Banten - Program jurnalistik semestinya digunakan untuk kepentingan publik yang lebih besar sebagai penyedia informasi dalam memenuhi Hak Azasi Manusia yang paling hakiki, yakni hak untuk tahu dan hak berpendapat masyarakat. Namun kini ditemukan banyak gejala program jurnalistik digunakan sebagai "Marketing Public Relations" oleh stasiun televisi untuk institusi pemerintah, perorangan, maupun badan privat lainnya. 

Hal itu dikemukakan Komisioner Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran KPI Pusat Amirudin dalam forum Evaluasi Uji Coba Siaran (EUCS) yang dilaksanakan untuk 8 (delapan) Lembaga Penyiaran di Wilayah Banten di Hotel Aryaduta, Tangerang, Karawaci, Banten, Rabu, 26 November 2014.

Amir menambahkan, kecenderungan ini terlihat dari banyaknya program berita berupa program liputan khusus berdurasi  30 - 60 menit yang digunakan untuk tayangan "special event" tertentu di daerah oleh Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) TV Lokal. Program ini rata-rata  berdurasi 30 - 60 menit yang ditayangkan dalam satu hari mencapai 30 persen dari total durasi siaran.

"Ini gejala menarik dan perlu ada penegasan dari pihak televisi bahwa program jurnalistik itu sesungguhnya diperuntukan untuk apa. Sebab jika tidak ada penegasan maka LPS TV tersebut dapat diduga melakukan pelanggaran P3SPS atas larangan pemanfaatan program siaran untuk kepentingan kelompok, golongan, atau pemiliknya. Namun jika program berita itu niatnya diperuntukan sebagai jasa Public Relations, maka dapat diposisikan sebagai program iklan yang masuk dalam hitungan durasi siaran iklan maksimal 20 persen,” ujar Amir. 

Hal serupa juga dijelaskan Ketua KPID Banten  Muhibuddin, “Program jurnalistik wajib menjunjung tinggi prinsip- prinsip jurnalistik, antara lain: akurat, berimbang, adil, tidak berpihak dan yang paling penting, wajib menjaga independensi dalam proses produksi program siaran jurnalistik, sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh pihak eksternal maupun internal termasuk pemodal maupun pemilik lembaga penyiaran."

EUCS yang dipimpin Amirudin beserta tim EUCS terdiri dari Ketua KPID Banten, Direktorat Penyiaran Kominfo Agnes Widyanti, Syaharuddin, Dwi Wahyudi beserta Direktorat Sumber Daya Kominfo, Adityawarman dan Balmon Spekturm Frekuensi Kelas II Banten, Insan Semesta, berlangsung lancar. (Int)

Jakarta - Perkembangan teknologi saat ini harus diimbangi dalam kerangka regulasi yang responsif. Sehingga pelbagai implikasi sosial akibat perkembangan teknologi dapat dimitigasi dengan baik. Hal itu dipaparkan Menkominfo Rudiantara dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara Komite I DPD RI dengan Kominfo, Dewan Pers, Komisi Informasi Pusat, dan Komisi Penyiaran Indonesia, di ruang rapat Komite I DPD RI, Rabu (26/11/2014).

Saat menyoroti persoalan digitalisasi penyiaran Menkominfo Rudiantara menawarkan wacana RUU Konvergensi dalam Renstra 2015-2019 sebagai pengganti UU 36/1999 tentang Telekomunikasi, UU 32/2002 tentang Penyiaran, serta UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) beserta Peraturan Pemerintah turunannya. Wacana ini sebagai bentuk review terhadap perubahan teknologi peyiaran yang tidak bisa lagi dibendung. "Kita akan bersama dengan KPI juga stakeholder penyiaran untuk menyusun regulasi terkait konvergensi telekomunikasi," ungkap Rudiantara selaku Menkominfo.

Ketua KPI Pusat  Judhariksawan, menyikapi konsep penyelenggaraan multipleksing menyatakan bahwa penyelenggaraan digitalisasi ini harus dapat memberikan dampak positif bagi siapapun termasuk daerah baik segi budaya ataupun nilainya. "Daerah bisa ikut merasakan perkembangan dari ekosistem  penyiaran jika lembaga penyiaran mau melaksanakan 10 persen konten lokal," tegasnya.

Hingga saat ini diseminasi informasi di Indonesia masih memprihatinkan. Masih banyak wilayah di Indonesia yang tidak terlayani informasi (blankspot area) akibat keterbatasan infrastruktur bisa karena faktor geografis, atau minusnya penyedia informasi publik, baik pemerintah melalui TVRI dan RRI maupun lembaga penyiaran swasta.  "Masyarakat di area tersebut harus berupaya dengan mempergunakan parabola, celakanya siaran itu masuk tanpa filter dan ini cenderung mengancam ketahanan negara," lanjutnya.

Sementara itu dalam catatan rapat kerja, Ketua DPD RI,  H. Akhmad Muqowam yang sekaligus memimpin rapat dengar pendapat kali ini menyebutkan akan mengkaji lebih lanjut usulan RUU tentang Konvergensi yang diusulkan Kemenkominfo.

Medan - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama KPI Pusat kembali menyelenggarakan Evaluasi Uji Coba Siaran pada, Kamis dan Jumat, 13-14 November 2014 di Garuda Plaza Hotel, Medan. Evaluasi Uji Coba Siaran (EUCS) dilakukan untuk 11 Lembaga Penyiaran, yakni PT Radio Madina Sore Sere, PT Cahaya Nisantara Perkasa Telivisi (RTV), PT Kabanjahe Vision, PT Efarina Televisi, PT Radio Irfa Clarissa, PT Laras Cakrawala, PT Cakrawala ANTV1 (ANTV Siantar), PT Radio Indah Suara (RIS 96,5 FM), PT Radio Suara As Sunnah Sergei, PT Sidimpuan Multimedia, PT Suara Talikum. Tetapi PT. Radio Irfa Clarissa tidak hadir pada EUCS tersebut.

Hadir dalam EUCS Direktorat Siaran PPI, IGN. Wirajana, Endang Kosasih, dan Toizu Toika, perwakilan Direktorat Operasi SDPPI adalah Asnaria Girsang dan Renhad. Sedangkan Guntur Batubara perwakilan dari Balmon Sumatera Utara. Hadir juga Ketua KPID Sumatera Utara Harris Nasution dan Rahmat dari Bidang Perizinan. 

Acara EUCS dipimpin oleh Komisioner KPI Pusat Agatha Lily. Dalam Evaluasi Uji Coba Siaran itu membahas 3 hal yang terkait masalah teknis, administrasi dan content siaran. Acara kemudian dilanjutkan dengan kunjungan ke lembaga penyiaran. (MRJ)


Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melakukan audiensi dengan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, M Nasir, di kantor kementerian Ristek Dikti di bilangan Sudirman (25/11). Hadir dalam audiensi tersebut Ketua KPI Pusat Judhariksawan yang didampingi komisioner KPI Pusat lainnya, Rahmat Arifin, Fajar Arifianto, Amiruddin dan Agatha Lily.

Pada pertemuan tersebut Judhariksawan memperkenalkan KPI sebagai lembaga negara independen yang  menjadi regulator dalam dunia penyiaran.  Judha juga menyampaikan bahwa KPI membutuhkan dukungan kuat dari pihak akademisi untuk menegakkan hukum penyiaran dalam menata dunia penyiaran agar menjadi lebih baik.

Selain itu, Judha juga menjelaskan beberapa program kerja KPI yang bersinggungan dengan dunia perguruan tinggi. Diantaranya survei kepemirsaan yang akan dilakukan KPI Pusat untuk mengukur minat dan kebutuhan masyarakat tentang program siaran. Hal ini sebagaimana yang diperintahkan dalam undang-undang penyiaran bahwa pemberian izin penyelenggaraan penyiaran harus didasarkan pada minat, kepentingan dan kenyamanan publik.  Program kerja KPI lain yang beririsan dengan kewenangan Kemenristek dan Dikti adalah pembuatan standar kompetensi SDM penyiaran.

Menanggapi yang disampaikan oleh KPI ini,  M Nasir mengakui bahwa dunia penyiaran memiliki peran yang sangat strategis dalam memperbaiki kualitas masyarakat. Untuk itu Nasir berharap dalam pembuatan survey kepemirsaan tersebut, KPI juga mencari tahu tentang manfaat program siaran yang sekarang ini tayang terhadap kehidupan masyarakat. “Bagaimana dampak siaran bagi pendidikan, baik dalam muatan siarannya ataupun durasi waktu siaran”, ujar Nasir.  Dirinya juga melihat, di beberapa daerah sudah ada aturan mematikan televisi selama satu jam pada saat jam belajar anak-anak. “Ini harus dilihat, seperti apa dampak televisi hingga harus ada aturan mematikan satu jam untuk anak-anak belajar”, ujarnya.

Lebih jauh Nasir juga mengingatkan mengenai daya kompetisi SDM di Indonesia yang masih rendah baik di bidang sains, teknologi ataupun riset. Dirinya sangat setuju dengan rencana KPI untuk membuat standarisasi kompetensi SDM penyiaran. “Agar pada saat 2015 nanti, SDM kita juga mampu bersaing dengan pekerja dari luar negeri”, ujarnya.  Baik Judha maupun Nasir juga sepakat untuk segera merumuskan nota kesepahaman antara KPI dan Kemenristek Dikti.

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) tentang Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB), Senin, 24 November 2014. FGD menghadirkan narasumber Komisioner KPI Pusat Bidang Isi Siaran Idy Muzayyad, Sujarwanto Rahmat Arifin, Agata Lily, dan Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono. Peserta FGD berasal dari pelaku dan asosiasi penyelenggara LPB) seperti First Media, Biznet Networks, Asosiasi Penyelenggara Multimedia Indonesia (APMI), Indonesia Cable TV Association (ICTA), dan yang lainnya.

Dalam pembukaan FGD Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad mengatakan kegiatan itu dilakukan untuk menyamakan perspektif tentang LPB. "Penyamaan persepsi LPB mesti dituntaskan, baik dari sisi infrastuktur maupun konten. Hal ini menjadi penting karena faktanya terdapat 2000 LPB yang tidak berizin dan mereka beroperasional. Fenomena itu terjadi di daerah terpencil di Indonesia yang jauh dari pulau Jawa dan masuk area blankspot," kata Idy di Ruang Rapat KPI Pusat, Jakarta. 

Menurut Idy, selain persamaan pandangan tentang LPB juga pembahasan mengenai pembatasan kontrol LPB, apakah sama dengan televisi swasta yang free to air. Kemudian mengenai internal sensor, sebab menurut Idy, sensor LPB bukan ranah otoritas Lembaga Sensor Film (LSF).

Sedangkan Agatha Lily memaparkan tentang aturan terkait, sumber siaran LPB, saluran program siaran, in-house productions, sensor internal, klasifikasiisi siaran, kunci parental, bahasa siaran, siaran mitigasi bencana, siaran iklan, layanan konsumen, aturan re-distribusi siaran, dan proporsi jumlah kanal asing.

Koordinator Bidang Isi Siaran Sujarawanto Rahmat Arifin mengatakan pelaksanaan FGD itu dilakukan KPI untuk menyamakan pandangan dengan penyelenggara LPB sebagai bahan masukan dalam penyempurnaan P3SPS yang akan dilaksanakan 2015 mendatang. "Ada banyak pro kontra sampai saat ini tentang pengaturan LPB. Apakah pengaturan LPB itu disamakan dengan pengawasan Lembaga Penyiaran free to air, atau seperti apa? Masukan dari teman-teman kami butuhkan dalam perbaikan ke depan," ujar Rahmat.

Nonot Harsono lebih banyak menjelaskan tentang praktik pelaksanaan Lembaga Penyiaran Berlanggganan yang berlangsung di Indonesia. Untuk konten siaran, menurut Nonot, saat ini LPB masih belum menyatu terkait dengan pengaadaan konten lokal dan saat ini siaran LPB lebih banyak re-distribusi konten asing kepada pelanggan.

Menurut Nonot, dalam hal kontrol program siaran LPB dengan free to air terletak pada pemberitahuan kepada pelanggan tentang isi tayangan yang akan disiarkan. Dengan pemberitahuan yang detail akan membuat pelanggan atau penonton memiliki tanggung jawab atas program siaran yang dipilihnya.

"Termasuk di dalamnya tentang klasifikasi siaran, apakah tayangan itu untuk anak-anak, dewasa, atau dengan bimbingan orang tua," kata Nonot.

Usai penyampaian materi, peserta FGD menyampaikan masukan dan kendala-kendala yang dialami dalam pelaksaan LPB. Fokus bahasan dan diskusi LPB dipandu Asisten Komisioner Mega Ratna Juwita. (AND, ISL)

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.