Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Djoko Suyanto mendukung keputusan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dalam pengawasan program acara lembaga penyiaran yang menayangkan iklan kampanye belum pada waktunya. Dukungan itu disampaikan di kantornya di Jalan Medan Merdeka Barat saat menerima kunjungan KPI pada Rabu, 26 Februari 2014.

Menurut Djoko, frekuensi yang digunakan oleh lembaga penyiaran adalah milik publik dan semestinya digunakan untuk kepentingan publik.  “Saya mendukung langkah dan keputusan KPI dalam membela kepentingan publik. Jangan surut, karena apapun yang menyangkut tentang publik akan mendapat dukungan balik dari publik itu sendiri,” kata Djoko Suyanto.

Lebih lanjut Djoko mengatakan, dari beberapa program acara yang sempat dilihat, tidak mungkin pemilik media tidak menggunakan medianya untuk kepentingan pribadi. Menurutnya, sudah dipastikan jika pemilik media yang berafiliasi dengan salah satu partai politik akan memanfaatkan medianya untuk kepentingan politik kelompoknya terlebih menjelang Pemilu 2014.

Bagi Djoko, frekuensi yang digunakan lembaga penyiaran adalah milik publik, maka sudah semestinya lembaga penyiaran mengedepankan keberimbangan dalam berita dan program acara lainnya. Oleh karena itu, Djoko mendukung langkah KPI dalam memberikan sanksi kepada lembaga penyiaran dalam kaitan penggunaan media untuk kepentingan pribadi, golongan, dan kelompoknya.

“KPI harus melakukan pengawasan dan pengukuran fungsi keberimbangan, keadilan, dan kebermanfaatan media penyiaran. Jika ditemukan pelanggaran, tindakan harus dilakukan KPI. Kerjakan yang memang harus dikerjakan. Saya mendukung setiap langkah KPI,” tegas Djoko Suyanto penuh harapan.

Dalam menyampaikan sambutan dan menanggapi dukungan itu Ketua KPI Judhariksawan menyatakan terima kasih atas dukungan terhadap KPI. Menurut Judha, KPI akan melakukan fungsi pengawasan sesuai aturan dan tetap mengedepankan kepentingan publik. “Kami akan terus menjalankan apa yang diamanatkan UU Penyiaran,” ujar Judha. Adapun komisioner KPI yang hadir dalam pertemuan itu, Agatha Lily, Amirudin, dan Fajar Arifianto Isnugroho.

Dalam membela kepentingan publik yang terkait dengan kampanye politik belum pada waktunya, Judha menerangkan, sejak Desember tahun lalu sudah memanggil enam lembaga penyiaran yang dianggap melakukan menayangkan iklan kampanye politik. Tak hanya sebatas itu, fungsi pengawasan itu juga bentuk komitmen KPI dalam menguatkan fungsi dan peran pengawasan yang tergabung dalam satuan gugus tugas bersama KPU dan Bawaslu.

Kemudian pada Jumat, 21 Februari 2013, KPI Pusat menjatuhkan sanksi administrasi penghentian sementara untuk program siaran “Indonesia Cerdas” di Global TV dan “Kuis Kebangsaan” di RCTI. Penghentian itu berlaku sejak 21 Februari 2013 hingga dilakukannya perubahan atas materi dua program siaran tersebut.

Terakhir, dalam rangka penguatan gugus tugas itu, KPI bersama KPU dan Bawaslu menyepakati moratorium untuk penghentian kampanye politik di media penyiaran sebelum waktunya. Hal itu berlangsung di Gedung DPRRI dalam acara dengar pendapat dengan Komisi I DPR RI pada Rabu, 25 Februari 2014.

Semua yang dilakukan dan keputusan dan teguran KPI kepada lembaga penyiaran, bukan semata pada menekankan pada program acara yang menampilkan kampanye politik. Tapi KPI juga melihat adanya  indikasi pemilik lembaga penyiaran menggunakan medianya untuk kepentingan pribadi dan golongannya. “Dan hal itu liner dengan peraturan tentang kampanye,” terang Judha. (RG)

 

Jakarta - Penayangan iklan politik di televisi harus segera dihentikan sampai masa kampanye terbuka pada 15 Maret 2014 mendatang. Untuk itu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus segera menyepakati penghentian itu, sekarang juga.

Hal tersebut disampaikan Chandra Tirta Wijaya, anggota Komisi I DPR RI dalam acara Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara komisi I DPR RI dengan KPI, KPU, KIP dan Bawaslu (25/2).

Penghentian itu setidaknya akan mengobati “luka” dari masyarakat akibat tayangan politik peserta pemilu baik dalam bentuk iklan atau program siaran lain yang selama ini tayang  di televisi.  Menurut Chandra, sangat tidak adil bagi calon anggota legislative (caleg) di daerah yang kesulitan menyosialisasikan dirinya di ruang-ruang terbuka. “Pasang banner kecil, langsung diturunkan!”, ujar Chandra. Sementara para politisi yang memiliki keterkaitan dengan lembaga penyiaran dapat dengan mudah muncul di ruang-ruang privat melalui televisi.

Chandra menilai sudah saatnya para regulator terkait penyiaran pemilu sekarang, KPU-KPI-Bawaslu,  bersatu melawan pemilik modal. “Bagaimanapun juga republik ini dibangun bukan dengan kekuatan modal”, tegas Chandra.

Sementara itu menurut anggota komisi I lainnya, Mardani Ali Sera, seharusnya dalam gugus tugas pengawasan penyiaran pemilu, dewan pers ada di dalamnya. Mardani melihat masalah netralitas di media cetak dan online saat ini bukan sekedar dalam iklan. “Strategi pemberitaan yang ada di kedua media tersebut seharusnya mendapatkan pengawasan yang ketat dari dewan pers”, ujar Mardani.

Sedangkan terkait masalah penyiaran pemilu, Mardani menanyakan sejauh mana investigasi KPI atas kuis kebangsaan dan kuis lainnya.“Apakah kuis-kuis tersebut mendapatkan izin dari Kementerian Sosial?”, tanya Mardani.

Selain itu KPI juga diminta mengedepankan azas equalitas terhadap seluruh iklan-iklan politik yang muncul di televisi. “Kalau sekarang KPI memberi sanksi atas iklan-iklan Hanura, maka iklan-iklan partai politik lain yang melanggar juga harus dijatuhkan sanksi. Bahkan kalaupun iklan PKS melanggar, sanksi harus dijatuhkan sesuai proporsinya”, pungkas Mardani.

 

 

 

 

 

Dalam pengawasan pemilu 2014, KPI Pusat, Bawaslu, dan KPU tergabung dalam gugus tugas sesuai dengan wewenang masing-masing lembaga. Dalam konteks pengawasan pemilu, KPI berwenang dalam pengawasan isi siaran lembaga penyiaran.

Selain mengapresiasi keputusan KPI tentang penghentian sementara program siaran “Indonesia Cerdas” di Global TV dan “Kuis Kebangsaan” di RCTI, Pengajar Komunikasi Politik Universitas Indonesia Ari Junaedi juga melihat kinerja maksimal gugus tugas itu bisa langsung bergerak sesuai dengan wewenangnya.

“Mestinya setelah KPI mengeluarkan sanksi penghentian sementara dua acara itu, Bawaslu juga bisa langsung bergerak. KPI terkait dengan lembaga penyiarannya, kemudian Bawaslu pada partai politiknya langsung,” Ari kepada Media Center KPI melalui telepon selulernya pada Senin, 24 Februari 2014.

Ari berharap, setiap keputusan salah satu gugus tugas pemilu itu bisa saling mendukung dalam setiap yang diambil oleh tiap lembaga. “Ini agar lembaga negara independen semakin kuat untuk membela kepentingan publik,” ujar Ari lebih lanjut.

Jika sudah saling mendukung satu sama lain, Ari menegaskan, hal-hal yang diawasi terkait pemilu akan ditaati oleh peserta pemilu dan tidak diabaikan. Selain itu, menurut Ari, masing-masing lembaga akan semakin kuat dan semakin berwibawa di hadapan lembaga atau peserta pemilu yang diawasi.

“Kalau sudah saling mendukung dan tegas, KPI bisa lanjut dengan program acara di lembaga penyiaran lain yang dianggap melanggar tentang kampanye dan penyiaran. Demikian juga Bawaslu bisa langsung melaporkan partai yang bersangkutan sebagai tindak pidana pemilu dan segera diadili,” terang Ari.

Sebagai informasi, pada Jumat, 21 Februari 2013, KPI Pusat menjatuhkan sanksi administrasi penghentian sementara untuk program siaran “Indonesia Cerdas” di Global TV dan “Kuis Kebangsaan” di RCTI. Penghentian itu berlaku sejak 21 Februari 2013 hingga dilakukannya perubahan atas materi dua program siaran tersebut.

Dalam sidang khusus penjatuhan sanksi di kantor KPI Pusat pada Jumat pekan lalu, Ketua KPI Pusat Judhariksawan mengatakan, keputusan itu didasarkan pada pengaduan masyarakat, pemantauan, dan hasil analisis yang menemukan adanya pelanggaran atas Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS), P3 Pasal 11 dan SPS Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 71 ayat (3). Sebelum penjatuhan sanksi penghentian sementara, menurut Judha, KPI telah mengirimkan dua kali surat teguran tertulis pada RCTI dan Global TV. Namun tidak ada perubahan materi siaran seperti yang diminta oleh KPI

Jakarta - Kementerian Komunikasi dan Informatika tengah menyiapkan nota kesepahaman dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terkait hal-hal strategis soal penyiaran. Hal tersebut disampaikan Menkominfo Tifatul Sembiring dalam acara Breakfast Meeting dengan mitra kerja Kemenkominfo (25/2). Kesepahaman ini dilakukan untuk menjadikan kerja antara dua regulator ini sinergi dalam menata dunia penyiaran yang memberi manfaat untuk masyarakat.

Dalam kesempatan tersebut Tifatul menyampaikan hal-hal yang patut diperhatikan oleh mitra kerja Kemenkominfo seperti diantaranya PT Pos Indonesia, operator telekomunikasi, lembaga penyiaran, KPI dan Komisi Informasi Publik. Menurut Tifatul, pemilu 2014 kali ini butuh partisipasi semua pihak, diantaranya untuk meningkatkan partisipasi publik. Trend di Pilkada menunjukkan adanya penurunan partisipasi publik dalam memilih, ujar Tifatul. “Meskipun hasil pemilu tetap dianggap sah, namun legitimasinya dipertanyakan”, ujarnya.

Tifatul juga menyampaikan tentang pentingnya pengaturan siaran politik di lembaga penyiaran. “Apa masih ada firewall antara pemilik televisi dengan newsroom?” tanya Tifatul. Karena itu dirinya mengingatkan tentang aturan-aturan yang telah dibuat oleh KPI terkait pemanfaatan lembaga penyiaran untuk kepentingan publik, yang harus jadi pertimbangan lembaga penyiaran.

Pertemuan kali ini juga memberikan kesempatan pada Ketua Majelis Ulama Indonesia bidang Informasi dan Komunikasi (Infokom) Sinansari Ecip, untuk mengingatkan lembaga penyiaran tentang tayangan Ramadhan pada bulan Juni mendatang. Menurut Ecip tayangan horror, violence (kekerasan) dan seks (HVS) harusnya hilang dari layar kaca selama bulan ramadhan. Ecip juga menekankan tentang adanya kecenderungan perendahan nilai-nilai agama di sinetron yang tayang di televisi. “Setahun lalu pernah ada pertemuan antara KPI, MUI, LSF dan lembaga penyiaran yang menyepakati adanya perubahan materi atas sinetron yang menggunakan label-label keislaman. Memang terjadi perubahan beberapa saat, namun sekarang sudah kembali seperti dulu”, tukas Ecip.

Apa yang disampaikan Ecip ini senada dengan komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan, Fajar Arifianto. Menurut Fajar, KPI setuju bahwa sepanjang bulan ramadhan televisi harus lebih agamis. Tidak hanya itu, acara yang penuh dengan tawa canda sudah sepatutnya dikurangi dalam bulan ramadhan.

Lebih jauh Fajar juga menyampaikan tentang pengawasan pemilu yang dilakukan oleh KPI. Menurut Fajar, media penyiaran perlu berperan aktif dalam menyosialisasikan setiap tahapan pemilu dan para pesertanya dengan cara yang berimbang dan proporsional. Teguran-teguran yang dilakukan KPI pada lembaga penyiaran yang terbukti tidak berimbang dan dimanfaatkan untuk kepentingan para pemilik , merupakan cara KPI untuk menjaga penyiaran berlaku adil bagi seluruh peserta pemilu. “Lebih dari itu, KPI berkewajiban menjaga lembaga penyiaran digunakan untuk kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi ataupun kelompok dari pemiliknya”, tukas Fajar.

Untuk itu dirinya memastikan, kesepahaman antara KPI dan Kemenkominfo akan segera direalisasikan. Diantaranya adalah menjadikan rapor lembaga penyiaran dari KPI sebagai bahan pertimbangan untuk Menteri Kominfo memberikan perpanjangan izin penyiaran.

Sejumlah Komisioner KPI Pusat dalam sidang khusus penjatuhan sanksi program acara.

Jakarta-Pengajar Komunikasi Politik Universitas Indonesia Ari Junaedi mengapresiasi keputusan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat yang menjatuhkan sanksi administrasi penghentian sementara untuk program siaran “Indonesia Cerdas” di Global TV dan “Kuis Kebangsaan” di RCTI pada Jumat, 21 Februari 2014. Menurut Ari, keputusan itu sudah tepat sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.

“Saya dukung keputusan itu, mesti terhitung terlambat. Dengan keputusan itu, KPI sudah menunjukkan taringnya ke publik yang selama ini diragukan banyak kalangan,” kata Ari kepada Media Center KPI melalui telepon selulernya pada Senin, 24 Februari 2014. Ari juga memberikan alasan kenapa mendukung keputusan yang dikeluarkan oleh KPI Pusat itu. 

Ari mengaku rutin menonton dan mengamati kedua program acara itu. Dari analisanya, kedua kuis itu jelas-jelas melakukan kampanye sebelum waktunya. Salah satu indikasinya kedua acara itu seperti kampanye adalah, acara kuis itu disetting yang jawabannya mengarahkan menonjolkan pada tokoh tertentu. Kemudian kata kunci untuk penelpon kuis yang diharuskan menyebutkan kata kunci, bersih, peduli, tegas. 

“Itu jelas kampanye, dalam acara Kuis Kebangsaan yang tampil Wiranto dan Hari Tanoesoedibjo yang sudah jelas-jelas mendeklarasikan diri sebagai calon presiden dari Partai Hanura. Kemudian kata kunci kuisnya adalah slogan dari kedua tokoh itu. Ditinjau dari sisi manapun itu jelas kampanye. Dari segi undang-undang kampanye juga sudah memenuhi syarat itu, ada visi dan misi di dalamnya,” ujar Ari.

Namun, usai sanksi administrasi dilayangkan oleh KPI kepada dua lembaga penyiaran, Ari masih memantau dan melihat kedua acara itu masih ditayangkan, dengan konsep yang berbeda. “Setelah sanksi dari KPI keluar, saya menonton acara ‘Kuis Kebangsaan’ saya melihat ada perubahan konsep. Tapi yang tampil dalam acara itu adalah calon legislatif dari Partai Hanura. Mereka mencoba mengakali sanksi yang diberikan KPI, itu artinya mereka mengabaikan sanksi dan melawan KPI yang sudah jelas adalah regulator penyiaran yang diamanahi undang-undang,” ungkap Ari lebih lanjut.

 

Menurut Ari, adanya perubahan model siaran dalam “Kuis Kebangsaan”, menunjukkan media penyiaran terkait susah dan tidak mau diatur oleh lembaga negara yang mengurusi regulator penyiaran. Padahal menurut Ari, frekuensi siaran yang digunakan lembaga penyiaran adalah sumber daya yang jumlahnya terbatas dan milik publik. Dalam konteks penggunaannya, lembaga penyiaran diamanahi dalam pengelolaan frekuensi tersebut.

 

Dalam kondisi yang demikian, menurut Ari, semua teguran dan sanksi yang dikeluarkan KPI seperti angin lalu. “Jika sudah seperti itu kondisinya, ke depan publik harus pikirkan KPI semestinya diberi wewenang lebih dalam hal perizinan dan pencabutan izin, biar seperti KPK, agar KPI bisa didengar dan ditaati oleh lembaga penyiaran,” terang Ari.

 

Meski begitu, Ari menuturkan, hal itu bisa terlaksana dengan menunggu revisi Undang-undang Penyiaran yang saat masih dalam tahap pembahasan di DPR. Selain itu, Ari juga meminta, agar KPI dalam setiap aktivitasnya mengajak publik turut serta, karena KPI adalah bentuk representasi publik.


“Kita harus berpikir ulang akan masa depan bangsa ini. Penyiaran itu memiliki peran penting dalam menentukan peradaban kita berbangsa. Efek dari penyiaran itu sangat besar pengaruhnya akan budaya, bahasa, istiadat, hingga perilaku masyarakat. Makanya ke depan KPI harus imun dari kepentingan politik, karena dia sudah memegang hal yang terkait dengan hajat hidup orang banyak,” papar Ari.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.