Jakarta – Minimnya siaran nasional di wilayah perbatasan masih menjadi pembicaraan utama dalam berbagai diskusi dan seminar terkait problematika yang terjadi di wilayah tersebut. Memang aspek pertahanan dan keamanan sangatlah penting, namun ketersediaan informasi atau siaran di wilayah ini jangan pula dianggap sebelah mata.

Dampak dari minimnya penyiaran dari lembaga penyiaran lokal maupun nasional telah banyak terbukti yakni sebagian masyarakat di beberapa wilayah yang berbatasan dengan negara tetangga lebih mengenal lagu kebangsaan negara tersebut ketimbang Indonesia Raya. Itu terjadi karena mereka hampir setiap hari dan sepanjang tahun disuapi siaran dan informasi dari negeri seberang.

Komisioner KPI Pusat Amirudin menilai fenomena ini sudah berlangsung lama karena memang ketersediaan siaran dari lembaga penyiaran lokal dan nasional tidak ada di sana. Beberapa konsep telah dibuat untuk menutup lubang di wilayah perbatasan tersebut yakni dengan kebijakan langit terbuka atau open sky policy. Sayangnya, langkah ini tidak sesuai harapan karena tetap saja ketersediaan siaran dan informasi dari dalam negeri tidak sepenuhnya didapat masyarakat.

“Belum lagi kebijakan ini memiliki dampak yang tidak baik karena siaran yang masuk tidak melalui pengawasan dan penyaringan. Semua siaran bahkan siaran asing dapat dengan bebas diterima masyarakat, entah siaran itu baik ataupun tidak,” kata Amir.

Menurut Amir, konsep yang paling pas meredam semua masalah penyiaran adalah dengan memberikan sebanyak-banyak siaran dari dalam negeri, baik itu siaran lokal maupun nasional. Namun, untuk mewujudkan itu, kita harus menyelesaikan hal-hal dasar seperti penyediaan infrastruktur guna mematik investor untuk mendirikan lembaga penyiaran di perbatasan.

“Pengembangan infrastruktur ini harus menjadi fokus utama karena ini menjadi salah satu kesulitan bagi investor masuk,” jelasnya di depan peserta forum koordinasi yang diselenggarakan Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Pertahanan, Kamis, 27 Agustus 2015.

Ketersediaan infrastruktur juga akan mempermudah pendirian lembaga penyiaran publik (LPP) RRI dan TVRI khusus perbatasan dan LPP lokal oleh pemerintah daerah, baik itu pemerintah kota maupun kabupaten.

“Hal ini harus juga didukung dengan kemudahan dalam proses perizinan sesuai kondisi riil pada masing-masing perbatasan, baik itu berkenaan dengan syarat dan prosedur pendiriannya,” tambah Amirudin yang pernah menjabat Komisioner Komisi Informasi (KI) periode awal.

Amir meneruskan, aspek lain yang penting ditindaklanjut adalah bagaimana membangun masyarakat di wilayah tersebut antara lain dengan memberikan pembelajaran atau media literasi. Masyarakat di perbatasan harus bisa mengkontrol dan memilah tayangan perbatasan mana yang baik dan tepat.

Ini juga berkaitan dengan pengembangan program gerakan cinta siaran Indonesia dalam rangka meningkatkan nasionalisme di kawasan perbatasan antar negara. “Perlu juga diadakan pengembangan sumber daya manusia penyiaran perbatasan untuk menambah kualitas dan kemampuannya,” tambah Amir.

Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI, H.M Gamari menitikberatkan kepada pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perbatasan tanpa melupakan faktor keamanan. Karena itu ke depan sudah semestinya kawasan perbatasan diberi tempat yang layak, terutama dalam berbagai instrumen pembangunan maupun pertahanan seperti pada Buku Putih, SDR (Strategic Defence Review), RPP tentang Kawasan Pertahanan (Dephan) serta Kebijakan Pembangunan Kawasan Perbatasan dari segi pandang Depdagri dan Kementerian Perikanan dan Kelautan.

Selama ini, menurut Gamari, pengembangan kawasan perbatasan masih lebih menekankan kepada aspek pertahanan dan kemanan. Padahal, aspek-aspek sosial, ekonomi serta budaya sangatlah berkaitan dengan dua faktor tersebut. Hal ini juga berhubungan dengan ketersediaan informasi dan siaran.

Karena itu, Gamari mendukung daerah-daerah perbatasan yang kurang dijamah informasi digempur secara intensif dengan siaran lokal maupun nasional. Dan, upaya ini bisa dikoordinasikan dengan Kementerian Kominfo. “Harapan kita jangan hanya masyarakat di perbatasan hanya memperoleh siaran asing,” katanya. 

Namun yang tak kalah penting sekarang, lanjut Gamari adalah implementasi dari semua konsep penyelesaian wilayah perbatasan. Sekarang sudah saatnya kita meninggalkan egosektoral masing-masing instansi. Segala kendala yang terjadi di lapangan harus dicarikan jalan keluarnya secara bersama-sama. “Demi bangsa ini, mari kita bersama-sama dan meninggal ego-ego tersebut,” papar Gamari berapi-api.

Hal senada juga disampaikan narasumber dari Kominfo, Ibu Irawati. Menurut dia, aspek penyiaran di wilayah perbatasan harus jadi perhatian semua pihak. “Karena itu, kita perlu bersinergi dengan semua instansi terkait dan membuat satu pintu dalam menyelesaikan permasalah di perbatasan ini,” tuturnya.

Dalam forum itu, sempat muncul ide pembentukan deputi perbatasan di bawah Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan. Ini dimaksudkan mempermudah upaya penyelesaian masalah-masalah di perbatasan melalui satu pintu koordinasi. ***

Jakarta – Pelaksanaan MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) dapat menjadi peluang bagi pengembangan pasar SDM (Sumber Daya Manusia) dan teknologi penyiaran Indonesia. Tidak hanya itu, kehadiran MEA tahun depan dianggap bisa membuka kran rekonstruksi ulang orientasi konten penyiaran kita.

Demikian disampaikan Komisioner KPI Pusat, Amirudin, di forum koordinasi yang diinisiasi oleh Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan, kantor Kementerian Polhukam, Kamis, 27 Agustus 2015.

Idealnya, kata Amir, MEA dapat disikapi oleh media di tanah air sebagai perluasan penyiaran atau juga konten. Namun media kita harus sanggup menjalankan fungsi korelasi atau diplomasi penyiaran guna merekatkan hubungan antarnegara.

“Perekatan hubungan antarnegara ini bisa dengan kerjasama penyiaran dengan menjunjung semangat keserumpunan Melayu sebagaimana yang pernah hidup sebelum bangsa-bangsa ASEAN merdeka,” ujar Komisioner bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran KPI Pusat ini.

Menurut Amir, kerjasama ini dapat diimplementasikan dengan mendorong lembaga penyiaran dalam negeri bekerjasama dengan lembaga penyiaran negara tetangga melalui pertukaran program siaran yang bertemakan budaya. “kerjasamanya dalam bentuk penayangan program siaran di masing-masing lembaga penyiaran,” jelasnya.

Dalam forum yang dipimpin Asep Chaerudin Deputi 4 Kementerian Polhukam, menghadirkan juga narasumber dari Komisi I DPR RI H.M Gamari dan Kementerian Kominfo, Irawati. Adapun peserta forum datang dari Kementerian Dalam Negeri, BNPP, Kementerian Kominfo, TNI AD, TNI AU, TNI AL, Polri, dan lembaga penyiaran. Sayangnya, perwakilan dari lembaga penyiaran tidak ada yang hadir dalam forum tersebut. *** 

Jakarta - Chairul Tanjung, pemilik televisi Trans 7 dan Trans TV mendukung pelaksanaan satu jam siaran lokal bersama pada jam produktif di waktu setempat.  “Yang penting semua televisi sepakat untuk menyiarkan pada jam yang sama!” ujar Chairul. Hal itu disampaikannya saat bertemu dengan jajaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di kantor KPI, (27/8).

Pernyataan Chairul ini menyambung pemaparan Komisioner KPI Pusat bidang pengelolaan struktur dan sistem penyiaran, Azimah Subagijo, tentang pelaksanaan siaran lokal dalam sistem siaran jaringan. Dalam pemaparannya, Azimah juga menyampaikan tentang pelaksanaan siaran konten lokal yang dilakukan oleh Trans Tv dan Trans 7. Menurut Azimah, KPI dan Kemenkominfo telah sepakat bahwa pelaksanaan siaran konten lokal menjadi salah satu komponen penilaian dalam proses evaluasi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran yang akan dilakukan lembaga penyiaran tahun 2016.

“KPI berkepentingan mengevaluasi penayangan konten lokal sebanyak minimal 10 persen dari seluruh waktu siar,” ujar Azimah.  Sedangkan untuk Kemenkominfo, ujar Azimah, penilaian yang dilakukan adalah maksimal relay yang boleh dilakukan oleh anggotan jaringan dari induk jaringan sebanyak 90 persen. “Jika penayangan muatan lokal kurang dari 10 persen, berarti relay yang dilakukan lebih dari 90 %,” tegas Azimah. Dari evaluasi yang sudah dilakukan tentang hal ini, Azimah menyampaikan bahwa sebagian besar lembaga penyiaran menayangkan konten lokal pada jam-jam yang tidak produktif.

Selain itu Azimah menjelaskan mengenai komponen penilaian pelaksanaan siaran konten lokal dalam sistem siaran jaringan. Komponennya adalah durasi minimal, penggunaan sumber daya lokal, waktu penayangan muatan lokal di waktu produktif (06.00-22.00 waktu setempat), serta muatan konten lokal yang memiliki kedekatan dengan publik lokal. Secara khusus Azimah menyarankan pada Chairul Tanjung agar Trans TV dan Trans 7 menayangkan adzan Maghrib waktu setempat di seluruh anggota jaringan, agar ada kedekatan dengan masyarakat lokal.

Tentang siaran konten lokal ini, Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Ishadi SK yang juga Komisaris Trans Media mengaku telah bertemu dengan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara. ATVSI meminta agar pelaksanaan siaran konten lokal ini dilakukan dengan waktu bertahap. Ishadi menjelaskan pula mengenai kesulitan yang ditemui pengelola televisi dalam menyiarkan konten lokal.

Pertemuan tersebut menyepakati setidaknya lembaga penyiaran punya jam siaran bersama untuk siaran konten lokal minimal 30% dari kewajiban 10% dari keseluruhan waktu siaran, di jam produktif pada waktu setempat. Chairul Tanjung menyambut baik usulan KPI tersebut dan mendukung siaran lokal bersama ini. “Selama seluruh televisi sepakat dengan siaran bersama konten lokal ini, Trans TV dan Trans 7 mendukung!” ujarnya. Azimah juga mengakui pentingnya slot bersama siaran konten lokal bagi lembaga penyiaran. Hal ini akan memudahkan lembaga-lembaga rating melakukan penilaian terhadap muatan televisi pada jam siaran bersama tersebut.

Evaluasi pelaksanaan siaran konten lokal dalam sistem siaran jaringan sendiri sudah dilakukan KPI kepada sepuluh lembaga penyiaran. Rencananya, pada September mendatang KPI akan menyampaikan hasil evaluasi tersebut kepada Kemenkominfo sebagai bagian dari proses evaluasi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran.

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengajak pemilik media Trans TV dan Trans 7 untuk menjadikan televisi sebagai bagian dari strategi budaya untuk membangun peradaban bangsa. Mengingat televisi memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membentuk karakter masyarakat lewat muatan siaran jika diarahkan pada tujuan yang benar. Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan Bekti Nugroho menyampaikan hal tersebut pada pertemuan KPI Pusat dengan pemilik media Trans TV dan Trans 7 Chairul Tanjung, di kantor KPI Pusat, (27/8).

Selain itu, menurut Bekti, dirinya melihat visi misi dari Trans TV dan Trans 7 milik Chairul Tanjung sejalan dengan nilai-nilai yang diusung Chairul dalam buku autobiografinya, Si Anak Singkong. Karenanya Bekti berharap, semua program siaran yang dibuat Trans TV dan Trans 7 harus inline dengan visi dan misi tersebut. Pada pertemuan yang dipimpin Ketua KPI Pusat Judhariksawan, hadir pula komisioner lainnya, Azimah Subagijo, Agatha Lily, Fajar Arifianto, Amiruddin, Danang Sangga Buwana dan  Rahmat Arifin. 

Dalam kesempatan tersebut, Chairul Tanjung mengaku sepakat dengan teguran-teguran yang dilakukan KPI pada program-program siaran dari televisi miliknya yang melanggar regulasi. “Bagaimanapun juga, hal-hal negative yang berlebihan harus dieliminir,” ujar Chairul. Selain itu, pria yang kerap dipanggil CT ini menyampaikan harapannya pada KPI sebagai regulator penyiaran. Menurutnya selama ini masih ada komunikasi yang belum tune in antara KPI dan lembaga penyiaran. “Kalau komunikasi dibangun lebih baik lagi, maka lembaga penyiaran dan KPI akan menghasilkan unity yang lebih baik dalam menghasilkan program siaran yang berkualitas,” ujarnya. Bagaimanapun juga, tambah CT, tidak ada satupun lembaga penyuiaran yang berniat membuat buruk bangsa ini.

Ketua KPI Judhariksawan mengaku mengapresiasi kehadiran Chairul Tanjung ke kantor KPI Pusat. Kesamaan pemahaman tentang regulasi penyiaran selama sudah dilakukan KPI dengan membuka Sekolah P3 & SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) untuk praktisi lembaga penyiaran. Selain kerjasama KPI dengan televisi selama ini dalam melakukan pembinaan internal tentang regulasi penyiaran.

Selain itu Judha menyampaikan agenda KPI yang tengah melakukan evaluasi pada seluruh lembaga penyiaran yang akan melakukan perpanjangan izin penyelenggaran penyiaran di tahun 2016. Usai menayangkan cuplikan tayangan program Trans TV dan Trans 7 yang mendapatkan sanksi, Judha menyampaikan harapannya agar kedua televisi ini melakukan perbaikan. Mengingat grafik sanksi yang diterima keduanya menunjukkan adanya peningkatan.

Chairul sendiri menegaskan bahwa televisi miliknya telah mengubah target pasarnya, hingga lebih mengusung nilai-nilai yang edukatif dan inspiratif. CT menilai, dengan adanya perubahan target market tersebut, para produser harus membuat program siaran yang sesuai dengan karakteristik penonton, yang diyakini akan menjadi lebih berkualitas. 

Jakarta - Pemilik Televisi Trans TV dan Trans 7, Chairul Tanjung, berkomitmen untuk meningkatkan kualitas siaran televisi miliknya. Mengingat pada dasarnya semua lembaga penyiaran memiliki tujuan yang sama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yakni menghadirkan muatan siaran yang berkualitas pada masyarakat. Hal itu disampaikan Chairul dalam pertemuan dengan jajaran komisioner KPI Pusat di kantor KPI Pusat (27/8).

Kepada Chairul Tanjung yang datang didampingi jajaran direksi Trans TV dan Trans 7 tersebut, KPI menayangkan cuplikan program-program siaran dari Trans TV dan Trans 7 yang mendapat sanksi dari KPI. Ketua KPI Pusat Judhariksawan menyatakan bahwa KPI sudah memulai proses evaluasi kepada lembaga-lembaga penyiaran yang akan mengurus perpanjangan izin siaran tahun 2016.  Hal ini sejalan dengan arahan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara yang meminta KPI menyiapkan Rapor dari masing-masing televisi yang akan mengajukan perpanjangan izin tersebut.

Usai melihat cuplikan program dari kedua televisi miliknya yang mendapatkan sanksi dari KPI, Chairul Tanjung mengaku sependapat dengan KPI, bahwa hal-hal berlebihan seperti pornografi, kekerasan, berita kontroversi, pelanggaran privacy, dan pelanggaran perlindungan anak, harus dieliminir dari televisi. Dirinya bahkan meminta agar KPI memberikan duplikasi cuplikan tayangan yang mendapat sanksi tersebut agar dapat disosialisasikan kepada jajaran produser di televisi miliknya itu. “Agar para produser kami memiliki pemahaman yang sama tentang regulasi, mana yang boleh mana yang tidak,” ujarnya.

Selain itu untuk mendapatkan kesamaan pemahaman tentang regulasi penyiaran, Chairul berharap dapat membuat Sekolah P3&SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) secara inhouse bagi seluruh pekerja televisi miliknya, dengan arahan dari KPI Pusat. Namun demikian Chairul menyatakan bahwa masalah penggunaan jam siaran untuk acara semacam pernikahan Rafi Ahmad dan Nagita Slavina dapat didiskusikan lebih jauh.

Chairul menyampaikan pula tentang target pasar dari dua televisi miliknya yang bergeser ke arah middle up dengan mengusung nilai-nilai yang edukatif, inspiratif dan komunikatif. “Dengan begitu produser dituntut untuk membuat program siaran yang mengikuti target audience,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Komisaris Trans Media yang juga Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Ishadi SK ikut menyampaikan masukan kepada KPI.  “Kami mendukung KPI sebagai lembaga yang independen,” ujar Ishadi. Selain itu dirinya juga mengharapkan keadilan penegakan hukum agar para pekerja media dapat merasa terlindungi.

Atas pertemuan ini, Ketua KPI Pusat berharap Trans TV dan Trans 7 dapat melakukan perubahan muatan isi siaran menjadi lebih baik, selama setahun ke depan. “Harus diakui, grafik sanksi yang diterima Trans TV dan Trans 7 mengalami peningkatan ,” ujar Judha. Karenanya dia berharap, perbaikan kualitas siaran yang signifikan pada dua televisi ini. Selanjutnya, dalam proses evaluasi perpanjangan izin penyelenggaran penyiaran ini, KPI akan mengundang lembaga-lembaga penyiaran lainnya.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.