- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 201
Jakarta – Dalam rangka pengawasan konten siaran sekaligus pengembangan isi siaran di lembaga penyiaran radio, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mengundang sejumlah radio yang bersiaran jaringan dan PRSSNI untuk mengikuti kegiatan pembinaan. KPI menilai keberadaan siaran radio masih sangat penting, khususnya dalam menyajikan Informasi dan hiburan yang berkualitas, aman, dan terjangkau.
Harapan ini mengemuka dalam pertemuan yang berlangsung di Kantor KPI Pusat, Jumat (21/02/2025) kemarin. Salah satu yang ditekankan yakni pentingnya perhatian dari pemerintah untuk memberi dukungan positif pada eksistensi radio. Pasalnya, ini sejalan dengan upaya bersama semua pihak untuk meminimalisasi dampak buruk dari keberadaan media baru atau media on demand.
Komisioner KPI Pusat, Tulus Santoso menyampaikan, pihaknya (KPI) memiliki perhatian besar terhadap isu keberlanjutan radio. Menurutnya, keberadaan radio harus dipertahankan dan dikembangkan sesuai zamannya.
“Kami perlu mendapatkan masukan untuk menyusun kebijakan yang nantinya diharapkan akan menguatkan keberadaan lembaga penyiaran radio, baik dari sisi bisnis maupun isi siarannya. Oleh karenanya, kami perlu mendapat masukan dari teman-teman radio soal ini,” kata Tulus saat memimpin pembinaan tersebut.
Hadir dalam acara pembinaan antara lain perwakilan I Radio, Elshinta, Sonora, Pass FM, Global Radio, MNC Trijaya, Radio RDI, serta pengurus PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia).
“Saat ini kondisi radio tidak sedang baik-baik saja, padahal eksistensinya penting sebagai media mainstream, kami menyajikan berita aktual dan terpercaya. Sementara itu kita tahu bagaimana AI (artificial intelligence) dan media sosial menyebar berita, arus disruption media terlalu kuat”, demikian disampaikan Wakil Pemimpin Redaksi Elshinta, Krisanti.
Di saat yang bersamaan dia mengakui beratnya persaingan dengan media on demand, seperti Spotify dan Joox, menekan kondisi finansial industri ini. Krisanti meminta dukungan yang serupa dari pemerintah, merujuk pada momen saat terjadinya pandemi.
Station Manager Sonora FM, Vivi Lesmana, menyampaikan kondisinya tidak jauh berbeda dengan yang dialami Radio Elshinta. Berdasarkan data Nielsen, pendengar radio mengalami penurunan dan diduga mereka beralih ke platform lain dan hal ini berpengaruh pada revenue yang diperoleh secara keseluruhan. Dengan adanya efisiensi, dia justru merasakan nihilnya dukungan dari pemerintah.
“Data dari Komdigi, 56 radio dihentikan karena 6 bulan off siaran, lalu frekuensi diambil negara. Apakah masih bisa survive? Saya berharap KPI bisa beraudiensi dengan presiden, kementerian atau lembaga untuk bersama membantu media konvensional yang sudah membantu membangun Indonesia. Aturan kebijakan harusnya bisa mempermudah mengakomodir radio, yang juga bisa menjangkau pelosok, misalnya campaign ‘Indonesia Cerah’”, ujarnya.
Lembaga penyiaran radio lain turut menyampaikan upaya yang sudah dilakukan untuk bisa mempertahankan keberlangsungan mereka, namun, fakta bahwa hakikat radio adalah media murah, dan model bisnisnya melalui iklan dari pemerintah dan merk, keberadaan influencer dan KOL (Key Opinion Leader) pada media on demand, disrupsi internet, persaingan dengan media audio visual, serta perbedaan pengenaan biaya ijin siar menjadi hal yang juga penting untuk diperhatikan.
“Pasar radio ada 2, yaitu pendengar dan pengiklan. 20 hingga 10 tahun lalu, kita bikin program bagus, promosikan, dapat pendengar (berdasarkan Data Nielsen), dibawa ke pengiklan, beres. Namun setelah Meta dan Google masuk handphone, bubar”, ujar perwakilan PRSSNI, Aditya.
Dia juga menyebutkan tentang klasifikasi penetapan pembayaran royalti yang ditetapkan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang dianggap kurang sesuai dengan profil penyiaran.
Atas masukan terkait permasalahan yang dialami radio, Tulus Santoso menyatakan akan mendiskusikan dengan pemangku kebijakan lain.
Dalam kesempatan tersebut, perwakilan radio juga menyampaikan alasan sulitnya bersaing dengan para pemilik channel podcast. “Tantangannya kalo podcast lebih ke personal branding. Jika orang di balik layar dibenturkan dengan orang yang personal brandingnya kuat, maka ketika membicarakan topik yang sama pasti orang lebih mendengar yang sudah punya personal branding”, ujar perwakilan RDI.
Selain soal dinamika radio, Tulus Santoso juga mengingatkan pengelola radio untuk lebih berhati-hati dalam menyiarkan lagu yang mengandung lirik tidak pantas.
“Kami meminta temen-temen radio mewaspadai substansi lirik bermuatan kekerasan, seksual, dan sebagainya. Ini Saya ingatkan agar ada kewaspadaan untuk seluruh radio,” ucap Tulus.
Berdasarkan pemantauan dan hasil analisis, ditemukan beberapa potensi pelanggaran pada beberapa lirik lagu yang bermuatan kata kasar, seks, cabul, dan/atau mengesankan aktivitas seks. ***/Anggita/Foto: Agung R