Nusa Dua – Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tahun 2013 di Hotel Ayodya Nusa Dua Bali dibuka secara resmi oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Joko Suyanto, Senin, 1 April 2013. Hadir dalam kesempatan itu, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Tifatul Sembiring.
Dalam sambutannya, Joko Suyanto, menyampaikan harapan penyiaran dapat membantu pembangunan Indonesia. Menurutnya, peran penyiaran atau media yang luas jangkauannya dapat mendorong kesejahteraan masyarakat.
“Masyarakat sangat tergantung dengan konsumsi informasi. Sebagian besar kehidupannya dituntun dan diarahkan oleh dahsyat informasi. Disinilah letak peran KPI dan stakeholder yang bergerak di bidang penyiaran,” paparnya.
Menurut Joko, aktifitas penyiaran berorientasi pada publik. Walau dimiliki oleh berbagai pihak, namun fungsinya tetap berorientasi pada publik. Kesetaraan informasi diperlukan ditengah iklim kebebasan penyiaran seperti ini. “Penyiaran yang bebas saja tidak cukup tapi perlu kesetaraan informasi,” kata mantan Panglima TNI.
Tifatul Sembiring menyatakan peranan KPI sangat penting dan diperlukan. Selain itu, lembaga penyiaran ataupun stakeholder terkait diharapkan politisi dari PKS untuk membuat konten yang sehat dan berkualitas untuk masyarakat. “Saya menginginkan media bisa professional, santun dan bermanfaat buat orang banyak,” katanya.
Sebelumnya, Ketua KPI Pusat, Mochamad Riyanto menyampaikan sambutan dan mengucapkan selamat datang untuk semua peserta serta tamu undangan. Dia mengungkapkan sejumlah agenda terkait isu-isu penyiaran akan dibahas dalam Rakornas kali ini. Red
Jakarta –KPI Pusat akhirnya memberhentikan sementara program acara “Dahsyat” di RCTI selama 3 (tiga) hari penayangan. Penghentian sementara ini diberikan kepada “Dahsyat” terkait pelanggaran tanggal 24 Desember 2012 pukul 06.47 WIB. Penghentian sementara ini sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 80 ayat (1) Standar Program Siaran dan hasil Rapat Pleno Komisioner KPI Pusat tentang pemutusan sanksi administratif program pada tanggal 27 Februari 2013.
Demikian disampaikan KPI Pusat dalam surat penghentian sementara yang ditandatangani Ketua KPI Pusat, Mochamad Riyanto, dan diserahkan secara langsung dalam pertemuan dengan perwakilan RCTI di kantor KPI Pusat, Selasa, 5 Maret 2013.
Dikatakan Mochamad Riyanto dalam pertemuan bahwa keputusan penghentian sementara ini telah melalui proses rapat pleno dan ini bagian dari prosedur yang KPI lakukan. Menurutnya, tujuan pemberian sanksi bukan soal menghukum tapi melakukan suatu perubahan. “Jika soal agama, ini jadi perhatian, ini sangat sensitif. Silakan hak jawab diberikan tertulis dan berikan hal yang baru bagi kami dan ada perbaikan,” katanya.
Sementara itu, Nina Mutmainnah, Koordinator bidang Isi Siaran KPI Pusat menjelaskan waktu penghentian sementara bisa dipilih antara tanggal 6 sampai 20 Maret 2013. “Pelaksanaan sanksi wajib dilaporkan ke kami. Dan, tidak membuat program sejenis selama dihentikan serta tidak dipindahkan waktu jam tayangnya selama tiga hari penghentian,” tegasnya dalam pertemuan tersebut.
Menurut Wakil Ketua KPI Pusat, Ezki Suyanto, proses pemberian sanksi kepada Dahsyat sangat moderat, melihat kasusnya yang sangat sensitif. “Pihak RCTI harusnya menyadari hal-hal yang bisa ditayangkan live dan tidak,” katanya. Tidak lupa dirinya juga memberi apresiasi pada Dahsyat terkait apa yang telah dilakukan belakangan ini.
Di surat sanksi dijelaskan pelanggaran yang dilakukan program Dahsyat yakni ditayangkannya adegan Raffi Ahmad bertanya kepada bintang tamu, Chef Renne Tanjung, “Kamu Natal nggak?” dan kemudian Chef Renne menjawab: “Nggak!” Lalu Raffi bertanya, “Kamu nggak Natal ya?” Chef Renne menjawab, Nggak, saya Islam prose*an.” Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas penghormatan terhadap nilai-nilai agama dan perlindungan anak dan remaja.
KPI Pusat memutuskan bahwa tindakan penayangan adegan tersebut telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2012 Pasal 7 dan 14 ayat (2) serta Standar Program Siaran Pasal 6, Pasal 7 huruf a, dan 15 ayat (1).
Selain pelanggaran di atas, KPI Pusat juga menemukan pelanggaran lainnya pada program yang ditayangkan tanggal 27 Desember 2012. Pelanggaran yang dimaksud adalah penampilan Grup “Duo Racun” saat menyanyikan lagu berjudul “Dari Hongkong” yang menampilkan gerakan tubuh dan atau tarian erotis dengan mengeksploitasi tubuh bagian bokong dan pinggul. Selain itu, ditampilkan adegan Limbad yang melakukan atraksi memasukkan paku ke dalam lubang hidung.
Program ini telah mendapatkan surat teguran tertulis No. 230/K/KPI/V/09 tertanggal 6 Mei 2009 dan surat teguran tertulis No. 650/K/KPI/11/10 tertanggal 4 November 2010. KPI Pusat juga telah melaksanakan tahap klarifikasi pada tanggal 8 Februari 2013. Red
Cirebon –Jika menonton siaran televisi sudah menjadi kebutuhan pokok dan tidak bisa dihindari, tindakan yang harus diperhatikan oleh kita adalah memilih tayangan yang memang baik, bermanfaat dan mendidik.
Komisioner bidang Kelembagaan KPI Pusat, Azimah Soebagyo mengatakan media yang paling banyak digunakan masyarakat saat ini adalah media televisi. Diperkirakan ada 55 juta rumah di Indonesia memiliki televisi. Jumlah tersebut belum termasuk jumlah televisi yang ada di dalam rumah. “Dalam satu rumah kadang ada lebih dari satu televisi. Bahkan, orang yang tidak punya rumah pun ada televisinya,” katanya mengibaratkan.
Sayangnya, keberadaan dan penetrasi televisi sebagai media penyiaran yang banyak digunakan masyarakat kita tidak diikuti dengan kualitas konten yang diharapkan. Kebanyakan isi siaran televisi didominasi konten hiburan. Menurut Azimah, harus ada upaya untuk mendorong perimbangan isi siaran dengan konten-konten yang mengedukasi dan informatif.
Memang ada beberapa tayangan yang dinilai sudah memberikan unsur edukasi, tapi apakah tayangan tersebut sudah mendidik. “Kita harus bisa kritis guna memilih tayangan mana yang baik dan tayangan mana yang tidak. Masyarakat harus lebih pandang memilih. Belum tentu isi yang bagus sudah sesuai dengan kebutuhan kita,” kata Azimah.
Dalam kesempatan itu, Azimah menyoroti konsumsi anak-anak dalam menonton televisi. Menurut data dari YKAI, waktu anak menonton televisi pada tahun 1997 sekitar 20 jam/pekan. Angka tersebut mengalami kenaikan pada tahun 2001 yakni sebesar 35 jam/pekan. Angka itu hampir sama dengan survey yang dilakukan ABG Nielsen yakni 28-35 jam/pekan.
Azimah mengkhawatikan dampak yang terjadi pada anak-anak akibat menonton televisi terutama tayangan buruk. Anak mudah merespon dari apa yang merekan tonton atau saksikan. “Anak-anak tidak bisa memilih. Patokan umur orang bisa memilih yaitu 25 tahun. Karenanya, penting sekali memperhatikan lagi jadwal menonton bagi anak-anak. Jadikanlah menonton televisi itu sebagai pilihan terakhir. Masih banyak media lain sebagai pilihan,” paparnya di depan para peserta sarasehan di kampus Unswagati Cirebon. Red
Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memberhentikan sementara program acara “Inbox” SCTV selama 1 (satu) hari penayangan terkait pelanggaran pada tayangan 7 Januari 2013 pukul 07.07 WIB. Demikian dikatakan Koordinator bidang Isi Siaran, Nina Mutmainnah, di dampingi Wakil Ketua KPI Pusat, Ezki Suyanto, pada saat pertemuan dengan SCTV, Selasa, 5 Maret 2013.
Penghentian sementara ini sesuai dengan ketentuan Pasal 79 ayat (3) Standar Program Siaran dan hasil Rapat Pleno Komisioner KPI Pusat tentang pemutusan sanksi administratif program pada tanggal 27 Februari 2013.
Nina menambahkan waktu pelaksanaan sanksi bisa dilaksanakan SCTV antara tanggal 6 – 20 Maret 2013. “SCTV wajib melaporkan ke KPI kapan pelaksanaan sanksi tersebut akan dilaksanakan di antara tanggal tersebut,” katanya kepada wakil SCTV yang dihadiri langsung Corporate Secretary, Hardjianto.
Sementara itu, Ezki Suyanto mempersilahkan SCTV membuat surat hak jawab jika keberatan dengan keputusan ini. “Jika ada keberatan dari SCTV, kami tunggu suratnya. Nanti akan kami bahas dalam rapat pleno dengan argumen di luar waktu klarifikasi. Ini berlaku untuk semua lembaga penyiaran,” tegasnya.
Terkait dengan keputusan tersebut, pihak SCTV menyatakan akan segera menyampaikannya ke manajemen.
Dalam surat sanski penghentian yang ditandatangani Ketua KPI Pusat, Mochamad Riyanto disebutkan pelanggaran yang dilakukan “Inbox” yakni ada ditampilkannya adegan dari para host yang melecehkan seorang perempuan lanjut usia sehingga ibu tersebut menjadi bahan olok-olok. Pada saat perempuan tersebut dipanggil para host untuk naik ke atas panggung, Andhika mengatakan, “Ini cewe Brazil? Yang begini di lampu merah Gaplek banyak!” Selanjutnya Narji berkata kepada ibu tersebut, “Maaf ini Ibu, yang terbalik topinya apa mukanya?” Gading berkata, “Ini sih bukan Brazil… Brantakan!”
Selain adegan tersebut, ditampilkan adegan Andhika yang memperlihatkan gambar pada sebuah buku sambil mengatakan kepada host lainnya bahwa ibu yang menjadi bahan olok-olok tersebut masuk ke dalam buku sejarah. Kemudian sambil melihat gambar pada buku tersebut, host wanita berkata, “Ini Pithecanthropus ya pak?” dan Gading berkata, “Pak, ini sih peninggalan budaya Majapahit Pak!” Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas perlindungan kepada orang dan masyarakat tertentu, perlindungan anak dan remaja, serta norma kesopanan.
KPI Pusat memutuskan bahwa tindakan penayangan adegan tersebut telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2012 Pasal 9, Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 15 ayat (1) huruf c serta Standar Program Siaran Pasal 9, Pasal 15 ayat (1), dan Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) huruf c.
Program ini telah mendapatkan surat teguran tertulis pertama No. 443/K/KPI/07/12 tertanggal 20 Juli 2012 dan surat teguran tertulis kedua No. 486/K/KPI/08/12 tertanggal 3 Agustus 2012. KPI Pusat juga telah melaksanakan tahap klarifikasi pada tanggal 23 Januari 2013.
Selain sanksi tersebut, KPI meminta SCTV untuk tidak membuat program penganti sejenis yang ditayangkan pada waktu yang sama atau waktu berbeda pada saat pelaksanaan pelaksanaan sanksi administratif penghentian sementara. Ditegaskan, KPI akan melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan sanksi administratif tersebut. Red
Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk lebih mengatur isi dan unsur dari iklan kampanye partai politik, dan bukan hanya tarif iklan saja.
"Saya pikir, yang lebih penting untuk diatur dalam siaran iklan kampanye partai politik melalui media itu bukan tarifnya, melainkan substansi iklan parpol," kata Ketua Umun AJI Eko Maryadi saat dikutip dari kantor berita Antara di Jakarta, Minggu (10/2).
Ia berpendapat, pada zaman sekarang, suatu iklan kampanye oleh partai politik sudah tidak layak lagi bila hanya menampilkan hal-hal baik tentang profil partai atau tokoh politik tanpa memberikan pendidikan politik bagi masyarakat.
"Misalnya, ketimbang iklan kampanye itu hanya 'menjual' calon yang cantik atau tampan, lebih baik iklan itu menampilkan rekam jejak. Jadi, harus ditunjukkan kebajikan apa yang pernah dilakukan si kandidat ini hingga partai mengusung dia," ujarnya seperti dikutip pikiran rakyat dan antara.
Ia juga mengatakan iklan-iklan kampanye politik yang beredar sejauh ini di media cenderung 'memanipulasi' publik dengan hanya menyatakan bahwa partai tersebut adalah pilihan yang 'terbaik' tanpa menunjukkan bukti melalui rekam jejak.
"Semua iklan kampanye parpol cuma bilang 'partai saya adalah yang terbaik' padahal buktinya apa sih. Hal ini harus dibuktikan melalui rekam jejak mengenai apa saja yang selama ini telah dilakukan oleh partai tersebut. Tidak boleh memanipulasi masyarakat dengan hanya janji-janji agar dipilih," katanya.
Selanjutnya, Eko menilai bahwa KPU dan KPI memang akan sulit membuat batasan-batasan untuk isi iklan kampanye parpol karena hal itu berkaitan dengan kreativitas rancangan suatu iklan.
Namun, dia meyakini Peraturan KPI tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) dapat digunakan untuk mengatur hal-hal apa saja yang patut dan tidak patut ditampilkan dalam iklan kampanye parpol.
"Jadi, peraturan itu bisa membatasi partai dan tokoh politik untuk tidak 'berbohong' kepada publik. Bohong itu misalnya dengan mengatakan kandidat partai itu sudah bekerja banyak untuk republik ini dan akan bekerja lebih banyak lagi bila dipilih. Ini menjadi suatu kebohongan karena belum ada pembuktian," kata Eko.
Lebih realistus Eko juga menekankan bahwa iklan politik seharusnya lebih bersifat realistis dan mendidik dengan mengajarkan substansi yang penting, seperti pemaparan alasan masyarakat harus ikut memilih dalam pemilu.
Selain itu, dia mengimbau partai-partai politik untuk menerapkan disiplin terhadap peraturan kepada para kandidat dan anggotanya."Politisi itu kan diusung oleh parpol sehingga ketaatan itu harus ditunjukkan dahulu oleh parpol. Jadi kalau si kandidat melanggar peraturan maka partainya tidak boleh membela karena parpol harus menjadi contoh dan alat untuk mendidik rakyat," ujarnya.
Terkait penetapan tarif iklan pemilu parpol, dia menganggap hal itu sebagai suatu upaya untuk meratakan kesempatan bagi semua partai politik peserta pemilu.
Namun, dia khawatir penetapan tarif iklan itu kurang efektif untuk membatasi 'kekuasaan' beberapa partai atau tokoh politik terhadap penggunaan media-media tertentu.
"Jadi, dengan penetapan tarif iklan yang sama itu tidak ada lagi kesan membedakan terhadap parpol 'papan atas' dengan parpol 'menengah ke bawah', namun yang jadi masalah adalah monopoli kepemilikan media itu sudah dikuasai oleh beberapa elit politik. Kalaupun mereka bilang sudah tidak memiliki lagi tapi pengaruh mereka pada medianya pasti masih ada," kata Eko. Red
Perkataan karakter yang diperankan oleh Ayu Ting-Ting pada segmen 1 mengejek karakter yang diperankan oleh Wendy Cagur dengan perkataan "kismin" sambil menunjukkan jari telunjuk ke arah Wendy karena karakter yang diperankan pada adegan segmen tersebut tidak ikut menyumbang atau menyumbang dalam nominal uang yang sedikit.
Siaran ini bertentangan dengan Bab IV pasal 7 P3SPS yang menjelaskan "Lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan program yang merendahkan, mempertentangkan dan/atau melecehkan suku, agama, ras, dan antargolongan yang mencakup keberagaman budaya, usia, gender, dan/atau kehidupan sosial ekonomi."