Jakarta -  Pelaksanaan digitalisasi penyiaran di Indonesia sesungguhnya adalah sebuah keniscayaan. Hal tersebut dilandasi pada perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat saat ini, menuntut adanya alih teknologi pada dunia penyiaran dari analog menjadi digital. Namun demikian, pelaksanaan digitalisasi tidak serta merta berjalan lancar tanpa hambatan, mengingat payung regulasi atas digitalisasi penyiaran belumlah kuat.

Gugatan hukum Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) atas peraturan menteri komunikasi dan informatika yang menjadi landasan hukum pelaksanaan digitalisasi telah dikabulkan Mahkamah Agung. Dengan sendirinya segala proses penyiaran digital untuk sementara terhenti, hingga ada regulasi hukum yang lebih kuat yang mengaturnya. Harapan atas aturan yang lebih rinci tentang digitalisasi penyiaran akhirnya ditambatkan pada revisi undang-undang tentang penyiaran yang tengah dirumuskan oleh Komisi I DPR-RI saat ini.

Ketua ATVLI Bambang Santoso menjelaskan, proses digitalisasi penyiaran yang berlangsung saat ini tidak memberikan perlindungan hukum pada lembaga penyiaran, baik yang berjaringan ataupun lokal. “ATVLI ataupun ATVSI dirugikan secara hukum dan investasi”, ujarnya. Hal tersebut disampaikan dalam Diskusi Terbatas dengan tajuk “Bagaimana Masa Depan Digitalisasi Penyiaran di Indonesia”, yang dilaksanakan di Hall Dewan Pers (11/4).

Pada kesempatan tersebut, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat diwakilkan oleh Koordinator bidang pengelolaan struktur dan sistem penyiaran Agung Suprio, yang menjelaskan tentang posisi digitalisasi penyiaran dalam rancangan undang-undang penyiaran yang tengah dibahas di DPR RI. Agung memaparkan beberapa catatan atas RUU tersebut khususnya terkait digitalisasi, diantaranya usulan penggunaan single multiplekser (mux) dari TVRI dalam pelaksanaan penyiaran digital dan keberadaan Lembaga Penyiaran Khusus (LPKh) dengan peruntukan pemerintah dan BUMN, partai politik dan pemerintah daerah.

Sementara itu Gilang Iskandar dari ATVSI menyatakan bahwa gugatan ATVLI atas peraturan yang memayungi pelaksanaan penyiaran digital bisa dikategorikan sebagai “wake up call” bagi pelaku bisnis penyiaran. “Ternyata memang ada masalah dalam aturan tentang digitalisasi”, ujarnya. Gilang kemudian memaparkan pendapatnya tentang digitalisasi ini.  Pada prinsipnya, ATVSI menilai migrasi digital bukanlah untuk menambah pemain dalam industri penyiaran, tapi untuk meningkatkan pelayanan penyiaran. Migrasi digital harus menghitung secara cermat daya dukung ekosistem penyiaran yang kemudian dibandingkan dengan kemampuan dari masyarakat. ATVSI juga berpendapat bahwa lembaga penyiaran yang sudah ada, eksisting, harus diberikan prioritas sebagai apresiasi atas kinerja pelayanannya kepada masyarakat selama ini dan juga sebagai proteksi atas keberlangsungan bisnis ke depan. Gilang juga menyampaikan bahwa digitalisasi harus memperhitungkan kebutuhan industri penyiaran untuk mengadopsi teknologi informasi yang berkembang di masa depan. Selain itu, ATVSI mengharapkan pelaksanaan digitalisasi penyiaran ini mengikutsertakan seluruh stakeholder penyiaran, baik itu kalangan industi, regulator seperti KPI-Kemenkominfo-Komisi I DPR, serta masyarakat sipil.

Diskusi yang juga dihadiri perwakilan televisi-televisi lokal dari berbagai daerah ini juga mempertanyakan tentang kehadiran entitas lembaga penyiaran baru di rancangan undang-undang penyiaran. Kehadiran lembaga penyiaran khusus dinilai berpotensi merebut pasar dari televisi lokal yang sudah ada saat ini. Gilang sendiri berpendapat bahwa usulan model bisnis dengan single mux sebenarnya melanggar prinsip demokratisasi penyiaran. “Hanya menambah pemain tapi tidak meningkatkan pelayanan. Karena dengan adanya monopoli akan menghilangkan kompetisi”, ujarnya. Yang tidak kalah penting menurut Gilang, yang harus dipikirkan dalam digitalisasi penyiaran adalah sosialisasi dan advokasi yang tidak hanya kepada lembaga penyiaran, tapi juga pada publik sebagai end user dari produk penyiaran ini.

Santoso menilai, sudah waktunya para pelaku industi penyiaran untuk duduk bersama menyatukan agenda memberikan masukan atas regulasi penyiaran digital yang akan diatur dalam Undang-Undang Penyiaran ke depan.  Bahkan stake holder penyiaran lainnya, seperti LSM, akademisi dan juga masyarakat sipil harus ikut duduk bersama memberikan masukan agar undang-undang yang nanti lahir dapat mencerminkan kepentingan bersama.

Pada penghujung acara, Jimmy Silalahi dari Dewan Pers bahkan meminta seluruh pihak harus menyiapkan diri untuk proses Judicial Review seandainya undang-undang yang disusun banyak merugikan kepentingan publik. Jimmy menegaskan bahwa perjuangan menuju demokratisasi penyiaran masih sangatlah panjang. Karenanya butuh energi yang cukup untuk mengawal regulasi-regulasi yang hadir, agar sesuai dengan spirit demokratisasi.


Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.