- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 90854
Semarang – Keberadaan radio dinilai akan tetap bisa eksis meski saat ini adalah era internet. Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Tengah Muhammad Rofiuddin menyatakan sejak dulu radio dipandang sebagai media lama yang akan ditelan zaman. “Namun pada kenyataannya, hingga kini keberadaan radio masih tetap eksis. Bahkan di kota-kota besar, bisnis dan eksistensi radio sangat diperhitungkan,” kata Rofiuddin saat menjadi pembicara dalam acara “Menikahkan Radio dengan Perkembangan Teknologi dan Informasi” yang digelar Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Magelang dan Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) Kota Magelang, (29/12).
Rofiuddin mengakui penggunaan internet saat ini terus mengalami peningkatan yang cukup pesat. Saat ini, alat komunikasi dan platform media yang selalu menempel dibawa seseorang adalah gadget, smart phone maupun mobile phone. Semakin mudah dan murahnya akses internet ikut mendorong penggunaan medium jenis ini terus meningkat. Menurut Rofiuddin, keberadaan internet harus dijadikan peluang oleh para pengelola radio. Untuk itu, pengelola radio menggunakan internet untuk ikut menopang radio. Misalnya, pengelola radio harus berinteraksi dengan para pendengar dengan menggunakan media sosial (seperti Face Book, Twitter, Instragram dan lain-lain) maupun aplikasi messanger (seperti WhatApp dan BlackBerry Messanger). Untuk mengakses radio, pengelola radio juga bisa membuat versi streaming.
Survei Nielsen Consumer Media View (Survei Nielsen Indonesia 2017) menyebut bahwa penetrasi radio masih menempati urutan keempat dibanding jenis media lain. “Televisi masih menjadi media utama bagi masyarakat Indonesia, dimana penetrasinya mencapai 96 persen,” katanya.
Selanjutnya media luar ruang dengan penetrasi 53 persen, internet 44 persen, dan di posisi keempat media radio 37 persen. Adapun penetrasi media koran hanya 7 persen serta majalah dan tabloid 3 persen.
Rofiuddin menyatakan, jika dibandingkan hasil survey 2016, penetrasi radio mengalami penurunan. Tapi sangat sedikit, yakni 1 persen. “Penetrasi media yang kenaikan sangat cepat hanyalah internet. Lima tahun lalu (2012), penestrasi internet baru mencapai 26 persen tapi tahun ini (2017) sudah mencapai 44 persen,” kata Rofiuddin.
Adapun survey Nielsen Radio Audience Measurement pada kuartal ketiga 2016 menemukan bahwa 57 persen dari total pendengar radio berasal dari Generasi Z dan Millenials. Sebanyak empat dari sepuluh orang pendengar radio mendengarkan radio melalui perangkat yang lebih personal, yaitu mobile phone. Angka penetrasi mingguan tersebut menunjukkan radio masih didengarkan oleh sekitar 20 juta orang konsumen di Indonesia. Para pendengar radio di 11 kota di Indonesia yang disurvei Nielsen ini setidaknya menghabiskan rata-rata waktu 139 menit per hari.
Menurut Nielsen, waktu mendengarkan radio per minggu, masih tumbuh dari tahun ke tahun. Pada 2014, pendengar radio hanya menghabiskan waktu selama 16 jam per minggunya. Adapun pada 2015 dan 2016 masing-masing 16 jam 14 menit dan 16 jam 18 menit per pekan. “Hasil survey diatas menjadi salah satu bukti bahwa radio belum akan mengalami masa suram,” kata Rofiuddin.
Dia menambahkan saat ini juga banyak sekali orang yang ingin mendirikan radio. Namun, keinginan itu tak bisa direalisasi semuanya karena pendirian radio terkait dengan ketersediaan kanal frekuensi. “Logikanya, untuk apa orang berebut ingin mendirikan radio jika radio tidak memiliki prospek. Tapi saat ini banyak orang berebut ingin mendirikan radio,” kata Rofiuddin.
Beberapa kunci agar radio bisa eksis di era internet adalah radio harus memberikan informasi yang up to date dan terpercaya. Di era internet yang banyak berseliweran berita bohong dan informasi palsu maka radio harus bisa menjadi pencerah dan penunjuk informasi yang valid. Radio juga harus bisa memanfaatkan perkembangan teknologi dan informasi; radio harus meningkatkan interaksi dengan pendengar, terutama di media sosial dan aplikasi messanger; radio harus menggandeng lembaga/instansi lain; serta radio harus memperbanyak membuat acara-acara off air.
Adapun dari sisi sumber daya manusianya, pengelola radio dituntut memiliki kompetensi dan kualifikasi tinggi. Selain itu, mereka juga harus menguasai teknologi dan mampu mengoperasikan peralatan (tidak gaptek). “Perkembangan zaman harus menjadi tantangan dan peluang, bukan hambatan,” kata Rofiuddin.