Jakarta -- Digitalisasi penyiaran memberikan keuntungan bagi masyarakat, baik secara mikro maupun makro. Secara mikro, masyarakat akan mendapatkan kualitas siaran yang lebih baik dan konten beragam. Sementara secara makro, masyarakat diuntungkan dengan digital deviden yang dapat dimanfaatkan untuk membuka peluang usaha berbasis digital, termasuk industri kreatif.

Hal itu diungkapkan Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, dalam Webinar Sosialisasi TV Digital dengan tema: Goes to Digital (12/8/2020). 

Menurutnya, posisi KPI sebagai Lembaga Negara Independen mendukung digitalisasi karena telah ditetapkan sebagai program pemerintah dan pada sisi lain ada keuntungan yang bisa diperoleh masyarakat. Karena itu, KPI mengambil posisi mendukung digitalisasi. 

"Ketika digitalisasi secara regulatif telah memiliki landasan hukum dalam pelaksanaannya, maka beberapa hal harus diperhatikan oleh KPI. Hal ini sekaligus menjadi tantangan. Pertama, KPI harus mengawal pelaksanaan digitalisasi penyiaran agar asas keadilan dalam pengelolaan multiplekser dapat ditegakkan. Keterbatasan mux jangan sampai membuat lembaga penyiaran eksisting maupun baru kesulitan untuk menjadi penyelenggara  siaran. Keadilan di sini juga berlaku dalam hak kepemilikan mux di seluruh area,” kata Mul, panggilan akrabnya. 

Kedua, digitalisasi harus dapat memecahkan persoalan belum meratanya siaran free to air. Data Kementerian Kominfo menunjukkan baru sekitar 57% kota terlayani. Nasib 43% kota lain juga harus diperhatikan. Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi dan hiburan harus dipenuhi. 

Ketiga, digitalisasi harus berorientasi pada keberagaman konten. Televisi saat ini lebih didominasi oleh dua jenis konten: hiburan dan berita. “Sementara konten anak, perempuan, pendidikan, budaya yang masih belum terlalu kelihatan. Digitalisasi penyiaran harus memberikan banyak pilihan konten. Keempat, karena akan terjadi penambahan jumlah penyelenggara siaran maka KPI harus menyiapkan perangkat pengawasan,” tambah Mulyo. 

Peningkatan tersebut, menurut Mulyo, bisa jadi akan sangat signifikan sehingga tak bisa mengandalkan pengawasan manual tetapi harus mencari metode yang lebih canggih, misalnya dengan artificial intelegence. 

Kelima, KPI berharap sosialisasi siaran digital bisa dilaksanakan secara tepat dan merata. Masih banyak masyarakat yang mengira bahwa siaran digital sama dengan pay tv (tv berbayar). KPI bersama kominfo provinsi dan kabupaten/kota harus dilibatkan. Pemegang multiplexer juga harus turut menyosialisasikannya melalui layar kaca. 

Keenam, perbaikan survei rating harus dapat dibawa dalam teknologi set of box. Sehingga bisa merata dan memotret secara tepat fakta minat masyarakat. Tidak hanya terkonsentrasi pada kota besar sehingga membuat masyarakat kota lain tidak diminati penyelenggara siaran. Survey rating tak boleh menyebabkan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi terabaikan. 

Adapun yang terakhir, kata Mulyo, adalah literasi media. Semakin banyak televisi dan program siaran akan semakin banyak kemungkinan paparan dari program siaran. Karena itu masyarakat harus dibuat lebih kritis dan peduli. Sekaligus untuk membuat masyarakat melek terhadap kemungkinan paparan media baru. 

“Komunikasi dengan masyakat secara langsung diperlukan dalam proses literasi. Di sinilah pentingnya KPID. Karena Indonesia terdiri atas banyak budaya maka yang dapat memahami secara baik adalah mereka yang berada dalam wilayah tersebut, yakni KPID. KPID juga akan turut serta mengawasi kinerja penyiaran di daerah. Akan ada banyak pengaduan masyarakat terkait konten siaran. Maka, keberadaan KPID masih diperlukan dalam konteks menjaga kepentingan publik agar tidak terpapar konten negatif TV, radio, atau nantinya terhadap media baru. KPID lebih paham norma dan etika terkait budaya yang berlaku di wilayah masing-masing,” tegas Mulyo.

Ia melanjutkan, apa yang diutarakan di atas sebagai bentuk amanat UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, sesuai pasal 8 ayat 1 yang berbunyi “KPI sebagai wujud peran serta masyarakat dalam mewadahi aspirasi dan mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran”. Sementara dalam kaitannya dengan digitalisasi maka adalah tugas dan kewajiban KPI (psl 8 [3] b) untuk “turut serta dalam membantu pengaturan infrastruktur bidang Penyiaran.” Dengan demikian semua program pemerintah yang berorientasi pada kepentingan masyarakat semestinya didukung.

Pembicara lain, Direktur Penyiaran Kominfo, Geryantika Kurnia menyatakan, semua “aturan main” di dalam proses digitalisasi penyiaran telah disiapkan sehingga fair, seperti masalah tarif, penawaran, termasuk antara konten dan penyelenggara multiplexernya telah diatur. “Bagi penyelenggara penyiaran yang IPP-nya masih analog bisa mengajukan ke Menkominfo untuk migrasi ke digital. Tidak akan ada biaya ISR, cost operasional infrastruktur akan hilang, hanya kontennya saja. Jika simulcast, maka hanya dicantumkan izin analog dan digital, maka bisa bersiaran analog dan digital,” jelasnya.  

Webinar hasil kerjasama Kementerian Kominfo dan KPID Bengkulu ini juga menghadirkan narasumber, antara lain: Ketua Koordinator ASPIKOM, Dhanurseto Hadiprasha, Dekan Binus Business School Undergraduate Program, Hardijanto Saroso, Corporate Secretary Trans TV, Freddy Melmambessy dan dimoderatori oleh Ketua KPID Bengkulu, Ratim Nuh. */Intan

 

Jakarta – Ada 8 kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak pada Desember 2020 mendatang. Di antaranya adalah Kabupaten Bandung, Kab. Cianjur, Kab. Sukabumi, Kab. Karawang, Kab. Indramayu, Kab. Tasikmalaya, Kab. Pangandaran, dan Kota Depok.

Menyongsong suksesi tersebut, KPI Daerah Provinsi Jabar menggelar Workshop Daring bertema “Optimalisasi peran Lembaga Penyiaran pada Pilkada serentak 2020 dalam Masa Pandemi Covid-19,” Rabu (12/8/2020). Kegiatan yang berlangsung secara virtual tersebut melibatkan penyelenggara Pilkada, KPU dan Bawaslu Daerah, DPRD, akademisi, lembaga penyiaran serta KPI yang diwakili langsung Ketua KPI Pusat, Agung Suprio sebagai Keynote Speech. 

Dalam sambutannya, Agung Suprio, menyebut pelaksanaan Pemilukada nanti yang akan berlangsung di tengah pandemi bukan pertama kali terjadi. Menurutnya, negara seperti Prancis, Iran dan Korea Selatan telah terlebih dahulu melaksanakannya. 

"Memang ada yang berhasil, partisipasi masyarakat tinggi dan penularan Covid-19 tidak terjadi saat pemilihan, seperti Korea Selatan. Kendati demikian juga ada yang gagal seperti yang terjadi di Iran," ujarnya. 

Keberhasilan Korea Selatan, menurut pria yang akrab disapa Agung ini, tidak lepas dari pemanfaatan media sebagai ruang sosialisasi penyelenggaraan pemilihan maupun terkait protokol kesehatan. 

"Maka dari itu, alokasi kampanye atau sosialisasi di media seperti lembaga penyiaran musti lebih panjang. Sehingga aturan teknis saat pemilihan dengan rambu-rambu protokol kesehatan bisa dipahami oleh masyarakat," lanjutnya

Dengan sosialisasi yang lebih panjang waktunya, Agung menilai partisipasi pemilih akan tinggi dalam pelaksanaan pilkada. 

"Saya optimis pelaksanaan Pilkada serentak akan sukses jika masayarakat mendapatkan informasi yang benar tentang pelaksanaan pemilihan dan penerapan protokol kesehatan. Lembaga penyiaran bisa mengambil peran atas suksesi tersebut," tutup Agung. */met

 

 

Jakarta - Realisasi digitalisasi penyiaran harus diikuti dengan kesiapan regulasi pengawasan konten media baru. Hal ini diperlukan sebagai konsekuensi terbangunnya tol virtual dari hasil pelaksanaan digitalisasi penyiaran akan membuat internet semakin mudah diakses. Dengan adanya digital deviden sebesar 112 Mhz pada penggunaan frekuensi, memungkinkan pemerintah menggerakkan sektor telekomunikasi untuk membangun infrastruktur internet berkecepatan tinggi. Bahkan memungkinkan untuk diterapkannya teknologi 5G, maupun perkembangan teknologi di masa depan. Akan tetapi keberadaan tol virtual juga akan berakibat pada luberan konten di media baru. 

Jika selama ini televisi teresterial mendapatkan pengawasan, maka pengawasan serupa harus diberlakukan pada semua platform media baru. Karena perkembangan teknologi dan keberadaan tol virtual akan membuat penetrasi informasi dan hiburan melalui internet akan jauh lebih dominan dibandingkan televisi.

Hardly Stefano Pariela, Komisioner Bidang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyampaikan hal tersebut dalam diskusi Forum Legislasi bertema “RUU Penyiaran: Bagaimana Masa Depan Digitalisasi Penyiaran di Indonesia?”di Media Center DPR RI, Jakarta (11/08).

Pada prinsipnya KPI mendukung digitalisasi penyiaran, ujar Hardly. Namun yang terpenting menurutnya bagaimana pengaturan konten media ketika digital deviden yang diharapkan pemerintah sudah terealisasi melalui digitalisasi. “Harus ada treatment yang equal antara telekomunikasi dan penyiaran ketika penyiaran sudah menjalankan analog switch off (ASO),” tegasnya.

(Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Prof. Dr. Henry Subiakto)

Senada dengan Hardly, Staf Menteri Komunikasi dan Informatika Prof Henry Subiakto yang menjadi narasumber pada acara tersebut menegaskan bahwa pengawasan di media baru juga harus diperhatikan. “Bagaimana pun juga masa depan anak cucu kita tergantung pada pengawasan konten di ranah internet yang sampai saat ini belum ada pengaturannya,”ujar Henry.

Secara rinci Henry menjelaskan tentang perencanaan pemerintah dalam merealisasikan penyiaran digital. Terlambatnya Indonesia melakukan digitalisasi penyiaran ternyata telah menghilangkan potensi pemasukan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). “Negara kehilangan potensi pendapatan hingga sepuluh triliun per bulan lantaran tertundanya digitalisasi ini,” ujar Henry.

Seharusnya, tambah Henry, dalam Omnibus Law tentang penyiaran hanya mengatur soal ASO saja. Mengingat Mahkamah Agung memang memerintahkan pelaksanaan digitalisasi hanya dapat dilakukan jika ada landasan hukum dalam Undang-Undang. Sedangkan kalau berharap pengaturan ASO melalui RUU Penyiaran, dibutuhkan waktu yang lebih panjang lantaran RUU tersebut dihapus dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020.

Sementara itu terkait posisi RUU Penyiaran, Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Al Masyhari  menyampaikan bahwa digitalisasi merupakan sebuah kemestian yang harus dilaksanakan dan negara ini dapat segera melakukan ASO. Selain itu, Kharis juga menegaskan bahwa frekuensi yang ada di negara Indonesia adalah sumber daya terbatas yang mestinya dipergunakan untuk kepentingan rakyat Indonesia secara luas.  Sedangkan untuk  pengawasan terhadap konten harus dilakukan dengan memperkuat lembaga pengawasan yang ada sekarang.

Lebih jauh Kharis melihat pengawasan konten siaran dibutuhkan sebagai upaya perlindungan terhadap anak-anak dan generasi muda. Menurutnya beberapa pengaturan mandiri seperti klasifikasi program dan juga kunci parental (parental lock), tetap harus didukung dengan pengawasan yang lebih utuh. Untuk itu penguatan terhadap KPI sebagai lembaga pengawas konten siaran, harus diberikan.

Kharis juga menegaskan bahwa model siaran baru yang berbasiskan pada internet harus juga diawasi sebagaimana siaran teresterial. “Kalau siaran terrestrial diawasi sedemikian rupa dalam menjaga generasi muda dari pengaruh negatif, maka pengawasan juga harus dilakukan sama terhadap seluruh platform siaran yang baru,”pungkasnya. (Foto: Agung Rahmadiansyah/ KPI)

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Pers, menandatangani Keputusan Bersama (Kepber) tentang pengawasan dan pemantauan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota (Pilkada 2020) melalui lembaga penyiaran, perusahaan pers cetak dan siber, Rabu (12/8/2020) pagi, di Kantor Bawaslu RI, Jakarta.

Keputusan bersama yang ditandatangani langsung Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, Ketua Bawaslu, Abhan, Ketua KPU, Arief Budiman, dan Ketua Dewan Pers yang diwakili Anggota Dewan Pers, Agung Darmajaya, diharapkan dapat menguatkan sistem pengawasan kampanye sehingga menciptakan Pilkada 2020 yang adil, jujur, berimbang dan berkualitas. 

Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, mengatakan kerjasama ini sangat penting untuk mengawasi jalannya kampanye para peserta Pilkada di media khususnya media penyiaran. Apalagi kampanye lewat media elektronik diperpanjang. “Dan hal ini membuat tugas KPI makin vital karena KPI mengawasi TV dan radio sesuai dengan pedomana yang kami punya yakni P3SPS,” katanya dalam sambutan usai penandatanganan kerjasama itu.

Agung meyakini, terbentuknya gugus tugas Pilkada ini akan membuat pengawasan menjadi lebih efektif. “Bawaslu memantau peserta, KPI mengawasi media penyiaran dan Dewan Pers mengawasi media cetak dan online,” katanya dan berharap MoU akan berjalan maksimal dan menuai hasil yang positif. 

“Saya juga optimis hingga saat ini, jika kita menjalankan sosialisasi yang massif lewat media elektronik maka tingkat partisipasi publik minimal bisa sama dan mungkin bisa lebih tinggi dari Pilkada sebelumnya. Peran media sangat penting untuk mengedukasi masyarakat untuk berpartisipasi meskipun dalam suasana pandemi,” pinta Agung. 

Untuk diketahui, tahapan kampanye Pilkada 2020 akan berlangsung pada 26 September hingga 5 Desember 2020. Sedangkan kampanye melalui media massa baru dapat dilakukan selama 14 hari sejak 22 November hingga 5 Desember 2020.

Ketua Bawaslu RI, Abhan, berharap dengan penandatanganan keputusan bersama ini, KPI dan Dewan Pers dapat banyak memberikan masukan kepada pihaknya baik itu berupa pelanggaran penyiaran atau yang lain.

Dia mengatakan, Dewan Pers dan KPI punya kewenangan lebih dalam memantau media massa, baik cetak, elektronik maupun daring. Pengalaman Pemilu 2019, Bawaslu menemukan sejumlah dugaan pelanggaran iklan kampanye di media massa. Tetapi, setelah dikaji Dewan Pers, dinyatakan bahwa iklan kampanye itu bukan berasal dari produk jurnalistik. Oleh karenanya, meskipun telah menjadi temuan dugaan pelanggaran, Bawaslu tak menindaklanjuti temuan tersebut. 

"Nantinya kalau memang ada pelanggaran maka jadi kewajiban kita untuk menegakkan hukum itu. Tapi itu tentu bagian akhir, artinya ultimum remedium. Kalau bisa kita lakukan berbagai upaya pencegahan, kita lakukan pencegahan," tuturnya. Abhan pun berharap, kerja sama 4 lembaga ini dapat mencegah terjadinya pelanggaran kampanye di media massa selama Pilkada 2020.

Abhan pun mengatakan kerja sama ini untuk memastikan keterpenuhan hak dan keadilan dalam kampanye. Menurutnya, kerja sama dengan para pemangku kepentingan pengawasan media massa dan lembaga penyiaran sangat dibutuhkan. Hal itu karena adanya kenormalan baru akibat pandemi Covid-19 yang mendorong peningkatan aktivitas politik melalui media cetak, elektronik, dan penyiaran.

“Peran serta dan partisipasi media dalam pengawasan dan pemantauan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye juga sangat membantu kerja-kerja pengawasan dan penegakan hukum pemilihan,” tambah Abhan.

Dalam kesempatan itu, Abhan berharap Gugus Tugas ini tidak hanya dibentuk di tingkat pusat, tapi juga di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota. Adapun di tingkat provinsi, gugus tugas dibentuk oleh Bawaslu dan KPU provinsi serta KPID setempat dengan tetap melibatkan Dewan Pers. Sedangkan di tingkat kabupaten/kota, gugus tugas merupakan kerja sama antara Bawaslu dan KPU kabupaten/kota setempat dan turut melibatkan Dewan Pers dan KPID setempat. Menindaklanjuti penandatangaan keputusan bersama ini, akan diterbitkan pula petunjuk teknis yang menjadi pedoman kerja gugus tugas setiap tingkatan.

Sementara itu, Ketua KPU, Arief Budiman, mengatakan bahwa Pilkada 2020 (dalam masa pandemi) ruang untuk menggunakan saluran media akan semakin terbuka. Karena itu, kerja sama antara penyelenggara pemilu dengan KPI dan Dewan Pers ini sangat penting dalam mengawasi media massa, baik cetak maupun elektronik.

KPU dan Bawaslu, menurutnya, akan banyak bertanya mengenai pemberitaan dan penyiaran di media massa kepada KPI dan Dewan Pers. Hal itu untuk menentukan apakah terjadi pelanggaran kampanye atau tidak.

"KPU dan Bawaslu tidak mempunyai ruangan yang banyak monitor. Saya pernah datang ke Komisi Penyiaran Indonesia melihat war room-nya. War room itu akan melaksanakan pengawasan," pungkas Arief. 

Pada saat penandatanganan kerjasama, turut hadir menyaksikan Komisioner KPI Pusar, Irsal Ambia, Mohamad Reza dan Mimah Susanti. ***

 

 

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terus mendorong peningkatan kualitas konten siaran di semua kategori program acara. Upaya peningkatan kualitas ini tidak hanya akan memberikan rasa aman dan nyaman masyarakat, tapi akan ikut menekan dan menangkal siaran-siaran yang tidak selaras dengan etika, budaya, norma dan nasionalisme.

Hal itu dikemukakan Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis, saat menjadi pemateri dalam acara diskusi berbasis daring dengan tema “Wacana Ideologi dan Gerakan Transnasional di Layar Televisi Indonesia” yang diselenggrakan oleh Institut Agama Islam Imam Al Ghazali (IAIIG) Cilacap, Jawa Tengah, Jumat (7/8/2020)

“Saat ini, KPI sedang membahas dinamika permasalahan yang di penyiaran seperti skema regulasi penyiaran. Kami memiliki sikap yang tegas untuk membuat peta tanggungjawab dan wewenang wajah penyiaran Indonesia dalam upaya menegakan aturan arus penyebaran informasi di kehidupan masyarakat,” jelasnya. 

Dia menambahkan, saat ini, jumlah radio berizin di Indonesia mencapai 2.097 dan televisi mencapai 1.106 itu termasuk kategori 16 free to air secara nasional. Menurut Andre, panggilan akrabnya, kewenangan KPI Pusat mengawasi bagian induk jaringan TV. Jika mengarah pada skema regulasi, KPI tidak berhak mengintervensi TV sebelum konten itu dibuat dan baru bisa bergerak di fase pasca produksi konten. 

“Dan, salah satu tugas dan fungsi utama dari KPI adalah menjaga sisi moralitas ideologi bangsa melalui pengawasan konten siaran di media mainstream selama 24 jam setiap harinya,” kata Yuliandre Darwis.

Lebih lanjut, Mantan Presiden OIC Broadcasting Regulatory Authorities Forum (IBRAF) ini menegaskan, merujuk pada Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) Pasal 6 diterangkan bahwa Lembaga Penyiaran wajib menghormati perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan yang mencakup keberagaman budaya, usia, gender, dan/atau kehidupan sosial. 

“Disinilah peran KPI yang menjujung tinggi semangat persatuan dan memupuk rasa nasionalisme di ranah penyiaran,” katanya.

Lebih lanjut, kata Yuliandre, KPI tidak berjalan sendiri untuk mengawal ranah penyiaran Indonesia. Beberapa waktu lalu, katanya, KPI Pusat bersinergi dengan Kementerian Agama, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengah harapan dapat mengawal arah konten dakwah keagamaan di lembaga penyiaran yang selaras dengan koridor agama dan aturan penyiaran. 

“Upaya ini untuk mengikis adanya kesalahan atau pelanggaran terhadap nilai agama dan aturan tersebut,” tutur Yuliandre.

Dalam kesempatan yang sama, Anggota Ombudsman RI, Ahmad Suaedi, mengatakan perkembangan teknologi ke arah dunia digital di lingkup agama memiliki efek positif dan juga negatif. Pada era digital, seluruh dunia sudah masuk bagian dari globalisasi. Secara historis, globalisasi yang mengarah ideologis Islam transnasional dimulai dengan masuknya ke tengah sistem kekuasaan. Dari sana kemudian ada paham dari barat yang berhadapan dengan ideologi islam. 

“Kekerasan yang sudah masuk ke ranah TV adalah kekerasan yang memiliki nilai jual. Kita tidak bisa melawan era globalisasi yang mempengaruhi ideologi. Pergulatan ini menjadi perkembangan Islam di dunia modern,” ucapnya

Ahmad Suaedi mengatakan paham radikalime membentuk organisasi yang abstrak dan cenderung mengklaim memiliki sebuah negara namun tidak memiliki wilayah. Ideologi radikal ini tumbuh berkembang seiring perkembangan teknologi yang bergerak dengan ketidakpastian. 

“Sebab ideologi dan gerakan Islam transnasional memiliki banyak bentuk. Setidaknya ada kapitalisme atau neoliberalisme. Gerakan kapitalisme global atau neoliberalisme yang merusak lingkungan dan tidak memiliki rasa empati terhadap kemiskinan dan kesenjangan,” katanya. *

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.