dan mengubah sosio- kehidupan ekonomi rakyat.

Badan penyiaran publik terbesar di India, Prasar Bharati adalah badan otonom menurut undang-undang yang dibentuk oleh Undang-Undang Parlemen dan sesuai dengan Jaringan Televisi Doordarshan, yang sebelumnya merupakan unit media Kementerian Informasi dan Penyiaran.

Saat ini, layanan rumah AIR terdiri dari 414 stasiun yang berlokasi di seluruh India, menjangkau sekitar 92 persen dari seluruh wilayah negara dan hampir 99,19 persen dari total populasi.

AIR melakukan pemrograman siaranya dalam 23 bahasa dan 146 dialek. Saat ini, AIR merupakan salah satu organisasi penyiaran terbesar di dunia dalam hal jumlah bahasa siaran, spektrum keragaman sosial ekonomi dan budaya yang dilayaninya. Red dari www.news18.com

 

 

London - Pandemi virus corona memicu rasa lapar untuk mengonsumsi berita tepercaya di masa krisis global dan kebanyakan orang menginginkan organisasi media tidak memihak dan objektif, kata Institut Reuters untuk Studi Jurnalisme, Rabu.

Kepercayaan pada berita tumbuh selama pandemi, terutama di Eropa Barat, membantu keberadaan nama-nama media dengan reputasi pelaporan yang andal --meskipun ketidakpercayaan terutama terlihat pada media yang terpolarisasi di Amerika Serikat.                                                   

Mayoritas orang di seluruh negara percaya bahwa penyalur berita harus mencerminkan berbagai pandangan dan mencoba untuk bersikap netral, kata lembaga itu dalam Laporan Berita Digital tahunannya (https://reutersinstitute.politics.ox.ac.uk/digital-news- laporan/2021).

"Kita telah melalui masa yang sangat gelap dan sebagian besar publik menyadari bahwa sejumlah organisasi berita sering menjadi cahaya terang dalam kegelapan itu," kata Rasmus Nielsen, direktur Institut Reuters.

"Ada apresiasi yang lebih besar terhadap berita yang dapat dipercaya secara keseluruhan," katanya kepada Reuters. "Sangat jelas dalam penelitian kami, di sejumlah negara, dalam beberapa kelompok usia, bahwa mayoritas besar menginginkan jurnalisme berupaya netral."

Laporan ini didasarkan pada survei yang mencakup 46 wilayah dan lebih dari setengah populasi dunia.

Revolusi teknologi yang semakin cepat berarti 73 persen orang sekarang mengakses berita melalui smartphone, naik dari 69 persen pada 2020. Sementara, banyak yang menggunakan jaringan media sosial atau aplikasi perpesanan untuk mengonsumsi atau mendiskusikan berita.

TikTok sekarang mencapai 24 persen terkait pengguna di bawah usia 35-an tahun. Tingkat penetrasi yang lebih tinggi terlihat di Asia dan Amerika Latin.

Facebook dipandang sebagai saluran utama untuk menyebarkan informasi palsu, meskipun aplikasi perpesanan seperti WhatsApp juga berperan.

Tetapi, para raksasa teknologi itu juga menjadi jalan untuk perbedaan pendapat, kata Institut Reuters itu, mengutip protes-protes di Peru, Indonesia, Thailand, Myanmar, dan Amerika Serikat.

Di AS, lebih banyak orang tidak memercayai berita daripada memercayainya. Saat Donald Trump kalah dalam pemilihan presiden AS pada 2020, permintaan akan berita berkurang.

Secara umum, mereka yang merasa media tidak adil adalah kalangan yang berpandangan politik condong ke kanan. Orang-orang muda berusia 18-24 tahun, orang Amerika kulit hitam dan Hispanik, orang Jerman Timur, dan kelas sosial ekonomi Inggris tertentu merasa mereka diberitakan secara tidak adil.

Tetapi, pesan keseluruhannya adalah bahwa kebanyakan orang menginginkan berita yang adil dan berimbang, dan meskipun ada masalah yang semakin mendalam bagi model bisnis berita cetak, banyak orang akan membelinya.

"Sementara jurnalisme yang tidak memihak atau objektif semakin dipertanyakan oleh beberapa orang, secara keseluruhan orang sangat mendukung cita-cita tentang berita yang tidak memihak," tulis Craig T. Robertson, seorang peneliti pascadoktoral di Institut tersebut, dalam laporannya. "Orang-orang menginginkan hak untuk memutuskan sendiri."

Institut Reuters untuk Studi Jurnalisme adalah pusat penelitian di Universitas Oxford yang melacak tren media. Yayasan Thomson Reuters, cabang filantropisThomson Reuters, mendanai Institut Reuters. Red dari berbagai sumber/Reuters/Antara 

 

 

Jakarta - Inggris akan berlakukan aturan tambahan bagi platform streaming yaitu Netflix, Disney+ dan Amazon Prime Video. Ketiganya akan diminta untuk beroperasi sama dengan penyiaran tradisional negara itu.

Hal ini diungkapkan oleh Departemen Digital, Budaya, Media & Olahraga Inggris. Dalam pernyataannya, lembaga itu mengatakan regulasi akan mempertimbangkan perusahaan streaming itu untuk sejalan dengan penyiaran tradisional, dikutip dari T3, Jumat (25/6/2021).

Sekretaris Negara lembaga itu, Oliver Dowden menjelaskan teknologi mengubah penyiaran. Namun aturan untuk melindungi masyarakat dan membantu kanal tradisional berkompetisi berasal dari era analog.

"Waktunya telah tiba untuk melihat bagaimana kami bisa mengeluarkan potensi penyiaran layanan publik kami, sambil juga memastikan pemirsa dan pendengar yang mengkonsumsi konten dalam format baru dilayani oleh sistem yang adil dan berfungsi dengan baik," jelasnya.

Di Inggris, penyiaran TV diikat dengan aturan yang ketat dan diberikan lisensi. Dengan begitu akan menjaga keseimbangan dan memastikan mereka memenuhi persyaratan gaya dan kesopanan.

Jika gagal memenuhi standard itu, lembaga penyiaran akan dikenakan denda. Bahkan jika terus berulang perusahaan dapat kehilangan lisensinya.

Tahun 2017, Fox News melanggar aturan penyiaran Inggris. Sky telah menghapus jaringan AS dari platformnya saat putusan dijatuhkan.

Sementara pada 2007, Channel 5 pernah dikenakan denda senilai 300 ribu poundsterling. Penyebabnya adalah perusahaan menggunakan nama palsu sebagai pemenang dalam acara games Brainteaser.

Laman T3 menyebutkan layanan seperti Netflix, Disney+ dan Amazon Prime sebenarnya cenderung menampilkan siaran yang bisa diterima di TV tradisional. Namun layanan streaming belum terikat dengan aturan yang mengharuskan hal tersebut, dan mungkin saja layanan itu melakukan pelanggaran.

Misalnya Netflix membuat film dokumenter teori konspirasi dan akhirnya membuat kepanikan secara nasional. Bisa juga Amazon membuat seri kedua The Great Escapist dari Richard Hammond, yang akan melanggar hak asasi manusia di negara itu.

Selain itu juga ada masalah penempatan produk di Inggris yang dibuat petunjuk khusus, dengan logo yang ditampilkan selama pertunjukan dan menghasilkan uang dari sana. Jika regulator bertanggung jawab atas layanan streaming, kemungkinan aturan itu juga akan mencakup ke Netflix Cs. Red dari berbagai sumber

 

 

London -- Regulator Inggris  atau (OFCOM) mencabut lisensi penyiaran untuk China Global Television Network atau CGTN, Kamis, 5 Februari 2021. Ofcom mengatakan bahwa mereka telah mencabut lisensi saluran milik negara Cina setelah melakukan penyelidikan serta menyimpulkan bahwa lisensi yang dimiliki oleh CGTN dinilai tidak sah oleh Star China Media Limited.

Star China Media Limited tidak memiliki "tanggung jawab editorial" untuk saluran tersebut karena CGTN  tidak memenuhi persyaratan hukum untuk memiliki kendali atas layanan berlisensi. Star bertindak sebagai distributor bukan penyedia saluran berita, kata Ofcom.

Sebagai regulator, Ofcom  juga menolak proposal CGTN untuk mentransfer lisensi ke entitas baru setelah menemukan bahwa lisensi tersebut pada akhirnya akan tetap dikendalikan oleh Partai Komunis Cina, dan oleh karena itu didiskualifikasi berdasarkan hukum Inggris.

"Kami telah memberikan banyak peluang kepada CGTN untuk mematuhi regulasi, tetapi belum dilakukan. Kami sekarang menganggap pantas untuk mencabut izin siaran CGTN di Inggris," kata juru bicara Ofcom.

Saluran tersebut akan dihapus dari frekuensi penyiaran Inggris. Namun di sisi lain CGTN memiliki hak untuk meminta peninjauan kembali, menurut juru bicara Ofcom, dan dapat mengajukan izin lain di masa mendatang.

Menanggapi hal tersebut CGTN menyatakan kecewa dengan keputusan Ofcom mencabut lisensi di Inggris. "China Global Television Network (CGTN) dengan ini menyatakan kekecewaannya dan penolakan yang kuat terhadap keputusan akhir Ofcom tentang pencabutan izin penyiaran CGTN di Inggris dan penolakan Ofcom untuk menerima aplikasi untuk mentransfer lisensi," kata CGTN dalam rilis di situs webnya.

Selain CGTN, Pemerintah Cina turut mengecam keputusan tersebut pada hari Jumat, dengan mengatakan keputusan itu dibuat "karena alasan politik."

"Di satu sisi, pihak Inggris menganjurkan kebebasan pers. Di sisi lain, pihaknya mengabaikan fakta dan mencabut izin CGTN di Inggris," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Wang Wenbin. "Ini adalah standar ganda yang mencolok dan penindasan politik."

CGTN (sebelumnya dikenal sebagai CCTV News dan berganti CGTN pada 2016) diluncurkan pada tahun 2000 dan telah mengudara di Inggris selama 18 tahun, kata CGTN dalam situs web-nya.

Di Inggris Raya, semua penyiaran TV dan radio memerlukan lisensi dari Ofcom untuk beroperasi, dan tunduk pada aturan tentang ketidakberpihakan, akurasi, dan perlindungan privasi.

Ofcom sebelumnya memutuskan bahwa CGTN, yang menyiarkan dalam bahasa Inggris, berulang kali melanggar standar ketidakberpihakan dengan liputan protes di Hong Kong.

Regulator mengidentifikasi pelanggaran di lima siaran terpisah, memutuskan tahun lalu bahwa saluran tersebut terlalu menekankan posisi otoritas pemerintah di Hong Kong dan Cina tanpa mengeksplorasi pandangan atau motivasi pengunjuk rasa. 

Ofcom juga menemukan bahwa CGTN melanggar aturannya dalam siaran yang meliput penangkapan penyelidik perusahaan Peter Humphrey di Cina. Red dari https://edition.cnn.com/2021/02/04/media/cgtn-uk-license-ofcom/index.html

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.